Syukur dan Sabar, Susah Mana?

Sudah jatuh, ketimpa tangga pula. Pernah dengar pepatah itu? Kalau iya, barangkali itu kurang                          sadis untuk saya.

What? kurang sadis?

Ya, karena yang lebih tepat untuk saya Sudah jatuh, masuk lubang, tertimbun tanah pula. Wah, nikmat sekali bukan?

Ha..ha..

Kadang saya sedikit geli kalau meratapi nasih sendiri. Kenapa ya saya dilahirkan dengan segudang penyakit yang cinta setengah mati sama tubuh saya? Membuat saya bertahan hidup tapi harus dijejali belasan kapsul setiap hari. Tubuh kamu itu Hyper sensitive, kata Dokter.

Tapi justru itulah yang membuat hidup saya semakin berwarna. Menjadi pendongkrak semangat saya dalam setiap kelemahan yang saya miliki. Menjadi perisai yang selalu mengingatkan tuk bersyukur dan bersabar dalam setiap hembusan napas yang entah sampai kapan bisa bertahan.

Hmm.. syukur dan sabar. Dua kata yang sungguh amat sangat susah untuk dilakoni. Lebih susah mana coba? Syukur atau sabar?

Kebanyakan orang berpikir sabar itu lebih susah dari pada syukur. Karena sabar identik dengan sesuatu yang menyakitkan. Misal, sabar dalam menghadapi setiap ujian, sabar dalam keterpurukan, ketidakadilan, dan kawan-kawannya deh. Tapi kalau syukur itu identik dnegan sesuatu yang membuat kita bahagia. Lulus ujian, misalnya. Tentu dengan mudahnya kita mengucap Alhamdulillah sebagai wujud rasa syukur kita, bukan?

Benarkah demikian?

Tidak bagi saya. Justru karena syukur identik dengan kebagaiaan lah yang membuat kita sering kali salah mengaplikasikannya. Bukankah banyak orang yang kebablasan ketika mereka sedang bahagia? Malah tidak sedikit dari mereka yang bisa dibilang over dalam merayakan sebuah kebahagiaan. Itulah alasannya kenapa saya mengatakan bersyukur justru lebih susah dari bersabar. Karena terkadang, sikon yang seharusnya membuat kita bersyukur justru menjauhkan kita dari-Nya.

Sebaliknya, ketika kita ditimpa musibah atau pun ujian yang bertubi-tubi, bukankah hal itu semakin mendekatkan kita pada-Nya? diakui atau tidak, kita pasti merintih berdo’a siang malam ketika ujian menerpa, bukan? memohon agar kita dilepaskan dari belenggu ujian yang memporak-porandakan kehidupan. Nah, ini salah satu wujud sabar, kan?

Coba, gampangan mana syukur sama sabar?

Opz! Kok jadi main tebak-tebakan sih?

Sebenarnya untaian tulisan hanya ingin mengingatkan, bila kawan masih bisa bernapas lega hingga tulisan ini masih terbaca, segeralah bersyukur atas segala nikmat yang tak mampu terbayar dengan bilangan rupiah berapa pun. Nikmat yang juga seringkali dilupakan. Itulah nikmat sehat dan kesempatan.

Bukankah begitu?

Tapi ingat kawan, sabar akan lebih nikmat bila didampingi rasa syukur. Dan ingat, syukur itu tidak cukup dengan ucapan Alhamdulillah.

 

Note: Inilah hikmah yang saya petik dari bangkitnya tubuh saya setelah setengah bulan tergeletak di pembaringan. Saya bersyukur, ujian yang sejatinya lebih berat dari UJIAN NASIONAL _yang baru saja saya ikuti_ telah saya lewati. Tak lupa saya berterima kasih atas segala bantuan yang pernah kawan berikan, entah sekecil apa pun itu. Orang tua yang rela kaki jadi kepala, kepala jadi kaki demi saya bisa bertahan. Teman-teman seperjuangan di pondok yang tak kenal lelah merawat saya, juga paman gembul yang selalu mengirim do’a. Dan semua, yang tak bisa saya sebut satu per satu. Semoga Allah selalu bersama kalian.

Leave a Reply

2 Replies to “Syukur dan Sabar, Susah Mana?”

  1. susahan syukur,. buktinya kita saban hari di’paksa’ buat sujud dalam sholat :)

    tapi mesti susah gitu. anehnya banyak anak yang gampang bersyukur loh.

    buktinya, setiap liat / dengar teman ketimpa musibah pasti bilang sukurin (sambil melet-melet :p)

    cia…. paman!!
    itu sih buka syukur, tapi nyukurin

Leave a Reply to nahid Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *