Metamorfosa Si Mawar Putih, dari Tinta menjadi Pena

Andai bisa, ingin rasanya saya perpanjang sore ini hingga 5 jam lagi. Bukan karena tak ingin menyegerakan solat maghrib yang 30 menit lagi akan segera dilaksanakan. Bukan pula karena indahnya senja hari ini jauh lebih mempesona dari hari kemarin. Tanpa mendung dan hujan, mentari seolah enggan kembali ke peraduan. Siluet mega merah begitu menawan di ufuk barat. Burung Alap-Alap (begitu orang Jawa menyebut burung yang pulang berbanjar menjelang adzan maghrib berkumandang) pun menghias cantiknya angkasa senja ini, melambai sampai jumpa seraya pulang ke sarang. Sayang, pengandaian itu hanya sebuah kemustahilan. Bukankah sangat tidak mungkin senja bisa berlangsung selama 5 jam? Ah, Damae. Ada-ada saja.

Beginilah sedikit kekonyolan gadis berkacamata bila sedang tersenyum ceria. Ya, sore ini sedikit melegakan hati memang. Beberapa masalah sedari pagi yang cukup menguras energi, bisa terlupakan dengan sapaan sang senja yang membelai mesra.

Sebenarnya bukan itu alasan utama yang membuat saya ingin bersama senja ini lebih lama. Melainkan tarian jemari diatas lepi yang seolah enggan berhenti ketika alur tulisan mulai membahana. Sayang sekali untuk diistirahatkan walau sejenak, teringat betapa susah dan malasnya memulai sebuah kata      bila kebuntuan mulai melanda. Hmm.. Begitulah nasib penulis pemula seperti saya.

Menyoal seputar penulis pemula, tanpa sadar file-file lama yang mendiami beberapa blog dan situs online      hampir mencapai 300 tulisan. Sebuah buku sederhana pun berhasil tercipta, walau kenyataannya bukan sungguhan namun cukup menggembirakan. Hanya saja kepakan sayap itu mulai menciut belakangan ini. Seolah membentur tembok penghalang yang amat menantang tuk dirobohkan. Hingga kekeroposan karya baru disadari telah mengancam.

Terngiang awal belajar menulis, terhitung 3,5 tahun lalu. Ah, bukan. Tulisan perdana tercipta saat masih mengenyam bangku MI (setara SD tapi berbasis islam), lupa persis usianya, mungkin kisaran 10 tahun. Meski kertas telah lapuk termakan kutu buku, bahkan raib dari simpanan buku yang tertata rapi di lemari, namun judul dan isi puisi itu masih tersimpan jelas di long therm memory. ‘Andai’ itu judulnya. Puisi ini menggambarkan rangkaian impian masa kecil, bila dibaca lagi saat ini pasti mampu mengoyak perut dan meledakkan tawa, saking lucunya deretan baris yang selalu berakhiran ‘a’. Hehe..

Hingga angin menuntun kedua jejak kaki mungil ini memasuki penjara suci di sebuah kota santri, Al Hikmah 2. Dalam pesantren yang kerap menjadi tuan rumah event-event besar inilah, saya mulai bermetamorfosa. Pondok terbesar di Jateng yang menggarap berbagai instansi pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, telah menjadi saksi bisu perubahan kepompong menjadi kupu-kupu yang teramat mengharukan tuk dikisahkan. Lebih spesifiknya, di Malhikdua, sekolah Aliyah setingkat SMA yang menaungi 3 program studi ini benar-benar pandai mengintai. Hingga hobi menulis yang sempat beroperasi sembunyi-sembunyi, tercium beberapa pihak yang peduli tuk memberdayakan.

Bagaimana kisahnya? Tunggu, Damae akan kembali setelah mandi dan menunaikan sholat Maghrib..

Bengkel Tinta, dari sini semua berawal

Ya, saat itu saya masih duduk manis di bangku kelas 1 Malhikdua. Kalender menunjuk angka 14 di bulan November 2009, di pojok kelas lantai 3 Malhikdua _dimana tertempel tulisan WordArt Style, terbaca 2 SOS 7_, tepatnya pukul      11.12 WIB menjadi saksi bisu diresmikannya sebuah Forum Kepenulisan      (Sastra) yang menyandang nama    Bengkel Tinta. Sebuah nama yang berfilosofi sebagai wadah cercahan inspirasi dan luapan kreativitas ini merupakan salah satu program OSIS _khususnya kabinet FOSMA (Forum Sastra Malhikdua)_ yang baru saja dilantik pada upacara Hari Sumpah Pemuda bersamaan dengan dilantiknya SAKURA (Satuan Khusus Paskibra) beberapa minggu lalu.

Kali pertama saya membaca pengumuman pendaftaran yang tertempel di depan tangga setiap lantai gedung Malhikdua, langsung saya hubungi pihak koordinator untuk meregistrasikan diri. Betapa tercengangnya saya karena fakta justru sebaliknya. Mereka malah meminta saya membantu jalannya program ini sebagai salah satu ikon ajang berprestasi.

Seuntai senyum lembut merekah dikedua (tanpa lesung ) pipi saya. Teringat kembali waktu saya duduk di kelas X, terhitung hanya 3 siswi yang memiliki kesamaan hobi, menulis. Bahkan      sempat kami membentuk klub sastra tapi terhenti oleh sikon dan tekad yang kurang bersahabat. Kini tercatat sebanyak 20 siswi berminat menjadi penulis dan bergabung dengan kami. ^alhamdulillah     ^

Bengkel Tinta tidak sekedar membutuhkan niat, minat, takad atau pun bakat. Hal yang lebih utama adalah usaha nyata. Sebuah karya tercipta bukan karena kemauan belaka, malainkan praktik menulislah yang mewujudkannya.

Bila Gola Gong sukses menjadi penulis dengan kuliah dijalanan, mengapa santri yang kuliah di pesantren tidak mencobanya? Kalau W. Somerset Maugham berpendapat bahwa untuk menjadi pengarang kita harus pergi ke tempat yang jauh atau merantau ke negeri orang, kenapa tidak kita coba berimajinasi liar dalam syurga ilmu ini? Bukankah untuk menjadi penulis yang baik itu harus bermula dari pembaca yang baik?

Begitulah saya di Bengkel Tinta. Organisasi yang menjadi gerbang paling depan lahirnya calon-calon penulis masa depan. Meski tak lama bertahan, setidaknya sejarah pernah mencatat lahirnya gagasan baru yang bercita-cita mewadahi kreativitas generasi Malhikdua dalam kancah kepenulisan.

***

T-Ger Net, masa (paling) Kelam

width=247Bila ditelisik, sebenarnya ada satu komunitas menulis yang tercetus jauh sebelum Bengkel Tinta. Dialah T-Ger. Net. Sebuah komunitas Blogger yang bernaung di bawah gong Malhikdua Network (M2Net). Sayang seribu sayang, T-Ger. Net sudah koma sejak baru dilaunchingkan pada hari pertama tahun yang sama dengan tahun lahirnya Bengkel TINTA. Usaha M2Net dalam mensosialisasikan penggunaan blog di kalangan santri tersebut menjadi catatan kelam tersendiri bagi saya.

Tepat dihari pertama saat memasuki tahun 2009, rekor tragedi mengenaskan itu terjadi. Trauma sih tidak, tapi cukup membuat saya shock. Saya semakin mengerti seperti apa sebenarnya dunia santri ini. Semoga tidak berlebihan kalau saya mengatakan mereka benar-benar memilukan. Sayang, saya hanya bisa mengelus dada meratapi kejadian ini. Toh, diingatkan pun justru saya yang semakin disalahkan. Barangkali benar adanya bahwa ‘Silence is gold’. Namun diam itu menjadi perak _bahkan perunggu pergulatan hidup_ bila kita masih bisa berbicara tepat dan bertanggung jawab atasnya. Itulah emas yang sejati.

Memori saya tak cukup kuat buat melupakannya. Rekaman dialog saat itu masih mendengung hingga sekarang.

    [spoiler effect=simple show=Rekaman dialog]

Curhat, Mae?
Bukan. Bukan curhat. Lebih tepatnya ini adalah bentuk berontak dan kekecewaan saya terhadap mereka, santri-santri yang tidak tahu diri.

Wuidih     sepertinya kamu menyimpan dendam, ya? Jangan begitu, Mae. Tidak baik. Nanti Dosa, lho    
Dendam? Kalau saya dendam, saya tidak mungkin menerima perlakuan mereka begitu saja. Bahkan hanya saya dan kawan-kawan sampai mendekam di Basecamp T-GER.Net karena tak berani pulang ke kamar pasca launching itu. Kamu juga tahu kan, kami semua menangis semalaman dan tak bisa berbuat apa-apa meski sebenarnya kami punya kekuatan untuk melawan.

Lalu, untuk apa kamu hanya bicara dibelakang? Apa gunanya?
Ya, ini memang tidak berguna. Tapi kalau hal ini bisa membuat legowonya hati, kenapa tidak. Kamu kalau tidak mau mendengar keluhanku, ya sudah. Pergi saja sana. Aku memang sedang berbicara pada diriku sendiri kok.

Ha..ha.. dasar gila! Pantas saja kamu dan kawan-kawanmu itu dicap sebagai pendusta. Ha..ha..ha    
Cukup!!!!!!!! T-GER.Net bukan pendusta. Kami tidak salah. Kenapa kalian begitu jahat pada kami? Kenapa? Hiks..hiks..hiks    
Andai kalian tahu kalau kami itu tertipu. Film Laskar Pelangi yang kami pesan ternyata hanya berisi lagu. Bukan maksud kami untuk membohongi para penonton    
Hiks..hiks    
Usaha kami juga tidak berhenti sampai disitu. Meski kami baru tahu kalau kami tertipu itu 3 jam sebelum acara dimulai, kami tetap berusaha mencari gantinya. Alhasil, film yang kalian tonton itu didapat dari kerja keras panitia yang lari kesana kemari sampai ke tempat rental film di Bumiayu, malam itu. Hanya demi mencari gantinya.
Kami sama sekali tidak ingin dihargai, tapi apakah tidak bisakah kalian sedikit mengerti kondisi kami waktu itu? Lagi pula, meski mulut kalian berteriak bahwa kami ‘pendusta’, tetap saja kalian duduk manis dan menikmati sajian-sajian yang kami berikan, bukan? Kalian juga mau menonton film yang kami putar sebagai ganti Laskar Pelangi. Apa kalian tidak malu?
Sudah bilang pendusta, tapi akhirnya nonton juga. Sampai selesai pula. Bilang makannya tidak enak, minta diganti. Tapi yang dibilang tidak enak itu ditelan sampai habis juga. Huhhh    .memalukan! Ditanggalkan dimana harga diri kalian?
Heran deh! Kalian itu santri. Setiap hari kerjanya menuntut ilmu. Tapi kenapa su’ul adab yang melekat dalam cermin perilaku kalian? Atau kalian memang tidak pernah mendapatkan pelajaran bagaimana caranya menghargai dan menghormati orang? Ah    sudahlah! Semakin dikenang rasanya semakin menyakitkan.

Tapi sayang untuk dilupakan kan?
Ka..ka..mu    .? Untuk apa kamu disini? Huuhhhfff    mengagetkanku saja.

[/spoiler]

Sengaja saya memasukkan kisah T-Ger Net demi menghormati sejarah, meski itu kelam adanya. Toh apa yang terjadi generasinya tak tetap lanjut. Sepeninggal T-Ger.Net, dunia perbloggeran Malhikdua semakin kurus saja. Ratusan anggota pada rekruitment perdana mendadak hilang satu per satu tanpa kejelasan alasan, kecuali mereka yang bermental baja dan sungguh-sungguh ingin menjadi blogger sejatilah yang bertahan. Untungnya, sangat disadari oleh ‘dedengkotnya’ bahwa kuantitas bukanlah kendala berarti untuk terus menselancarkan berbagai kreasi santri di ranah daring. Berbagai pelatihan blogging pun kerap diselenggarakan untuk memperluas khasanah tentang pengelolaan web pribadi yang berdomain di blogmalhikdua.com (kini berubah menjadi malhikdua.com).

Sekarang T-Ger Net sudah menjadi Sandal Selen. Dikelola dengan lebih matang sebagaimana usianya. Namanya pun sudah dikenal di berbagai tempat gathering Blog tanah air.

Nulis Tidak Tergantung Mood

Sekelam-kelamnya T-Ger Net, tetap memberi romantika tersendiri.. eit, gak koq, hanya sedikit nostalgia masa remaja. Ehm.. Ini masih dalam masa pelatihan di masa-masa awal itu. Ceritanya tentang adanya kesalahpahaman pada suatu pelatihan. Bukan dengan orang lain, melainkan saya sendiri. Geli kalau mengingatnya, tapi tak ada salahnya saya bagi disini. Berharap bisa turut memberi pencerahan pada sahabat blogger semua, walau sedikit.

Begini, saat itu saya beranggapan kalau nulis itu ditentukan oleh kondisi finansial dan fasilitas yang ada. Pede-nya, anggapan itu saya teorikan dalam sebuah blog. Mantap sekali bukan, maklum, apa yang saya anggap tentu tak lepas dari sebuah pengalaman pribadi betapa susahnya berapresiasi di pesantren. Tak dinyana sebuah tanggapan muncul dari seorang pengunjung blog saya sendiri kala itu.

Lewat kotak komentar blog Damae, dia mengurai kalimat yang cukup panjang demi memberi sebuah pencerahan. (Betapa niatnya ni orang.. apa maksudnya coba..hmm).

Dia meluruskan kalau yang dimaksud dalam materinya tempo hari adalah ngeblog jangan menunggu mood datang. Maka jelas bahwa ngeblog tidak ada / jangan dihubungkan dengan mood. Adapun faktor lain seperti duit tipis dan komputer error tidak bisa dihubungkan karena     dua hal tersebut manusiawi dan teknis, keduanya diluar konteks dan bersifat temporer.

Selanjutnya dia menghubungkan ngeblog dengan konteks kegiatan menulis, dari ide hingga menghasilkan sebuah tulisan. Dimana, pada banyak kesempatan kita sering menemukan kerangka ide untuk bahan tulisan. Saat itu arah tulisan seakan-akan tergambar nyata, dikepala kita. Bahkan struktur dan pola tulisan, terbentuk dengan sendirinya. Bagi kita, yang akan menulis ketika bahan terkumpul, data-data yang sudah dianggap valid, struktur dan sistematika sudah terencana baik, ternyata belum juga mampu membakar semangat, untuk mensegerakan tindakan menulis. Mengapa, ketika kita mulai menulis, seluruh gambaran yang tadi dianggap masih eksis, hilang tak berbekas. Tanya dia saat itu. Tentu pertanyaan ini tak butuh jawaban karena dia terus melanjutkan argumennya.

Para ahli teori, yang belum tentu bisa menulis, mengatakan bahwa hilangnya ide menulis di sebabkan karena kondisi fisik kita kurang mendukung. Mulai dari gejala masuk angin, sampai koreng yang nggak sembuh-sembuh. Atau seperti KANKER dan KOMPUTER ERROR pada kasus Damai. Fenomena good mood, bukan monopoli aktivitas menulis saja,. Aktivitas yang lainnya juga membutuhkan mood. demikian juga dengan ngeblog.

Mood, atau good mood bermakna suasana hati. good mood berkaitan langsung dengan suasana hati. Karena itu, tidak ada istilah menunggu mood    . Kalau menginginkan good mood, ya nyamankan perasaaan, nyamankan suasana hati. Kalau sudah nyaman, jangankan menulis, pekerjaan apa saja akan asyik dilakukan. Logika jangan dijungkarbalik, mood mampir baru menulis. Kalau perasaan rusuh melulu bagaimana.

Menurut Purwalodra (penulis) bahwa good mood adalah ilusi yang kita buat-buat sendiri. Sebab pada kenyataannya, good mood lahir karena kita sendiri yang melahirkannya. Maksudnya, kalau toh, nggak penting-penting amat kita hadirkan good mood, ngapain dibikin hidup. Seringnya sih, ketika good mood itu berada bersama kita, kita mencoba menjaganya mati-matian. Lupa istirahat, lupa makan dan lupa sholat. Anehnya, pada saat penjagaan kita terlalu ketat, good mood itu menghilang, entah kemana. Jadi, bisa saya katakan, good mood itu, datang nggak diundang, pulang nggak diantar.

Good mood, akan menemani kita selama menulis, jika kita penuhi syarat dan rukunnya. Syaratnya adalah mengenal good mood sebagai sesuatu yang alamiah, bukan ilmiah. Ia hadir, jika fikiran dan perasaan kita berdamai. Tidak saling merasa lebih mampu dan lebih berkuasa. Fikiran dan perasaan sama-sama memiliki andil dalam menghadirkan good mood. Artinya, selaraskan antara fikiran kita yang memiliki keinginan menulis, dengan perasaan kita, yang tidak memiliki beban apapun untuk menulis. Sebelum kita membicarakan rukunnya, kita wajib memahami bahwa good mood adalah akibat, bukan sebab. Oleh karena itu, SEBABKAN hadirnya good mood bersama kita. Caranya, dengan men-DAMAI-kan fikiran dan perasaan kita.

Selanjutnya, masih di kotak komen blog Damae, dia memberi cara dengan istilah rukun-rukun. Rukun yang pertama, adalah SEGERAkan menulis, jangan sampai menundanya. Karena ide menulis, selalu berubah dalam hitungan detik, menit, jam atau hari. Rukun kedua, jadikan fikiran dan perasaan kita sealamiah mungkin, maksudnya jangan terpengaruh dengan teori-teori menulis. Rukun yang terakhir, menulis aja terus, jangan sampai berhenti, kecuali istirahat, makan dan sholat. Nah, dengan demikian, maka kita akan menulis dengan baik dan lancar-lancar aja.

    Ya, begitulah wejangan panjang beliau kala menjumpai informasi yang tak lengkap tertangkap indera pendengar, maksudnya saya sendiri. Sebuah perjumpaan serius dalam dunia daring yang paling berkesan. Tentu saja berkesan karena malunya. He he he…      Whatever, apa yang dia lakuin buat Damae sungguh bikin hati ini tersentuh. Tapi dasar lelaki, endingnya juga memperkenalkan diri, sambil pura-pura menunjukkan kebiasaan positif. Sok atuh..

Penulis pemula seperti saya, sangat menghindari menangkap ide dan memenjarakannya di batok kepala. Saya biarkan ide tulisan melintas, saya syukuri kehadirannya, dan membiarkannya pergi ke lain hati, jika saya sibuk dengan pekerjaan lainnya. Tidak perlu, menghabiskan waktu untuk memikirkan apa yang akan ditulis (ide menulis). Sekali lagi, menulislah apa yang ada di pikiran. Selaraskan fikiran dan perasaan kita, bahwa menulis sebagai sesuatu yang menyenangkan. Jangan lagi menunggu good mood.

Tapi its Okelah.. Saya terima, semoga itu positif dan kebaikan buat masa depan. Ops!

***

M2Net, Sebuah Tamparan Keras

Sepanjang kelangsungan hidup blogger Malhikdua, ada saja batu kerikil yang menyapa hampir disetiap ruas jalan. Saya sempat berkesah soal penurunan produktivitas tulisan, tiga tahun lalu. Karena tak sadar lama tidak bermain kata dengan pena murahan dan kertas sederhana, ternyata lumayan membuat canggung dan bingung setelah jemari-jemari lentik ini berada diatas keyboard yang tertata rapi. Betapa tidak! terhitung hampir beberapa bulan dari postingan terakhir saya sudah tak nulis lagi. Entah apa yang telah saya lakukan dan yang telah terjadi.

Kecanggungan benar-benar berontak, melawan kebiasaan menulis yang lama Damae tinggalkan. Tapi perubahan yang lebih drastis adalah dalam hal menulis puisi. Dulu, waktu 1 jam cukup untuk mencipta sebuah puisi, ternyata membutuhkan waktu 4 hari 4 malam untuk menyelesaikan sebuah puisi yang terdiri dari 5 lembar buku tulis ukuran biasa (anda bisa baca puisi ini pada postingan berikutnya).

Betul-betul aneh! kata-kata yang biasanya bisa ketemu dimana-mana dan bisa dipungut kapan      saja, bagai debu yang beterbangan dan berserakan dijalanan. Saya benar-benar mati kutu. Tak berkutik dan terpaku sambil memegang pena plus kertas lusuh dalam pandangan tak tentu. Sebenarnya puisi itu bukan tercipta atas kesadaranku. Awalnya diminta membuatkan puisi dengan tema persahabatan dan perpisahan yang akan dibawakan oleh kakak kelas akhir dalam pentas seni nanti (tapi ini rahasia lho    ). Ternyata gagal karena orang yang akan membawakan tidak bisa hadir saat itu. Tak apa lah. Aku justru berterima kasih karena permintaan itu mengingatkanku akan produktivitas puisiku yang semakin menurun. Bahkan sangat drastis.

Sebenarnya apa yang menyebabkan Damae seperti itu? jadi teringat kata-kata Andreas Herafa,    Bila manusia (perseorangan maupun kelompok)      tidak belajar selama sekian bulan, sekian tahun, sekian puluh tahun _ yakni seperti elite politik dimasa orde lama maupun orde baru juga para pejabat dilembaga-lembaga yang berkaitan dengan pendidikan_ dan kebudayaan_ maka yang terjadi bukan sekedar kemunduran, tetapi pembusukan dan pembinatangan diri menjdi tidak manusiawi    .

Penulis buku best seller    Menjadi Manusia Pembelajar     ini memang benar. Bulu kuduk Damae berdiri ketika membaca kata-kata itu. Jangankan menulis puisi yang membutuhkan pemusatan pikiran dan diksi, menulis tangan yang teksnya sudah ada didepan mata pun bisa tulisannya tidak bisa dibaca bila memang lama tak menulis tangan (min: 1 bulan saja), iya kan?

Lalu bagaimana dengan otak kita? ternyata benar juga ya, kita diperintahkan untuk menuntut ilmu seumur hidup. Benar juga perumpamaan pisau yang tumpul dan tak bisa digunakan bila diasah bisa menjadi     landep     _bahasa jawa_. Sebaliknya, pisau yang runcing dan     landep     bila tidak digunakan dan tidak diasah lagi bisa karatan dan tidak terpakai. Sedikit merekahkan senyum, tampak polos dan lugu sekali tulisan itu. Maklum, awal sebuah pembelajaran tentu butuh proses untuk bisa menyandang kategori ‘sempurna’. Tentu saja iya, karena tak mungkin ada bim salabim yang dengan mudahnya mencetak seorang penulis berkualitas, tanpa ada proses dulu sebelumnya.

   Kalau TAHU-nya kurang, segera tanya dan baca. Kalau MAU-nya kurang, coba share dengan penulis yang sudah sukses, mungkin bisa dapat duit banyak gara2 nulis, dll. Kalau MAMPU-nya yang kurang, ikuti pelatihan, baca buku2 yang praktis tentang menulis!    

Demikian penjelasan Kak Baban Sarbana, pemilik blog ‘Lebah Cerdas’      ketika saya menanyakan dalam sebuah konfrensi pelatihan menulis M2Net tentang bagaimana cara membentuk kebiasaan menulis. (Sebuah kehormatan dan kebanggaan tersendiri ketika impian bisa bertatap muka dengan orang yang pernah memberi hadiah sebuah buku ‘On The Road’ saat saya dinobatkan sebagai blogger terbaik di Malhikdua ini, akhirnya terwujud dalam sebuah pelatihan menulis, setahun lalu).

Hingga sebuah kesempatan mewakili Malhikdua dalam sebuah lomba blog di kota yang terkenal dengan telor asinnya, Brebes. Sebuah niat tak tulus tampaknya berhasil membelokkan alur kemenangangan yang diimpikan. Ya, karena ambisi menjadi sang juara agar bisa maju ke tingkat Provinsi itulah, yang saya yakini menjadi penyebab utama kekalahan dalam kompetisi itu. Meski realita berbicara lain, disinyalir adanya kecurangan di kubu panitia, namun apa pun alasannya kekakalahan tetap mengguncang dan menguras air mata. Lewat notes FB saya ungkapkan kepedihan itu.

Pedih, pedih sekali memang. Siapa orangnya yang mau kalah dalam sebuah pertandingan., apalagi bila terbukti dicurangi. Namun, apa mau dikata. Bila memang dewi fortuna belum berpihak, banjir air mata pun rasanya tak lagi berguna. Dari pada larut dalam kegalauan, apalagi berusaha mengorek kesalahan pihak lain, saya memilih bangkit dan menutup lembaran hitam itu dengan sebuah janji. Janji untuk berusaha yang terbaik dalam pertarungan berikutnya, bahkan dalam setiap hal yang saya      lakukan. Tak ada lagi keinginan meraih piala kemenangan, tak ada lagi hasrat menjadi seorang juara. Satu-satunya yang saya perjuangkan, hanyalah ‘melakukan yang terbaik’ hingga titik darah penghabisan.

Garis Pena Kesungguhan

Belum kering linangan air mata ini membahasi pipi, rupanya Sang Sutradara kehidupan mengijinkan saya untuk membuktikannya. Diam-diam saya mengikuti lomba menulis yang diadakan oleh sebuah lembaga ternama di Semarang. Meski sekilas lebih menantang dan hadiah yang dijanjikan pun lebih menggiurkan, namun sekali lagi orientasi utama saya hanyalah ‘do the best’. Tahukah Anda, apa hasilnya? Saya menjuari lomba penulisan tingkat Propinsi. Beberapa media pun tak luput menangkap kabar ini untuk jadi berita terhangat.

[spoiler effect=simple show=Isi berita]

DamaiSantri Al Hikmah 2 Juara Penulisan

SEMARANG – Siti Dzarfah Maesaroh, santri putri Pondok Pesantren Al Hikmah 2, Benda, Sirampog, Kabupaten Brebes keluar sebagai juara pertama lomba penulisan antarsantri pondok pesantren se-Jateng. Siti menulis naskah berjudul    Santri Katro, Dakwah KO     dengan alamat blogger MA Al Hikmah 2.

Juara II Robith al Islamy dari Pondok Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing, Parakan, Kabupaten Temanggung dengan karya berjudul    Dakwah Multimedia Dakwah Era Modern    . Juara III Ghani Sana Absari, murid SMK Negeri 7 Semarang dengan tulisan berjudul    Berdakwah melalui Teknologi Informasi    .

Regional Marketing Manager PT Telkom Divre Jateng DIY Lementina menjelaskan, juara pertama mendapat hadiah laptop, sedangkan juara II dan III mendapat hadiah uang pembinaan. Penjurian dilakukan wartawan Suara Merdeka Agus Fathuddin Yusuf dan Agus Toto Widyatmoko.

Hadiah akan diserahkan pada Sabtu (9/10) pukul 09.00 di aula Borobudur Gedung Telkom lantai 8 Jl Pahlawan No. 10, Semarang. Pada kesempatan itu juga digelar seminar nasional    Internet pada Anak, Dampak, Strategi dan Perlindungannya    . Pembicara Sri Rahayu Tifatul Sembiring (pembina YKKI), Dr Endang Widyorini PSi (psikolog), Ridwan Sanjaya (praktisi IT), serta Arief Mustain (VP Product Management Telkom).

Santri Menulis Ketua Panitia Sarasehan Jurnalistik Ramadan 2010 Agus Fathuddin Yusuf menjelaskan, lomba penulisan diikuti 36 peserta dari Ponpes Khozinatul        “Ulum Kabupaten Blora; Ponpes Hasyim Asy           ari Bangsri Jepara; Ponpes Kiai Parak Bambu Runcing, Parakan Temanggung; Ponpes Al Huda, Doglo, Candigatak, Cepogo, Boyolali; Ponpes Nurul Huda, Simbangkulon, Buaran, Kabupaten Pekalongan; Ponpes Al Hikmah 2, Benda, Sirampog, Brebes; Ponpes Al-Ikhya Ulumaddin, Kesugihan, Cilacap; Ponpes Al-Fattah, Demak, dan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Kota Semarang.

Tema tulisan yakni    Dakwah melalui Teknologi Informasi     dan    Aku Cinta Indonesia (ACI).    Mereka sekaligus praktik pengiriman naskah melalui email,     katanya. Kebanyakan santri sudah menguasai teknik menulis dan pengirimannya. Namun tak sedikit yang hanya iseng mengirim puisi dan kata-kata. Penjurian juga dilakukan oleh tim dari Telkom dan Telkomsel. Para juara diharapkan hadir di Kantor Telkom untuk mengambil hadiah dengan membawa bukti diri. (B13-59)

Sumber: Harian Suara Merdeka

[/spoiler]

Inilah bukti dari janji saya. Bukti bahwa kesungguhan hati telah mengubah banjir air mata duka menjadi bahagia. Insyaallah, hal ini pula yang akan saya junjung kembali dalam setiap goresan pena ini. Begitu pula setiap karya yang tercipta bersama sahabat FLP (Forum Lingkar PENA), dimana pun dan kapan pun tinta itu menuangkan gagasan-gagasan brilian. Terbingkai indahnya ukhuwah, FLP membimbing saya bagaimana tapak penulis sejati berpijak. Meski masih tergolong junior di FLP Jatinangor, Bandung, namun bersatunya hati untuk merapatkan barisan dalam mewarnai kancah kepenulisan seolah menyalakan bara semangat untuk melakukan yang terbaik dalam setiap kata yang tertuang.

Sahabat, uraian panjang proses metamorfosa diri ini bukanlah untuk pamer atau niat negatif lainnya. Jujur, saya pun masih sangat amat jauh dari sempurna. Masih perlu banyak belajar dari mereka yang sudah lebih dulu menggempar dunia dengan karya-karya luar biasa. Untuk itulah, mari jadikan rentetan peristiwa ini sebagai pembelajaran bersama.

Besar harapan saya, pengalaman ini bisa menambah kenyakinan sahabat Garuda semua bahwa untuk bisa ‘Be the best’, syaratnya cukup sederhana. Ya, ‘Do the best’, itulah syaratnya. Sanggupkah kita menyingsingkan segala ego menjadi pemenang dan menggantinya dengan ketulusan melakukan yang terbaik dalam segala hal? Jika sanggup, bersiaplah menggenggam ‘Juara sejati’ masa depan.

Wallohu’alam.

width=169

Postingan ini diajukan untuk mengikuti Lomba Blog dalam rangka Milad FLP ke-15 bertajuk Festival Membaca dan Menulis 2012    .

Leave a Reply

6 Replies to “Metamorfosa Si Mawar Putih, dari Tinta menjadi Pena”

  1. tulisanya bagus..! cakep..!

    oya kebetulan picturenya spt sy kenal.. boleh saya minta picture yng laen. pas waktu penyerahan hadiah lomba untk para pemenang sarasehan jurnalistik 2010 yg diadakan oleh suara merdeka.. syukran.

Leave a Reply to shuffiy Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *