Celoteh Anak Kampung: Master Piece Sederhana

Desa sudah lelap ketika saya berceloteh di postingan ini. Waktu memang baru menunjukkan jam 10 malam lewat 13 menit, saya belum menguap. Tapi di luar sana hanya ada kerlipan bintang dan senyum rembulan yang tampak. Sesekali nyamuk-nyamuk nakal menganggu ketenangan. Begitu pun nyanyian Tokek, Katak, Jangkrik, atau Burung Hantu yang menemani mimpi panjang warga desa hingga fajar menyapa.

Jalanan sepi. Tak ada satu kendaraan pun yang berlalu lalang di atas jam 9 malam. Kecuali satu dua. Terlebih musim hujan begini, jalanan licin, becek, dan menakutkan untuk dilalui. Minimnya penerang jalan juga membuat desa tampak menyeramkan. Pantas jika tinggal suara berisik anak tetangga yang masih betah bermain hingga larut malam, meski sekedar beraktivitas 3 NG: Ngopi, Ngrokok, dan Ngobrol.

Bagaimana dengan kesibukan sobat malam ini?

Lama sekali saya tidak berceloteh di blog ini. Bukan karena saya mengalami titik kulminasi kejenuhan, tapi sejatinya saya sedang mempersiapkan resolusi untuk perbaikan blog sederhana ini. Hanya saja belum bisa saya share sekarang.

Celoteh Anak Kampung

Dan malam ini, ijinkan saya berceloteh, sobat.

Celoteh tentang sepenggal moment kepulangan saya di kampung halaman. Meski saya tidak dilahirkan disini, tapi saya pernah menghabiskan 15 tahun di kampung nan damai ini. Wajar jika saya mengatakan pulang kampung, tak ada tempat lain yang saya singgahi kecuali desa Cisumur. Disinilah saya dibesarkan oleh kedua orang tua yang teramat cinta pada putra putrinya. Disinilah saya belajar menangis, berbicara, berjalan, menulis, membaca, mengaji, beribadah, berlomba, berprestasi, hingga belajar kecewa, depresi, dan bangkit kembali. Disini pula nama Damae Wardani pertama dikenal, karena panggilan yang diambil dari nama asli [D]z[a]rfah [Mae]saroh ini pertama mengudara di radio Garuda, satu-satunya radio di Gandrungmangu, kecamatan dari Cisumur. Maka dengan bangga saya mengatakan, sejatinya saya anak kampung.

Berceloteh soal kampung, sebenarnya kepulangan saya kali ini membawa banyak program untuk kampung. Program yang saya harap bisa memberi warna baru untuk kampung. Sudah saya canangkan sejak setengah tahun lalu, saya pikirkan masak-masak, dan saya kemas dalam selembar poster yang sudah siap disebar.

Berangkat dari keprihatinan akan minimnya pendidikan di kampung saya, tak ada perpustakaan desa, banyak anak putus sekolah hingga SMP-SMA (bahkan sekampung yang kuliah hanya hitungan jari), makin marak nikah muda, makin marak pemuda kampung mabuk, berkelahi, ditangkap polisi. Disisi lain masih banyak pula orang tua yang buta huruf, buta bahasa Indonesia.

Keseharian anak kampung hanya sekolah (bagi yang sekolah), selebihnya bermain. Waktu belajar bagi mereka hanya setelah solat maghrib, itu pun hanya satu jam hingga adzan isya berkumandang. Sementara para orang tua sibuk dengan rutinitas mencari uang: bertani, berdagang, beternak, dan sederet aktivitas warga desa lainnya. Untuk anak yang telah lulus sekolah, pilihannya hanya tiga: melanjutkan pendidikan, merantau ke kota, menikah, kerja apa saja di desa, atau menjadi pengangguran.

Meski tak semuanya, tapi saya berbicara mayoritas.

Keprihatinan saya juga merambah perihal ritual peribadatan. Dulu rumah saya bagaikan mushola, banyak anak tetangga berdatangan tanpa diundang. Hanya untuk belajar mengaji. Namun semenjak saya dan adik saya dikirim ke luar kota demi melanjutkan pendidikan, rumah hanya dihuni oleh ibu seorang dan ritual mengaji itu sempat pudar. Hampir tiga tahun. Beruntung sekarang didirikan semacam madrasah diniyah. Disanalah aktivitas mengaji dihidupkan kembali.

Tapi saya melihat keganjalan pada ritual majlis     pengajian ibu-ibu. Kini seolah bergeser makna. Rutinitas mereka tak jauh dari membaca Yaasin, solawat, do’a tahlil, dan diselipi arisan. Mereka seolah tak tergerak untuk mengetahui lebih dalam tentang Al Qur’an, terlebih mengamalkannya. Meski bagi saya, mereka mau menghidupkan majlis saja sudah patut disyukuri, walau akan lebih baik jika setiap pertemuan ada tambahan ilmu yang didapat agar bertambah manfaat dan tidak menjenuhkan.

Prakarsa Kampung BeBe

kampungbebeblog

Fenomena inilah yang memaksa otak saya berpikir: apa yang bisa saya lakukan untuk kampung saya. Dengan keterbatasan modal, saya memberanikan diri mencanangkan Kampung BeBe.

Kampung Belajar & Bermain. Saya menggambarkan Kampung BeBe ini semacam komunitas belajar dan bermain bersama warga desa. Program yang saya rancang menyentuh semua usia: anak-anak hingga dewasa (terutama para orang tua yang buta huruf). Saya berniat membagi sesi pembelajaran dalam beberapa kelas, yakni Kelas Bahasa Jawa, Kelas Bahasa Inggris, Kelas Agama, Kelas Calistung, Kelas Matematika, Kelas Kreasi, Kelas Diskusi, dan Kelas Motivasi.

Kelas Bahasa Jawa, mutlak mempelajari bahasa Jawa yang baik dan benar. Terutama perihal unggah-ungguh basa, dan lebih utama lagi memotivasi anak-anak agar bangga pada bahasa daerah serta senang berbahasa Jawa dengan tataran yang baik dan benar (basa krama).

Kelas Bahasa Inggris dan Matematika, lebih mengedepankan mengubah mindset anak bahwa kedua pelajaran itu sebenarnya menyenangkan dan penting untuk dipelajari. Tentu dengan metode fun learning, agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik.

Kelas Agama, memberikan materi keagamaan yang kerap disepelekan tapi sebenarnya amat penting. Tata cara bersuci dan solat yang benar, misalnya. Tampaknya sepele, tapi buktinya memang masih banyak anak yang kurang memahami. Juga mempelajari Al Qur’an beserta maknanya. Walau satu dua ayat, asal paham maknanya tentu akan lebih mudah untuk mengamalkan.

Kelas Calistung: Baca, Nulis, Berhitung, ini khusus untuk orang tua yang huruf. Metodenya pun disesuaikan dengan mereka.

Kelas Kreasi, disini warga bisa bejalar kerajinan yang berbahan barang bekas. Agar mereka terlatih memanfaatkan sesuatu yang sudah tak tertapakai. Bisa jadi kertas bekas untuk kerajinan kertas lipat (semacam origami), hingga plastik bekas bunfkus kopi, sabun, dll untuk dijadikan tas antik.

Kelas Diskusi untuk mengisi wawasan umum, melatih warga untuk kritis dan mengemukakan pendapat. Kelas ini juga akan mencoba menumbuhkan kecintaan membaca dengan jadwal Review Buku. Sedangkan Kelas Motivasi, saya ingin membangkitkan kembali semangat belajar warga, tak peduli keterbatasan ekonomi juga usia mereka, karena belajar bisa dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Dikelas ini juga saya ingin mengadakan nonton bareng (nobar) film-film motivasi sebagai medianya.

Dipenghujung program ini, saya ingin menyelenggarakan Kampung Award. Semacam bentuk penghargaan untuk warga yang giat belajar, atau dia memberi pengaruh untuk kemajuan kampung, dan kategori-kategori lain. Diselingi juga Puncak Kreasi yang akan menampilkan aksi kesenian kampung oleh warga. Hal ini selain untuk melestraikan budaya, juga untuk menambah kecintaan generasi sekarang pada kearifan budaya lokal.

Alangkah bahagianya saya jika wahana kreativitas ini terwujud. Kampung BeBe, bukan hanya sekedar menumbuhkan kesadaran warga akan pentingnya pendidikan, tapi juga memberi ruang anak kampung untuk berkarya, bermimpi, berkreasi, dan mendorong untuk mewujudkannya.

Rencana saya tidak hanya sampai disitu, karena sejatinya Kampung BeBe hanyalah batu pijakan untuk mendirikan TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Semacam perpustakaan desa yang bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan.

Batu Kerikil Menghadang

mugbriSayang seribu sayang. Ada halangan melintang yang tak dapat saya share disini. Hingga mau tak mau saya harus menyimpan semua konsep itu hingga satu semster lagi. Ya, pada kepulangan saya selanjutnya.

Sempat sedih dan kecewa. Namun tak disangka ada obat mujarab yang kembali menyirami semangat saya. Seminggu lalu, tulisan SP (Suara Pembaca) saya dimuat di detik.com, berjudul Gandrungmangu Butuh Tambahan Kantor Unit BRI. (dapat sobat baca selengkapnya disini)

Tentang Mater Piece Sederhana

Ya, SP berisi keluhan saya yang mewakili suara warga ini ditindaklanjuti manajemen BRI. Hingga dua petugas mendatangi rumah guna klarifikasi serta memberi cinderamata berupa dua mug cantik. Besar harapan saya, kantor cabang BRI benar-benar akan ditambah. Jika pun tidak, setidaknya manajemen BRI pusat tahu permasalahan yang sebenarnya dan segera menindaklanjuti.

Meski jauh dilubuk hati saya berucap maaf. Maafkan saya, duhai kampung tercinta. Kepulangan saya kali ini baru bisa meninggalkan jejak SP guna perbaikan sarana perbankan yang paling digemari warga desa ini. Semoga kelak wacana Kampung BeBe bisa terlaksana, meski entah bagaimana caranya.

Namun ternyata, sobat. Tadi sore saya mendapat sedikit ganjalan berkaitan dengan BRI. Saya hampir saja terjerat modus penipuan yang mengatasnamakan BRI. Undian senilai 5 juta dan voucher pulsa 500 ribu dinyatakan menjadi milik saya. Tapi beruntung Allah MahaBaik. Saya tersadar dari hipnotis by phone itu setelah mematikan hape dan memikirkan beberapa kejanggalan. Insyaallah nanti postingan lain akan mengupas hal ini. Intinya saya menghimbau pada diri sendiri juga sobat semua agar lebih hati-hati terkait modus penipuan yang memang marak sekarang, via apa pun.

Huhf.. Tampaknya malam sudah makin larut, sobat. Ya, tak terasa ternyata hari sudah berganti. Jemari ini pun sudah mulai letih untuk melanjutkan celoteh ini. Semoga esok masih ada mentari pembawa semangat. Di tahun 2013 ini saya bukan tak mau memuat daftar Resolusi panjang. Saya hanya ingin memaksimalkan kemampuan dan daya juang. Ya, barangkali beginilah indahnya hidup.

Leave a Reply

2 Replies to “Celoteh Anak Kampung: Master Piece Sederhana”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *