‘Kepala Dua’ & Jalan Damai

Senja masih kemayu saat kutulis ini. Persis selempar pandang di depan kamar, mega merah jingga membentang senyuman. Ufuk barat bersiap menyambut mentari beristirahat. Barisan persatuan burung pun tak mau kalah, mengangkasa ke utara; menuju peraduan mereka. Dari speaker masjid selatan, lantang terdengar puji-pujian santri madin. Sesekali tersedak, suara gaduh, juga tawa yang tak mereka sadari ikut mengudara. Atap bumi sore ini sedang ceria. Elok nan berwarna.

Sekira tiga jepret kameraku mengabadikan panorama itu. Tampak senja berderap. Seolah membentengi rumah-rumah peduduk yang masih sibuk. Tak terkecuali jalanan, padat merayap. Menjelang adzan maghrib memang puncak kemacetan di tiap ruas jalan. Terlebih jalan yang tak bisa dibilang lebar itu, persis dibawah depan kamarku. Deru mesin berebut antrian jalan, klakson bersahutan. Satu dua terdengar ceracau pengendaranya. Tak sabar. Sayang sekali, mereka mengacuhkan kecantikan senja di langit sana.

Bola mataku reflek beralih pandang ke samping. Teman-teman sedang asik bergurau di kamar sebelah. Celoteh sore yang mengundang gelak tawa. Riang. AkuĀ  senang dengan keberadaan mereka. Deretan kamar-kamar ini jadi hidup dan berwarna oleh kebersamaan. Meski kutahu obrolan sore itu tak jauh dari pusaran gerundelan soal kos-kosan. It’s crazy, funny, and love story, guys.

Ah.. Sepotong senja yang menggemaskan. Dan tentu kurindukan.

Dert.. Dert.. Dert.. Hapeku bergetar. Ibu. Langsung kuangkat dan

Selamat ulang tahun, sayang Semoga tambah sayang keluarga, tambah dewasa, tambah tambah tambah tambah semua yang baik pokokya. Nasi kuning dan kadonya nyusul ya, sayang. Ibu terdengar bahagia diseberang sana.

Aku terharu. Speachless, kecuali ‘aamiin’.

Sejatinya aku berharap ucapan itu kudengar kemarin, 13 Maret. Tapi sepertinya ayah ibu sedang sibuk, bahkan saat kupancing via telepon pun justru diputus. Whatever, suara ibu sore ini sudah merenyuhkan hati. Makasih, bu.

Ini tahun ke lima aku mengulang tanggal lahir seorang diri. Ya, lima tahun sudah aku hidup di perantauan. Beruntung masih ada kawan dan saudara yang mengingat. Setidaknya di hari yang -kata orang bahagia, hari spesial- itu aku masih bisa makan kue ulang tahun buatan teman-teman.

Geli mengingat malam kemarin. Aku terlelap di atas sajadah selepas solat maghrib, lengkap dengan mukena. Tubuh ini memang sedang kurang fit. Saat suara gaduh beberapa remaja yang melewati bawah kamarku, aku sontak tersadar. Reflek penggalan ingatan kasus pencurian beberapa bulan ke belakang masih menyisakan trauma. Kulihat laptop masih menyala, jarum panjang jam di sana menunjuk angka 9, sedang yang pendek mendekati angka 11. Hampir tengah malam. Dengan kepala dan mata yang berat, kupaksa bangun. Kamar masih sangat berantakan. Murotal di hape juga masih berputar. Tampaknya aku benar-benar terbius kantuk.

Kruck.. Kruck.. Kruck.. Oh, no! Perutku berdendang. Aku lupa makan tadi sore. Dan, sepertinya ini petaka.

Tak mau mendramatisir rasa lapar, aku mengambil air wudhu dan solat. Menyeduh teh, sembari memutar instrumen musik Kenny G dan Richard Clyderman. Kubuka berkas tulisan yang belum rapi, berharap ini mampu kembali memanggil kantuk dan melupakan dendangan perut. Tampak FB memberi kode pemberitahuan baru. Adikku. Sederet doa panjang yang dia kirim, menjadikannya orang pertama yang mengucapkan itu (hepi milad, pen). Terharu. Adik yang paling hobi menjegal ATM-ku itu bisa juga merangkai kata. :)

Tapi sepertinya, Kruck.. Kruck.. Kruck.. Bunyi kendang dan talu ala perut ini kian keras. Apa yang harus kulakukan? Kutengok persediaan makanan, nihil. Aku memang belum membelinya lagi sejak sepekan. Tapi tak mungkin rasanya keluar di tengah malam begini, seorang diri. Tanpa pikir panjang, kusend sms pada kawan di kamar ujung barat. Berharap dia belum tidur, lebih berharap lagi dia masih punya sisa makanan. Jika pun tidak, setidaknya mau menemaniku beli mie instant.

Dah tidur, neng?, kuawali sms.

Kebangun ni., jawabnya singkat. Ternyata senasib.

Kok sama? Ada sisa makanan kah?

Aku juga laper eung. Tapi nggak ada apa-apa disini.

Beli, yuk!

Malas jalannya, neng. Jalanan sepi banget

Hmm, aku mulai pasrah.

Mau kopi?, dia memberi secercah harap.

Aku udah nyeduh teh, tapi

Coba ketuk pintu kamar sebelahmu, dia punya roti seingatku.

Dah tidur.

Panggil kamar deket tangga, dia ada makanan cenah.

Nasi? ALHAMDULILLAH.., aku segera bangkit.

Gak tau. Yang jelas makanan. ah, tak apalah.

Damae.. Damae Damae suara dia terdengar lantang dari luar kamar. Tak sabar menyuruhku keluar. Aku yang masih mengenakan mukena untuk solat tadi pun tak sempat melepasnya.

Ckreck persis bersamaan dengan detik kubuka pintu kamar, Happy B’day. Selamat Ulang Tahuuuuuuuuuun. Dua kawan yang suka menemani begadang, suka masak bersama, kadang juga suka iseng membully, serentak berteriak. Sembari menabuh setoples makanan ringan di tangan, wajah mereka sumringah.

Wuaaaa, makasiiiiih. Tapi jangan keras-keras, nanti satpam naik baru tahu rasa kita., semua tertawa.

Jadilah aku menanak nasi dan membuat nyanyian perutku berheti. Malam pun sudah berganti pagi, tapi mata ini enggan terpejam hingga mentari kembali bersinar. Untuk kesekian kalinya, aku begadang bersama mereka. Tapi.. Aku mencium gelagat tak beres.

Pradugaku benar. Malam berikutnya mereka berhasil melancarkan serangan G13M (Gerakan 13 Maret) di depan kamar. Air, telur, tepung, bedak tabur, dan beberapa bahan lain dilepar ke muka, rambut, dan sekujur tubuhku. Tak banyak yang bisa kulakukan kecuali menggigil dan kedinginan. Wajah mereka memecah tawa, ini benar-benar rencana sempurna.

Tak peduli tubuhku menggigil, mereka asik memotret bergantian. Dari sebalik kamar sebelah, tampak kue coklat lengkap dengan lilin yang menyala. Mendekat dengan lagu Selamat Ulang Tahun. Hatiku basah. Seuntai senyum dan bulir bening dari sebalik mata ini jatuh. Terima kasih kawan-kawanku.

Seketika itu juga memoriku menerawang masa lalu. Terbayang erangan ibu melahirkan putri pertamanya ini. Puncak jeritnya, kurasakan di detik-detik menjelang udara dunia menyapa lembut kulitku. Dua puluh tahu silam, aku hanyalah bayi mungil yang bisa bertahan hidup dengan bantuan medis. Berat 19 ons saat kulahir, memaksaku berjuang lebih keras dari bayi-bayi lain untuk bergerak, menangis, dan hidup normal. Beruntung wanita yang mengandung dan melahirkanku itu wonder women. Hingga kini aku bisa tetap bernapas meski terpisah dengannya sejak lama.

Terbayang masa kecil yang selalu kurindu. Diayun di cabang pohon Jeruk dan bermain dengan belalang sawah, adalah keseharianku. Sesekali di dekati ular hijau yang tak begitu nakal. Menangkap ikan Caung untuk digoreng. Mengejar traktor dan lempar-lemparan belet, tanah sawah yang sedang diproses untuk menanam padi. Matahari dan lumpur menjadi teman sejati.

Beranjak usia 4 tahun, aku mengenal buku di bangku sekolah. Perhatianku tercuri olehnya. Aku mulai jarang ikut berkebun dan bersawah. Jika pun ikut, pasti harus mengantongi buku bacaan dan camilan. Kadang lebih baik tunggu rumah, meski sering dapat omelan kalau ibu pulang masih ada piring kotor di meja.

Remaja, waktuku habis di sekolah. Perjalanan 10 km pulang pergi dengan sepeda, cukup menyita waktu dan energiku. Terlebih persaingan prestasi yang teramat ketat, membuatku terseok untuk mengejarnya.

Hingga usia 15, aku dikirim ke sebuah pesantren di kota bawang. Disanalah tempaan kehidupan yang sebenarnya dimulai. Lapar, sakit, gembira, bingung, gelisah, dan penat juga letih kumakan sendiri. Dan kini, tak terasa itu semua sudah berjalan 5 tahun.

Damae, ayo lekas tiup lilinnya. Damaee. , teriakan teman-teman menyudahi lamunanku.

Aku pun bergegas meniup lilin, mandi, dan duduk bersama mereka sembari memotong kue. Sampai lupa kalau tubuhku sudah menggigil hebat. Mereka keluarga yang baik. Meski sejatinya moment istimewa ini ingin kunikmati dengan ayah, ibu, juga adikku.

Senja sore ini menjadi saksi bahwa usiaku tak lagi belasan. Aku sudah berkepala dua. Bukan lagi saatnya ranum, ini waktunya aku dewasa. Dewasa meniti hidup yang tak pernah bisa kutebak. Dewasa menapaki seruang kesunyian, ruang yang membentang jalan damai.

Thanks to all my friends atas ucapan selamat dan doanya. Tanpa kalian, saya bukan siapa-siapa. Especially for someone who has make me know that I’ve Jalan Damai.

Leave a Reply

One Reply to “‘Kepala Dua’ & Jalan Damai”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *