Kolektivisme vs Individualisme dalam Komunikasi Bisnis

Alkisah, tentang Komunikasi Bisnis yang tak lepas dari Komunikasi Lintas Budaya.

Awalnya saya hanya meratapi tanpa menganalisis. Tapi kisah kedua dan seterusnya, membuat saya sejenak merenung. Aliran kepemimpinan macam apakah gerangan yang dianut para bisnisman ini? Mari berkisah, sob.

Pertama, sebutlah Mr. X, dia seorang kepala cabang yang baru saja ditempatkan pada anak perusahaan baru. Saat masa bekerjanya di bulan pertama itulah, dia meminang saya untuk bergabung dan menjadi bawahannya. Meski sempat ragu lantaran pernah berkasus dengan orang ini dalam pekerjaan yang berbeda, namun rayunya membuat saya menerima tawaran itu.

Singkat cerita, keraguan saya berbuah kasus yang jauh diluar prediksi. Sebabnya, sepele, sob. Hanya karena miskomunikasi via mobile phone. Secara tiba-tiba dia menuduh ini itu by SMS, sementara saya yang merasa tuduhan itu salah semua, terus membantah balik. Juga by SMS. Jadilah perdebatan rumit yang melebar ke persoalan lain, menyinggung perasaan, bahkan dia berani meramalkan kegagalan masa depan saya.

Sayangnya saya dan dia sama-sama emosi: dia merasa kuasa dengan jabatannya (kepala cabang), sedang saya tak takut jabatan dan tak sudi dilecehkan. Ya, dalam hal ini saya mengaku salah (walaupun dia yang mengajak ribut lebih dulu). Karena komunikasi by SMS jelas-jelas hanya menambah misunderstanding dalam menyelesaikan masalah, tapi tak satu pun dari kami yang mengajak bertatap muka dan duduk semeja untuk menjelaskan semuanya.

Apa yang terjadi kemudian, sob? Saya mengalah dengan mengajukan surat pengunduran diri. Meski saya harus merelakan gaji sebulan terakhir tidak terbayar sama sekali.

—–

Jika pada kisah pertama saya mengaku salah, maka kisah kedua dan ketiga saya tegaskan murni tanpa campur tangan kesalahan saya. Kasus kedua, saya menyebutnya bukan hanya parah. Tapi juga fatal. Sangat fatal.

Kali ini jabatannya lebih tinggi, Direktur. Bolehlah panggil dia Mr. Y. Berasal dari suku Jawa, berpendidikan dan dari kalangan berada. Perusahaannya memiliki 3 cabang dalam 6 bulan dan akan dibuka 3 cabang lagi dalam sebulan ke depan. Saya ditempatkan di kantor pusat dengan segudang tugas baru yang sama sekali belum pernah saya sentuh.

Kok bisa?

Ya, itulah kesalahan pertamanya. Mr. Y tidak menempatkan karyawan sesuai dengan potensi masing-masing. Meski waktu itu alasannya darurat dan akhirnya saya merangkap beberapa pekerjaan. Beruntung hanya ditraining 2 jam, saya bisa menangkap semua tugas dengan baik. Bahkan, dia mengagumi kinerja saya. (Kalimat terakhir itu bukan sedang sombong lho, sob)

Namun masalah baru memberondong tanpa basi-basi. Mulai dari otoritasnya yang diam-diam kejam, hingga segala keputusan yang tidak pernah masuk akal dan sungguh merugikan semua karyawan.

Dia mengangkat dan memberhentikan karyawan seenaknya. Memenej semua kantor cabang tanpa mau merekrut Kepala Cabang. Dia mengganti jadwal kerja seenaknya. Tidak membayar kerja lembur karyawan. Menunda pemberian gaji. Dia juga selalu merasa superior. Sulit percaya pada kinerja karyawan. Banyak larangan baru yang ditetapkan mendadak, padahal bertentangan dengan larangan sebelumnya. Dan, masih banyak lagi keanehan-keanehan yang tidak masuk akal.

Maka dapat dipastikan satu per satu karyawannya pun geram. Terlebih ketika tahu karyawan lain dipecat by SMS, tanpa alasan yang jelas. Sayangnya mereka tak berani bicara, tak berani menggugat, juga tak berani mengadukan pada siapa pun. Kecuali sama saya dan satu lagi rekan sejawat saya.

Melihat kondisi ini saya tak tinggal diam. Saya ajak dia ngobrol santai sambil menjelaskan keluhan karyawan. Usai obrolan, dia meminta maaf dan langsung memenuhi semua hak karyawan yang terlunta sebelumnya. Tapi apesnya, sebulan kemudian justru giliran saya yang dipecat by SMS. Padahal seminggu sebelumnya dia baru meminta saya untuk tidak resign meski sibuk kuliah. Anehkan? Memang.

—–

Kisah ketiga, belum lama ini, sob. Tidak rumit sebenarnya. Hanya lagi-lagi berkutat pada satu kata kunci: miskomunikasi bisnis. Ceritanya saya direkomendasikan rekan kerja untuk bergabung di perusahaan baru, tempatnya bekerja. Namanya baru, pasti butuh karyawan untuk menempati posisi-posisi yang masih kosong.

Maka saya coba kesana dan langsung bertemu Direktur. Setelah bercakap panjang lebar selama 3 kali pertemuan, dia meminta satu konsep baru untuk divisi yang akan saya garap. Dia pun memberi harapan untuk menjadikan saya Kepala Divisi tersebut.

Namun, apa yang terjadi setelah saya presentasi konsep baru itu? Dia justru mengeluhkan kesibukan saya sebagai mahasiswa. Dengan kata lain, dia tak mau merekrut karyawan part time. Alias dia menginginkan saya kerja full di kantor. Padahal sebelumnya, sudah saya jelaskan sejelas-jelasnya terkait aktivitas di kampus dan keseharian. Serta seberapa besar waktu untuk bekerja.

Endingnya, tak mau ambil pusing. Saya langsung menolak penawaran pekerjaan itu sebelum turun SP. Sejujurnya saya memahami bahwa kalimatnya yang mengeluhkan kesibukan saya itu hanyalah kata lain dari: belum ingin mengangkat karyawan baru atau ingin memaksimalkan kinerja karyawan yang ada sekarang. Meski dia belum mengukur seberapa potensi karyawannya untuk bidang garapan saya.

Hanya saja, satu hal yang saya sayangkan: mengapa dia baru keberatan terkait jadwal part time saya setelah saya mengajukan konsep baru? Nah, lho.

—–

Tidak ada maksud apa pun dari semua uraian kisah di atas, sob. Kecuali satu hal: menelaah pemahaman nilai kolektivisme dan individualisme dalam konteks komunikasi bisnis. Maksudnya?

Begini. Bangsa Indonesia, terutama suku Jawa dan Sunda ialah penganut kolektivisme, suatu pandangan bahwa kelompok lebih penting dari individu. Penganut individualisme berpaham sebaliknya. Nilai-nilai kolektivisme yang penting adalah kekeluargaan, gotong royong, keramahtamahan, dan saling menghormati. Dalam bahasa Jawa kita sering mendengar “Mangan ora mangan, ngumpul”. Bila diterjemahkan ke bahasa Sunda menjadi “Bongkok ngaronjok bengkung ngariung”.

Disisi lain, kolektivisme juga mempunyai dampak negatif. Para penganutnya cenderung kurang inisiatif, menunggu instruksi atasan, bersikap ABS (Asal Bapak Senang), enggan bersaing secara positif, dan kurang terampil memelihara konflik.  Pada gilirannya, kolektivisme menyuburkan “korupsi berjamaah” atau KKN. Kita cenderung mengangkat orang yang punya hubungan dekat (kekerabatan, perkawanan, sekampung, sealmamater) untuk menduduki suatu jabatan. Meski orang bersangkutan kurang mampu dibanding calon lain yang kurang kita kenal. (Deddy Mulyana, 2011: 25-26)

Sedangkan masyarakat individualis menekankan hak pribadi, kebebasan bereksprei, kemandirian, inovasi, dan tanggung jawab. Setiap orang dinilai berdasar prestasinya, bukan kedekatan hubungannya dengan orang yang berkuasa. Mereka diperlakuakn sama. Berdasar prinsip itu, mereka tidak terlalu terkesan dengan jabatan hierarkis seorang kolektivis yang berharap dihormati secara layak oleh bawahannya.

Dapat kita bayangkan betapa besar jarak sosial atasan dan bawahan pada budaya kolektivis. Disana terdapat kesenjangan, senioritas, juga keseganan yang menimbulkan mental ciut bagi bawahan untuk bersikap kritis. Seberapa sering kita mengkritik atasan kita yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan, bahkan yang fatal, seperti menjegal karyawan atau melakukan korupsi? (2011:27)

Ditinjau dari sisi budaya, masyarakat kolektivis sering tidak berterus terang dalam berkomunikasi. Mereka terbiasa tidak mengatakan apa yang mereka maksudkan dan tidak memaksudkan apa yang mereka katakan. Cenderung bermuka dua.

Mari kita tengok dari konteks pendidikan. Ciri-ciri murid yang baik di Indonesia selain pintar, sopan, patuh, adalah tidak membantah perintah guru. Akibatnya, mereka tidak terbiasa mengelola konflik. Sehingga begitu konflik terjadi, mereka tersinggung dan ngambek.

Para pejabat tinggi di negara kita juga tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai budaya, khususnya kolektivisme. Sebutlah kubu SBY dan Megawati yang sempat tidak bertegur sapa sejak SBY menjabat sebagai presiden. Seakan mereka terpenjara pola pikir yang terjebak budaya ciut menyelesaikan konflik.

Maka, kembali pada ketiga kisah saya di awal, orang-orang yang berkepribadian luwes dan berwawasan luas cenderung lebih mampu menyelesaikan persoalan tanpa menyisakan konflik baru. Semoga tulisan ini senantiasa mengingatkan saya pribadi, untuk terus memperbaiki diri dan pola komunikasi dalam segala hal.

Overall, cukuplah memetik hikmah dari setiap persoalan. Ini bukan artikel apalagi makalah. Ini hanya celoteh yang ingin mengingatkan bahwa: mendendam tidak akan pernah membawa kebaikan, bahwa memaafkan lebih mulia dari meminta maaf. Dan, begitu pula telah saya coba lakukan untuk ketiga kisah tadi. InsyaAllah.

Wallohu’alam.

Leave a Reply

One Reply to “Kolektivisme vs Individualisme dalam Komunikasi Bisnis”

  1. waduh, kalau sudah kerja kaya gitu yg paling nyakitin adalah tidak terbayarnya gaji bulanan gara2 ada problem di tengah2

    namun yg paling menyesakkan itu yg ketiga. sangat banyak tipe2 orang kaya gitu. punya ambisi besar, visi kemana-mana, tapi selalu berkelit klo disentuhkan dengan urusan . menyesakkan kl tak pernah terus terang kalo masalah utamanya pada duit yg ga ada. dengan kata lain, ingin cari yg murah.

    saat saya dulu ngadain lomba bikin BOX bukan asal pede. tapi menangkap obsesi stakeholder akan kebutuhan BOX yg harus dibuat bagus lagi WAH. tapi saat desain diwujudkan. muternya kemana-mana.
    Persis kaya no 3.

    terima kasih atas kunjungannya, mas charles. :) rupanya kita pernah bernasib sama.. mari berdamai, :)

Leave a Reply to Charles Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *