Absen Sidik Jari Dosen, Sudah Semestinya!

(foto: Sri Wahyuni) Dosen fakultas Ushuludin, Ahmad Izzan, sedang mengungkapkan pendapatnya terkait absen sidik jari untuk dosen, Jumat (08/13) di ruang dosen lt. 3 fak. Ushuludin.
(foto: Sri Wahyuni)
Dosen fakultas Ushuludin, Ahmad Izzan, sedang mengungkapkan pendapatnya terkait absen sidik jari untuk dosen, Jumat (08/13) di ruang dosen lt. 3 fak. Ushuludin.

Pemberlakuan absen elektrik dengan sidik jari (finger print) di kalangan dosen UIN SGD Bandung, masih menjadi buah bibir. Pasalnya ketentuan pemerintah yang berlaku untuk seluruh PNS ini dinilai memberatkan dosen, terutama mereka yang tinggal di luar kota. Namun, dosen fakultas Ushuludin, Drs. H. Ahmad Izzan M. Ag., yang pulang-pergi dari Garut justru terang-terangan mendukung absen elektrik ini.

“Itu sudah semestinya. Dalam rangka meningkatkan kinerja dosen.”, tegas Izzan, sapaan akrabnya, saat ditemui Jum’at (08/11) siang.

Pengampu mata kuliah Bahasa Arab, Ulumul Hadist, dan Ulumul Qur’an ini menganggap keberatan dosen terkait absen sidik jari bisa diterima ketika dosen kembali ke tugas pokoknya. Yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tugas mengajar tiap dosen rata-rata 9 SKS dan bisa diselesaikan dalam sehari. Selebihnya waktu dosen bisa digunakan untuk melakukan penelitian dan pengabdian di masyarakat.

Namun dimata Izzan, dalam konteks pembelajaran, dosen bukan sekadar mengajar tapi juga mendidik. Artinya, intensitas kehadiran dosen sangat diperlukan. Sebanyak apa dosen hadir, sebanyak itu dosen bertemu mahasiswa, sebanyak itu pula komunikasi antara dosen dan mahasiswa terjalin.

Lewat komunikasi inilah, dosen bisa berperan lebih banyak untuk membantu mahasiswa memecahkan berbagai persoalan. Dosen bisa leluasa untuk memberi waktu bimbingan, memotivasi, dan menambah proses pembelajaran yang tidak sempat dilakukan di kelas. Untuk itulah sidik jari sangat penting.

“Sidik jari itu hanya untuk kehadiran dan uang makan. Kalau hadirnya sedikit ya dapatnya (uang makan) sedikit. Tapi kan bukan itu maksud absen sidik jari.”, jelas dosen yang juga fasih berbicara bahasa Inggris, di ruang dosen lt. 3 fakultas Ushuludin.

Bagi Izzan, filosofi sidik jari sebenarnya ingin meruwah (menghadirkan, red) dosen ke lembaga yang menjadi tanggung jawabnya. Dari kehadiran itu diharapkan ada proses maksimalisasi tugas yang bisa meningkatkan kualitas pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Berlakunya sidik jari juga memberi peluang besar bagi mahasiswa untuk memanfaatkan pertemuan dengan dosen. Pertemuan ini menjadi kunci komunikasi yang berefek pada peningkatan kualitas output mahasiswa. Intensitas komunikasi jelas memberi kesempatan dosen dan mahasiswa untuk saling mengenal. Bukan hanya menyapa saat bertemu di kelas, tapi juga menyelami siapa dan bagaimana mahasiswa yang diajarnya.

Izzan menjelaskan, kunci sukses pembelajaran itu ada pada pola komunikasi. Jika komunikasi dosen buruk, maka besar kemungkinan apa yang ia sampaikan pada mahasiswa tidak akan membekas. Sementara mustahil terjalin komunikasi yang baik kalau dosen dan mahasiswa jarang bertemu.

“Kegagalan pendidikan itu karena kita tidak paham siapa yang kita didik.”, lanjut Izzan.

Mendidik sesungguhnya adalah menemukan potensi mahasiswa. Potensi inilah yang akan mengantarkan mahasiswa menemukan dirinya. Menemukan dirinya berarti menemukan kesadaran hidup. Maka ketika mahasiswa sudah menemukan kesadaran hidup, ia bisa menemukan Tuhannya.

Itulah mengapa Izzan mengibaratkan sidik jari seperti wasilah. Alat yang seharusnya memotivasi hidup untuk terus meningkat. Semacam perisai agar dosen membantu mahasiswa terus naik level. Jangan sampai ada wisudawan yang sudah melewati 8 angka (8 semester, red) justru kembali ke angka nol ketika terjun di masyarakat. Bila hal itu terjadi, ada kemungkinan mahasiswa gagal menemukan potensinya. Gagal menemukan dirinya.

Karenanya, dosen dan mahasiswa harus bersinergi. Tugas mahasiswa berat, dosen juga berat. Maka seyogyanya keduanya mencari solusi bersama agar tugas itu menjadi sama-sama ringan. Itulah proses bagaimana sidik jari menjadi motivator untuk membangun integritas dan kualitas keduanya.

Lagi pula, kata Izzan, pro atau kontra pendapat civitas akademika, absen sidik jari ini tetap akan berjalan. Jadi persoalannya bukan lagi setuju atau tidak, melainkan bagaimana memanfaatkan kebijakan ini untuk menemukan jati diri (dosen juga mahasiswa).

“Efek sidik jari ini tidak sehari dua hari. Barangkali nanti 10 tahun lagi. Tapi yang penting kita sudah menanam. Nah, sidik jari inilah benih untuk masa depan.”, pungkas Izzan sembari tersenyum lega. (Damae Wardani)

CategoriesUncategorized

Leave a Reply

15 Replies to “Absen Sidik Jari Dosen, Sudah Semestinya!”

    1. di sini berlaku umum untuk semua pejabat struktural, karyawan (PNS maupun honorer) dan dosen, mak. :)

  1. Secara administratif saya setuju dengan absen sidikjari. Tetapi sebenarnya ada hal yang perlu dibenai mengenai absen semacam itu. Hal ini cukup merepotkan terutama bagi dosen yang memiliki rangkap jabatan (masih dalam satu universitas) dan kantornya tidak ada di satu tempat. Katakanlah seorang dosen di fakultas teknik tetapi sekaligus menjadi pejabat di kantor jaminan mutu universitas (KJM). terkadang harus datang ke fakultas dalam statusnya sebagai dosen, terkadang harus datang ke kantor pusat universitas dalam statusnya sebagai pejabat universitas. Kuncinya adalah integrasi seluruh mesin sidik jari. nah, sejauh ini ya mesin sidikjarinya masih mesin sidikjari tunggal (bukan mesin sidik jari dalam jaringan).

    1. wah tanggapan mas Konco Plastik bagus sekali. memang, sementara masih mesin sidik jari tunggal. tapi kalau tidak dimulai sekarang, kapan bisa berkembang dengan mesin jari dlm jaringan?

      perkembangan teknologi yang super sekarang ini kan juga tidak makjleb langsung keren, tp bertahap. bahkan berawal dari manusia purba yg pake kampak, batu, dll.

      kiranya begitu juga dg mesin sidik jari ini. tidak bisa makjleb lgsg keren. :)

      begitu, mas. matur suwun sudah mampir.:)

  2. sayangnya di tempat kuliah saya, kehadiran dosen dengan sidik jari dirasa kurang maksimal. Karena dosen datang dengan absensi sidik jari, tapi tidak masuk kelas. Pas dicari dikantornya ada dan diberi tugas saja (tanpa mengajar). Sehingga sistemnya digandakan, absen sidik jari, lalu ada absen tanda tangan masuk kelas bagi mahasiswa dan dosen.

    1. nah, berarti itu bukan absen sidik jarinya yang salah, tp dosennya yg perlu dijitak :D
      #UPZ

      Makasih mas hanif, sudah mampir, :)

  3. cukup DPR saja yg absen sidik jari karena amanahnya sangat besar dalam menyuarakan kepentingan rakyat.

    sedang dosen, tugas mengajar dan mendidik adalah tugas nurani. saat nurani diikat oleh mesin akan membuat pola ketergantungan manusia pada mesin. jika itu tjd akan banyak dosen bak robot dan mewariskan kerobotannya ke mahasiswa. saat itu terjadi dosen dan mahasiswa akan kehilangan jatidirinya sebagai manusia.

    saya prihatin dengan kebijakan ini. seakan manusia hanya 1 tipe. yg setuju dengan kebijakan ini tentu dosen yg tertib-tertib saja.

    teknologi itu untuk memudahkan kerjaan manusia, bukan membatasi gerak manusia. jika ditilik, sidik jari memudahkan urusan kepegawaian. bukan dosen yg banyak aktivitas diluar. gerak dosen tipe tsb akan terbatasi.

    ya, spt dlm artikel itu. tunggu 10 tahun lagi. manusia akan hilang sisi manusianya.

    jadi ingat Gusdur, teknologi memang harus dipegang orang humaniora, bukan orang teknokrat, agar tidak menggradasi manusia.

    1. wah, gak nyangka postingan ini menjadi bahan diskusi. semua komen2 di atas sangat personal dan relatif, termasuk pendapat om Novi. :)

      jadi malu, karena tulisan ini sebenarnya belum tuntas. masih banyak narsum lain yg belum ditayangkan.

      tp apa pun tanggapan pengunjung blog ini, saya tetap menghargai dan berterima kasih. :)


      makasih om Novi atas kunjungannya. :)

  4. saya malah heran kalo dosennya keberatan dengan absen sistem sidik jari…ada apa sebenarnya dibalik keberatan itu, padahal absen sidik jari itu tujuannya bagus, agar kedisiplinan akan kehadiran bisa terjaga dengan baik…
    kalo dosennya sendiri tidak mau mendisiplinkan dirinya, lalu bagaimana sang dosen mau mengdisiplinkan para mahasiswanya…salam :-)

  5. dosen tidak dapat disamakan dengan PNS biasa yg bekerja dari jam 7.30 -16.00 dan dibuktikan dengan absensi. Tetapidosen sebenarnya bekerja lebih dari itu. Dosen dirumah masih melakukan pemeriksaan tugas dari satu persatu mahasiswa yang dikirimkan melalui email dan sekaligus memberikan feedback kepada mahasiswa. Waktu yang diperlukan untuk minimal 25 menit/mahasiswa. Seandainya jumlah mahasiswanya lebih dari 100 orang maka berapa lama waktu yg dibutuhkan? belum lagi berapa rupiah yang dikeluarkan untuk pulsa? tugas lainnya membuat bahan ajar yang selalu harus di updatei sesuai dengan perkembangan secara global, buat soal UTS dan UAS, koreksi UTS dan UAS, membimbing siswa, dll. Selain itu tugas untuk penelitian dan pengabdian masyarakat butuh waktu yang cukup. Nach kalau dosen harus absen tiap hari Tri Dharma PT dipastikan amburadul. Dengan demikian tugas dosen tidak perlu dihitung karena saking banyaknya dan demikian pula dosen tidak perlu absen setiap hari………………….

  6. Bagaimana penelitian dosen akan berkualitas bila harus absen setiap hari? Bagaimana dosen bisa mengembangkan pengabdiannya kalau hrus terkungkung absen…tridharma dosen bukan hanya didalam kampus,tp jg diluar kampus.klu hrus selalu absen,bagaimana mungkin kita melakukan penelitian diluar daerah?

Leave a Reply to AHMAD FAUZI Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *