Angin Ngoceh Soal Pemilu

pemilu
Ayo Memilih Semuanya!

Pemilu sudah menggema ke seluruh negeri. Pesta demokrasi yang katanya “demi masa depan bangsa” itu kian hari kian panas. Sodok sana, sodok sini.

Terjang sana, terjang sini. Kampanye terbuka, kampanye tertutup. Retorika dimana-mana.

Keluar rumah satu langkah, ada foto narsis si Anu dari partai Ini. Langkah kesepuluh, terpajang spanduk si Itu dengan program yang tak jelas. Tambah 5 langkah, ada iklan caleg Ini yang numpang di nama toko.

Jangan-jangan nama toko yang numpang di iklan caleg itu? Tambah 10 langkah, baligho besar bergambar calon Presiden RI, gagah, rapi, berpeci, tapi jelas sekali wajahnya berilusi.

Begitu seterusnya bahkan sampai bangku di kelas, meja di kelas, tembok di kelas, mading, dan semua sisi yang bisa ditempeli: striker, brosur, poster. Beberapa event yang terselenggara akhir-akhir ini juga tidak sedikit yang menggelitik dunia politik. Ujungnya didemo mahasiswa dengan orasi terbuka dan bakar-bakaran ban (atau ini hanya akting teater berbayar?).

Bahkan baru-baru ini santer terdengar, beberapa politikus masuk sekolah. Berdalih “pendidikan politik”, endingnya minta doa restu dan dukungan dari semua guru (juga wali murid lewat muridnya) agar dirinya terpilih dalam pemilu nanti.

Lha, anak SD tahu apa tentang politik? Kalau tujuan utama memang mau menggaet guru, tidak adakah cara yang lebih elegan dari mblusuki sekolah dan menganggu KBM?

Ah, masih mending mata ini melihatnya paling banter setengah hari saban hari. Angin, hujan, dan matahari yang melototi itu, mau tak mau bertemu itu, dalam 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, tak terbayang bagaimana rasanya. Andai manusia mengerti bahasa mereka, mungkin sudah muak mendegar jeritannya.

Lalu, siapa yang akan kamu pilih nanti?

Sebentar, sebelum tanya itu, saya masih mau ngoceh soal pajangan-pajangan itu. Itu, itu, di pohon-pohon tepi jalan. Hampir tiap pohon ada paku untuk menyangga foto narsis. Pertanyaanku, itu pohon milik siapa? Itu foto milik siapa, siapa yang melakukannya?

Mbok yo eling, di gambar yang terpaku itu jelas onine “Memihak rakyat, membela rakyat, mensejahterakan rakyat”, kok bisa-bisane sak enake nyeplos-nyeploske paku ngono kuwi?

Haruskah saya teriak-teriak kalau pohon itu juga milik rakyat? Kalau pohonnya rusak, siapa mau mendengar tangisan pohon itu? Siapa mau tahu kalau polusi jalan tidak lagi bisa dibersihkan oleh pohon karena pohonnya mati? Lagi pula, dimana logikanya bilang “semua untuk rakyat” sambil merusak aset rakyat?

Nah, itu, mulai terdengar lagi dang-dut-an dan ketipak-ketipuk kendang dari lapangan sebelah. Duh, Gusti.. Goyangane, rek! Rok mini berpadu tank top kok geyal-geyol di depan backdrop bergambar Waliyullah! Mau disebut pelecehan, jelas tidak terima. Mau didiamkan, kok rasanya geram.

Apalagi penontonnya dari balita sampai manula. Kalau Cuma dewasa sih, bisa memahami kebiadaban penyelenggaranya. Lha kalau anak kecil, remaja, dan setengah dewasa? Monggo dijawab sendiri.

Satu lagi, lihat di bundaran jalan itu. Dari 4 arah numpuk jadi satu. Maju susah, mundur mentok. Motor berseragam lengkap dengan spanduk, kaos, topi, dan segala atribut lain, berjejal menyetrika jalan. Apa dengan begitu aku jadi simpati?

No way! Yang ada mendung makin tebal, mata langit perih terkenap kepulan asap motor dan mobil sebegitu banyaknya. Jalanan macet panjang, kerja terhambat, waktu terbuang tanpa karya.

Herannya, orang yang diagung-agungkan dalam panggung jalanan itu justru duduk manis di dalam mobil mewah, memakai kacamata hitam, sembari minum softdrink dan sesekali mengepulkan asap rokok. Welah dalah, ini tho calon wakil rakyat?

Lagian sebenarnya apa sih yang diingankan rakyat? apa yang mereka punya untuk mewujudkan keinginan rakyat itu? Lha, bajir masih ada dimana-mana. Macet dimana-mana. Sungai mati dimana-mana. Sampah numpuk dimana-mana. Gunung ngamuk, hutan remuk, langit nangis jejeritan! Anak jalanan, pengemis, pengangguran, yo okeh tenan ra enthek-enthek.

Sawah kering di musim tanam, banjir di musim panen. Pupuk harnya tingakt dewa. Hama dimana-mana. Petani menjerit kalau harga padi anjlog gegara kelakuan bulog. Belum lagi pedagang kaki lima yang tidak boleh dagang di jalan sana, tidak boleh di jalan sini, tapi pemerintah lelet dalam realisasi janji pembangunan lahan dagang PKL.

Tiap hari di tivi, koran, internet, berita soal hukuman mati TKW yang jadi buah bibir dimana-mana. Itu belum termasuk yang sudah disiksa, dipaksa kerja tanpa gaji, diperlakukan seperti hewan, bahkan tidak sedikit yang pulang tinggal raganya saja. Ngeri sekali. Semua itu bukan permasalahan sepele yang bisa kelar dengan slogan “hanya untuk rakyat” di semua spanduk dan baligho, Bro!

Hm. Percuma kamu kesal sama saya. Tidak akan mengubah apa-apa.

Ya, memang! Saya tidak berharap ada perubahan setelah ngoceh sama kamu. Tapi setidaknya dengan begini hati saya jadi sedikit lega. Kalau kamu saja sudah tidak mau mendengar, terus harus kemana aku mengeluarkan uneg-uneg?

Makannya, Bro, kalau mau ada perubahan, jangan golput di Pemilu nanti!

Siapa bilang aku mau golput? Aku memang mau ikut milih kok!

Bagus. Terus siapa pilihanmu?

Rahasialah! Yang jelas aku mau milih semuanya. Mau nyontreng mau nyoblos, pokoknya semuanya.

Lho, kok dipilih semuanya, piye tho?

Ya daripada tidak ada yang dipilih, berarti dianggap golput. Kamu tahu, kertas suara yang golput itu bisa dicuri atau dibeli. Ssst, ini rahasia ya. Saat Pilgub tahun lalu itu, aku memergoki temanku membeli kertas suara golput. Kamu tahu apa yang dia lakukan setelah itu?

En-dak, piye-piye?

Dia turun ke kampung-kampung, mencari orang-orang yang belum milih, meminta bantuan mereka untuk milih calon yang dia jagokan, dan membayar orang-orang itu setelah memilih. Repotnya, jejaknya tidak tertangkap pengawas pemilu, tidak ada yang tahu!

Serius?

Tiga rius! Suer! Makannya aku bilang mau nyoblos dan nyontreng semuanya! Selain menghindari pelaku kejatan terselubung seperti tadi, kertas suara kan jadi dianggap rusak dan tidak bisa dipakai lagi kalau sudah dicoblos atau dicontreng semua.

Lebih penting lagi, reputasi daerah kita bisa meningkat kalau hasil pemilihan di Pemilu nanti itu bunyinya begini: Sah 110, Kertas Suara Rusak 300, Golput 0, nol, alias kosong!

Wuahaaa.. Cerdas, Lee!
Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak milih satu saja? Memang tidak ada yang ingin kamu dukung?

Ada. Tapi tidak mau lewat Pemilu. Dia tidak pernah merasa hebat apalagi merasa pantas untuk menjadi wakil rakyat, terlebih memimpin negeri ini. Dia tidak pernah mengagungkan namanya sama sekali. Tapi siapa pun yang mendengar namanya, pasti takdzim dan mengakui kharismanya.

Lha, kalau tidak lewat Pemilu, bagaimana dia bisa…

Itu, itu masalahnya! Itu alasan saya mencoblos semuanya tapi sebenarnya tidak memilih satu pun!

Ngomong-ngomong lagi, siapa dia, Bro?

Rahasia! Nanti kamu juga tahu sendiri.

Halah, daritadi rahasia-rahasia terus.

Rahasia terus?

Iya. Waktu aku tanya “siapa pilihanmu?” kamu jawab “rahasia”, tapi ujungnya ocehanmu bilang “milih semuanya”!

Oiya tho? Hahaha, aku lupa.

Dasar Angin!***

Leave a Reply

6 Replies to “Angin Ngoceh Soal Pemilu”

  1. Kampanyenya aneh2. Masa masuk sekolah? SD pula? Mengganggu kan. Ck ck ck
    Saya masih bingung nih mau milih siapa, mau golput atau bagaimana. Eneg lat poster2 baca brosur2 apa lagi baca berita kek gini yang kampanyenya aneh2 :D

  2. Saya pernah melakukannya di pemilu awal reformasi. Ga salah 1999 dan 2004. Alasan prtama geram, melakukannya juga dengan geram sehingga mencoblos semuanya merupakan bentuk kutukan terhadap caleg-caleg terdaftar (bak ritual vodoo). “Kpn lagi bisa beritual spt ini.”

    Alasan kedua seperti yg disebut si angin. Karena modus tersebut memang sudah terjadi sejak lama sekali. Sudah bukan rahasia lagi kalau lembar kosong bakal diisi oleh oknum-oknum. terutama di tempat yg tidak ada saksinya. (karena saksi disediakan oleh partai masing-masing menjadi dilema bagi partai bermodal pas-pasan, sehingga banyak TPS tidak ada saksi partainya)

    Tapi selanjutnya tak lagi saya lakukan karena sejatinya yg dilakukan itu esensi sama: TIDAK MEMILIH. Hanya retorika belaka. Sama sekali tidak ada gunanya. (semakin retorika karena ada jawaban: tidak memilih itu adalah sebuah pilihan. Gleg!)

    Di negara demokrasi pikiran sepert ini tentu berbahaya. Terlebih disuarakan oleh mahasiswa/pemuda yang menjadi harapan perubahan. Logika sederhananya: jika memang tidak memilih adalah kebaikan tentu semakin banyak yang tidak memilih akan menjadi semakin baik. Selanjutnya, jika hasilnya 100% tidak memilih, itu adalah kesempurnaan dari sebuah kebaikan. Si angin bisa menjawab: ini sementara. Habis gemes aja. Biar mereka merefleksi kenapa ini terjadi (loh, masih ada harapan to dari mereka hahaha)

    Lantas bagaimana sistem pemerintahan ini jika 100% tidak ada yang memilih. Kehidupan berdinamika, mobil lalu lalang, orang-orang membeli saham, yang lain melepasnya, pak tani mencangkul dan memanen sawahnya. Bayangkan semua terjadi mengalir begitu saja, tanpa aturan. Cepat atau lambat akan terjadi gesekan, terjadi konflik horisontal, dan seterusnya.
    Dan untuk menyelesaikan masalah itu bagaimana? Menunggu keajaibankah? Emmm menunggu para wakil merefleksi? (hasyaahh.. Diam-diam masih berharap lagi.. ).. Atau Menunggu imam Mahdi?. Iya kalau turun bulan depan. Kalau ternyata masih menunggu 30-40 tahun lagi.

    Agar kehidupan kembali berjalan, saya yakin semua bersepakat membuat perwakilan antar organisasi, antar elemen, antar sekolah, antar kampus, antar propinsi, antar kepentingan, antar… dan seterusnya. Karena gedung rapat itu hanya menampung sedikit sekali dibanding jumlah penduduk di negeri ini.

    Itulah yang menurut saya berbahaya. Brainwash terharap generasi. Tak salah kalau Ibnu Taimiyah pernah berpendapat bahwa penguasa yang dhalim lebih baik daripada tidak ada pemimpin sama sekali.

    Akan terasa, jika nanti si Angin punya kekuatan dan kemampuan plus kemauan. Karena negara disepakati demokrasi maka mau tak mau harus masuk ke parlemen. Lantas si Angin membuat program yang sungguh-sungguh. Sangat sungguh-sungguh dan serius. Tak ada money politik dan segala jenis kecurangan lainnya. Tapi kepada siapa si Angin bicara kalau para generasi sudah berpendapat bahwa tidak memilih juga sebuah pilihan. Akhirnya dia tak bisa ke parlemen karena tak ada yang memilih. Dan tetaplah parlemen di isi oleh para wakil-wakil dholim.

    Yup, politik. Sebetapa kotornya tetap harus diikuti. Kata Bang Anis Baswedan: “Bila kita semua ingin jadi warga negara yang baik HANYA dengan jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang mengelola APBN dari uang pajak kita ? Urusan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, infrastruktur, siapa yang memutuskan? Yang memutuskan adalah mereka-mereka yang berada di wilayah politik.”

    Saran saya untuk si Angin:
    Tetaplah memilih salah satu. Ada banyak pemimpin Muslim yang adil dan shalih menurut neraca agama tapi mereka tidak terekspos oleh media massa. Ada pemimpin Muslim yang adil dan salih tapi mereka tidak terpilih diakibatkan pemberitaan media massa yang salah. Kemudian yang tertinggal adalah pemimpin Muslim yang dianggap tidak adil dan pemimpin non-Muslim yang dianggap adil. Umat Islam kemudian dipaksa membuat pilihan ini, setelah sebelumnya pilihan yang bagus dikeluarkan dari ajang  pertandingan.
    Jadi yang bisa dilakukan adalah “memilih yang terbaik dari yang terjelek” atau “memilih yang buruknya sedikit dibanding yang buruknya lebih banyak” (saking buruknya semua).

    Yang kedua, lakukan MUBAHALAH, sendiri atau berjamaah. Mubahalah ini dilakukan bersama-sama sehari menjelang pemilu dengan berkumpul di Masjid, atau di Gereja, di Pura, atau di Wihara terserah menurut kepercayaan masing-masing. Atau minimal sendiri saat di dalam bilik TPS.
    Saat mubahallah katakan kepada Tuhan “Sebenarnya kita bingung mau memilih siapa, tapi apa boleh buat ini demi suksesnya konstitusi demokrasi, maka kami akan milih yang menurut kami sementara ini dia yang terbaik. Mohon ENGKAU yang menguji. Kalau yang kami pilih ini yang ternyata baik TOLONGLAH dia, tapi kalau dia berkkhianat maka CEPAT HANCURKAN dia.”

    “Wa makaruu wa makarallah wa-llahu khoirul maakirin”.

Leave a Reply to Idah Ceris Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *