Unspecial Piece of Unforgettable Journey

Keretaku terus melaju. Berderit menyetrika rel tua dengan wajah barunya. Wajah baru? Ah, kurasa hanya polesan cat dan sedikit permak di tubuhnya. Agar tampak bersih, rapi, dan nyaman diduduki. Atap dipasangi kipas berbaling besar, meski putarannya tak membuat keringat berhenti keluar.

Meja kursi penumpang pun terlihat tak bernoda, dilengkapi kantong plastik yang menggantung di bawah colokan listrik. Memang, satu dua ada yang masih melempar puntung sembarangan. Tapi setidaknya kantong plastik itu wujud seruan PT. KAI untuk membudayakan “Buanglah sampah pada tempatnya!”.

Aku termangu menerawang jendela. Bayang wanita cantik yang asik menari dengan 10 jari, terlihat di kaca. Tak-tik-tuk-tak-tik-tuk, bunyi tuts gadget terbaru dimainkan dalam genggaman. Beberapa penumpang lain tampak lelap, memeluk mimpi siang di awang-awang. Terdengar juga candaan dua gadis dan dua lelaki tampan di seberang, masing-masing memeluk ransel panjang. Sepertinya habis berpetualang.

“Nasi Rames, Nasi Goreng, Es Teh, Es Jeruk..” suara pria berbaju biru muda, berjalan di antara kursi penumpang. Dua tangan menyangga nampan makanan yang terbungkus rapi, lengkap dengan buku nota kecil dan pulpen di tepinya. Wajahnya bersih, rambutnya rapi, tinggi semampai dan, bolehlah kubilang tampan.

Melirik gelas es jeruk, tenggorokanku menelan ludah. Ingin sekali meneguk tiap tetesnya. Tapi setelah kudengar harganya 3x lebih mahal dari kantin kampus, urung kubeli. Kutenggak saja air mineral di saku tas. Berharap bukan hanya haus yang pergi, tapi juga lapar.

Sayang, pedagang asongan yang dulu selalu beradu riuh dengan deru kereta, tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Lebih tepatnya, tak boleh terlihat. Pedangang asongan (dan pengemis, pengamen, tukang sapu, tukang semprot parfum, hingga pencopet) sudah ditertibkan. “Demi kenyamanan dan keamanan penumpang”, kata kereta. Sebagai gantinya, aku (juga semua penumpang) harus membayar 2-3x lipat dari harga tiket sebelumnya.

Kutengok jam tangan, jarum pendeknya masih di angka 3. Huhf, pantat ini masih harus duduk 3 jam lagi. Siluet mentari mulai bergeser dari tengah ke tepi. Awan putih berpadu birunya langit, kian meyakinkan mendung agar tak berkunjung. Angkasa sedang ceria.

Nyanyian kereta memecah keheningan lembah dan sawah yang dilewati, beradu merdu dengan suara dari headset di telingaku. Sesekali tawa penumpang membahana, sesekali tangis bayi nyaring mengudara, sesekali pula dengkuran dari balik jaket tebal pria berkumis terdengar samar.

Sayang, suara-suara itu hanya masuk kuping kanan, tak singgah barang sedetik, langsung keluar lewat kuping kiri. Sama sekali tak sampai ke hati. Seisi hatiku, mungkin juga jiwaku; senyap. Dindingnya, lorongnya, rongganya; gelap.

Andai sedikit saja mulutku mau terbuka, barangkali aku bisa berceloteh panjang lebar dengan penumpang di sebelah dan depanku. Atau setidaknya hatiku berbunga-bunga karena ada ibu di rumah yang sudah menanti serangkai kisah itu. Persis ungkapan kebanggaan yang tersirat dari cerita dua gadis dan dua lelaki petualang yang kubilang duduk di seberang.

Memang, aku belum pernah menaklukkan puncak, menekuk lutut laut. Bahkan menyapa negara tetangga pun baru rencana. Tapi paling tidak aku pernah menjadi pendengar wejangan nenek renta, penjual kacang rebus yang tinggal di salah satu gang Malioboro. Nenek yang hidup bahagia dengan sekamar bilik, tanpa kawan tanpa lawan. Padahal ketujuh anaknya hidup mewah di ibu kota.

Aku juga pernah dibodohi tukang becak di Banjar -kota yang terhubung dengan pantai Pangandaran dan Green Canyon, dengan segala likunya. Tiba-tiba aku teringat pengamen yang senar gitarnya putus saat bernyanyi di lorong kereta, 3 tahun silam. Tanpa malu dan ragu, ia minta ijin duduk di sampingku untuk menyambung senarnya. Menyambung senar sembari merangkai cerita.

Di tepi jalan arah taman Bungkul, Surabaya, sempat beberapa menit mendengar penggalan hidup nenek penjual Rujak Tolet. Sambil meracik bumbu dan mengiris buah, nenek berkebaya lusuh itu kaget saat kuambil gambarnya.

Sekira dua tahun lalu, tak kuasa aku mendengar cerita pilu dari TKI di Malaysia. Duduk di kursi paling depan dari bis odong-odong yang membawa kami ke Purwokerto, dia menunjukkan kasarnya tangan yang menjadi budak perkebunan. Gajinya pas-pasan, malah dapat gaji tepat waktu saja sudah untung. Malahnya lagi, selamat dari berangkat sampai kontrak habis dan bisa sampai rumah lagi, itu sudah sangat alhamdulillah.

Di salah satu terminal Semarang, kulihat balada romantika penjual angkringan yang terjaga hingga subuh menjelang. Ada yang suami saja, ada yang ditemani sang istri, ada juga yang membawa serta anak mereka meski angin tengah malam menusuk tulang. Semua tampak baik-baik saja; menyucup kopi hitam, mengepul rokok garpit, main kartu, sambil menemani calon penumpang yang kehabisan tumpangan.

Pernah juga di Tasik, Ciamis, Kroya, Bantul, Solo, Madiun, Madura, Jombang, Brebes, Cirebon, Jakarta, hingga Batam. Selalu bertemu orang yang tak terpandang, mendengar kisah yang tak terkisah, cerita yang tak terkata, dan segala problematika yang tak pernah dianggap masalah. Memungut partikel-partikel kehidupan yang (dianggap) tak bermakna. Mengais serpihan perjalanan yang seringkali terlewatkan.

Ya. Di balik keunikan keraton Jogjakarta dengan kehidupan malam Malioboronya. Solo dengan bus bertingkatnya. Semarang dengan Lawang Sewunya. Jombang dan Kediri dengan Kampung Inggrisnya. Purwokerto dengan Batu Radennya. Purbalingga dengan kemajuan industrinya. Brebes dengan Kota Santrinya, dan segala keeksotisan khas tiap kota di Nusantara. Di balik semua itu, ada yang tak istimewa.

Tapi justru ketidakistimewaan itulah yang membuatku betah di perjalanan. Membuatku tak pernah lupa dengan gang demi gang, jalan demi jalan, stasiun demi stasiun, kota demi kota, di perjalanan. Adakah yang mau mendengar bila aku bercerita tentang ketidakistimewaan?

Keretaku terus melaju. Saling memburu dengan lagu sendu di telingaku.

Akhirnya…
Kutempuh jalan yang sunyi
Mendendangkan lagu bisu
Sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

….. (Jalan Sunyi by EAN)***

[iframe width=”100%” height=”166″ scrolling=”no” frameborder=”no” src=”https://w.soundcloud.com/player/?url=https%3A//api.soundcloud.com/tracks/141347311&color=ff5500&auto_play=false&hide_related=false&show_artwork=true”]

Note: Penggalan dokumentasi perjalanan Damae, bisa dilihat di sini.

“Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Unforgettable Journey Momtraveler’s Tale”

Leave a Reply

2 Replies to “Unspecial Piece of Unforgettable Journey”

  1. Wow, asyik bisa melakukan sekian perjalanan keliling ke mana-mana, Mak. Jadi pengen traveling. :)
    Bahasanya puitis nih. Dalem lagi. Semoga sukses GA-nya, ya. :)

Leave a Reply to Rohyati Sofjan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *