Siluet Mentari di Pelupuk Senja

Siluet Mentari di Pelupuk SenjaSenja setelah hujan ternyata lebih indah dari senja yang datang biasa. Guratan merah jingga keemasan mengiring sang mentari kembali ke peraduan. Seakan menyapa, “Selamat sore,” dengan lekukan lesung pipi semanis kembang desa. Aduhai, aku benar-benar jatuh cinta..

Tch.. Berapa ribu jepretan kamera tuamu untuk tiap senja? Dasar Angin kurang kerjaan!

Ssst! Don’t say that, honey. Bahkan jutaan ribu jepretan yang menangkap setiap detik pergeseran siluet mentari, perubahan warna terang menjadi kuning, menuju orange-jingga-kuning keemasan, hingga semua bayang benar-benar luput dari mata telanjang, itu tetap belum cukup mengabadikan setiap pesona senja.

Ah, lebay!

No, no, no more! Wait.. Slow.. Matamu bukan mata yang biasa kulihat. Bisa jadi kalimat yang akan terucap dari bibir manismu berikutnya adalah, kesal yang kau umpat. Is it right?

Hhh..
Aku sama sekali tidak punya gen seorang penulis. Aku tidak punya bakat untuk menjadi penulis. Itu yang selalu mereka katakan. Seberapa keras pun aku mencoba, aku tetap tak kan bisa menjadi seperti.. JK Rowling, Gol A Gong, Dee, atau..

Agustinus Wibowo?

Huhf.. Iya.

Benar. Semua perkataan mereka memang benar, jika kamu membenarkan apa yang mereka katakan.

Maksudmu?

Kamu tahu berapa waktu yang dihabiskan Tuhan untuk menciptakan alam semesta?

Enam hari. masa.

Berapa waktu yang diperlukan seorang ibu untuk mengandung bayi?

Sembilan bulan.

Berapa waktu yang diperlukan bayi untuk bisa lancar berjalan?

Sekitar.. Lancar?

Yap.

Eum.. Dua tahun. Tiga tahun. Empat tahun.

Berapa waktu yang JK Rowling, Gol A Gong, Dee, dan Agustinus Wibowo perlukan untuk bisa menjadi seorang penulis?

Aiih.. Kenapa kita jadi main tebak-tebakan?

Apa mereka keturunan penulis? Apa mereka lahir dari rahim seorang penulis? Atau ayah, paman, bibi, kakek, bahkan nenek mereka, seorang penulis?

Bu.. bukan.. Tapi bisa jadi mereka ditakdirkan memiliki bakat penulis.

Kalau begitu seharusnya Tuhan tidak butuh waktu 6 hari  masa untuk membuat alam semesta. Bukankah Tuhan tidak hanya memiliki bakat? Tuhan-lah Maha-Segala-Maha. Tapi kenapa Dia tidak melakukan segalanya dalam 1 detik? Bahkan sekejap mata saja, kenapa?

Hanya Tuhan yang bisa menjawab.

Kalau benar Agustinus Wibowo memiliki bakat, kenapa dia tidak menjadi penulis sejak lahir? Kenapa dia sampia rela melepas gelar Sarjana Terbaik dari universitas terbaik di luar negeri, dan melakukan perjalanan panjang keliling dunia bertahun-tahun, baru dia menjadi penulis. Kenapa?

Anu..

So, why you still believe that “bakat adalah segalanya”? Bahkan ketika Tuhan saja sudah memberi bukti adanya PROSES dalam mencipta jagad raya, kenapa kamu tetap membenarkan omong kosong mereka kalau.. kalau kamu tidak berbakat?

Coba jawab pertanyaanku, apakah petani memang memiliki bakat untuk menjadi petani? Mungkin sekarang kamu akan menjawab: tidak, tapi kan mereka dilahirkan dari keluarga petani. Is it right?

Eum..

Bahkan sekalipun petani memang dilahirkan dari keluarga petani, apa dia ujug-ujug bisa? Sejak lahir dia sudah bisa menanam padi, sayur-mayur, palawijan, dan pohon buah-buahan?

No, honey. Pasti ada proses, ada tahap, ada step. Ada waktunya dia mulai belajar bagaimana menggemburkan tanah hingga siap untuk ditanami, adakalanya dia gagal panen karena serangan hama, ada masanya dia mati-matian menyirami tanaman jika musim kemarau tiba.

Bahkan membuat nasi saja ada prosesnya, dari memilih benih padi, menumbuhkan benih, menyiapkan lahan untuk menanam, menanam tiap benih yang sudah tumbuh ke lahan, merawat sampai padi tua, memanen padi, mengeringkan padi, menggiling padi sampai jadi beras, mencuci beras, memasak beras sampai matang, barulah nasi bisa dinikmati.

Ekhm.. Apa aku.. Harus melewati semua proses menjadi penulis seperti petani itu berproses menjadi petani?

Nah..!!! That’s right, honey! That’s right.. Tidak ada satu pun hal di dunia ini terwujud tanpa proses. Sepanjang penglihatanku di bumi ini, bakat atau pun keturunan itu tidak lebih besar pengaruhnya dari proses.

Di dalam proses ada usaha, kerja keras, maju, mundur, gagal, jatuh, terpuruk, bangkit lagi, mulai dari nol lagi, bertahap meningkat, terus.. seperti itu sampai titik puncak. Itulah jalan untuk mewujudkan impian.

Bakat memang anugrah dari Tuhan untuk manusia, tapi apalah artinya bakat tanpa usaha?

Nihil.

Itulah kenapa ada rumus bakat+usaha = 1; usaha-bakat = 1; tapi bakat-usaha = 0. Aku ulangi sekali lagi: bakat dikurangi usaha sama dengan NOL.

Tapi.. Kenapa usaha dikurangi bakat juga sama dengan satu?

Karena manusia tidak berbakat pun bisa mewujudkan impian kalau dia tidak menyerah.

Tapi kenapa masih ada orang yang hanya percaya pada bakat saja?

Mungkin dia lahir langsung bisa berjalan tanpa latihan.

Heum..

Oya, aku berpesan satu hal. Menjadi penulis itu memang butuh pengorbanan. Tapi semua pengorbananmu akan sia-sia kalau kamu hanya jadi penulis saja.

Maksudnya?

Jadilah penulis yang mau tetap menulis tanpa mengharap apa pun. Meski tidak diterbitkan, tidak dipuji orang, tidak mendapat banyak komentar, tidak di-like atau di-retweet orang, bahkan mungkin tidak dibaca oleh siapa pun. Teruslah menulis.

Berjanjilah kamu mau menjadi penulis yang berkarya dengan setulus cinta. Cinta itulah yang membuatmu lebih dari sekadar hebat, tapi juga mulia.

Mulia?

Yap. itulah yang akan membedakanmu dari penulis biasa.

Hmm.. Oke!

Great, honey. Once more, bakat hanyalah siluet mentari di pelupuk senja. Sedang usaha atau proses adalah senyata mentari yang muncul dari fajar hingga senja tiba. Sekarang bayang senja sudah hilang. Jadi, mari kita pulang.

Leave a Reply

6 Replies to “Siluet Mentari di Pelupuk Senja”

  1. bakat sering menipu seseorang. jadi yang bisa, dipuja-puja, hingga menjadi pecundang.

    btw, keren. cuma ada sedikit kekeliruan ttg lama penciptaan alam, yg benar 6 masa. 6 hari adalah versi injil.
    Hari itu perputaran bumi pada porosnya. sedang saat itu tentu belum ada bumi :-)

Leave a Reply to damai_wardani Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *