The Balinese Harmony #1

Antara Was-Was dan Surprize

Ketika terikhlaskan untuk batal, Tuhan justru berkehendak mewujudkan awal perjalanan. Sedikit bimbang: apakah ini ilusi dari mimpi yang terpendam 3 tahun? Atau benar bahwa adakalanya perjalanan sesuai rencana? Entahlah. Ini baru mula. Jelas belum ada konklusi yang menjelma.

Meski tetap saja, antara bahagia dan tidak percaya, di tengahnya ada segumpal keraguan. Ragu yang berujung “jangan-jangan”. Jangan-jangan.. Sekali lagi, Tuhan sedang menguji.

Ah, biarlah. Sekalipun itu benar, justru rasa syukurku harus berlipat-lipat-lipat. Bukankah bukti Tuhan mencintai hamba-Nya itu dengan meguji? Maka biar kujatuh lagi, sakit lagi, terluka lagi; asal setiapnya membuatku bangkit.

Tak ada yang tahu memang seberapa batas umurku. Tapi selagi orang masih bilang aku muda, aku percaya itu waktuku untuk terus mencoba.

Empat paragraf singkat itu kutulis di atas kereta yang hendak mengantarku ke Surabaya. Tentu, baitnya terurai begitu saja seolah perjalanan kali ini sudah benar-benar bermula. Dengan damai. Meski persis 3 hari sebelum jatuh tanggal, bahkan hingga detik-detik menjelang keberangkatan, aku terjaga dengan puluhan pil sintesis warna-warni.

Mendadak sakit dan didiagnosis hepatitis -untungnya hasil cek darah mengatakan ‘semua normal’, itulah sebab utama kekecewaan sekaligus kepasrahan rencana perjalanan kali ini. Bukan soal terkulai lemas, sakit yang dirasa, atau ribetnya menenggak racikan obat (yang dibikin adonan dengan air). Ini soal kejengukan ibu secara tiba-tiba.

Ya, begitulah. Gadis 21 tahun ini masih dianggap laiknya balita oleh ibu sendiri. Seribu kali kubilang: tidak apa-apa, bu, aku bisa berobat sendiri; sama sekali tidak berguna. Tahu-tahu ibu sudah mengetuk pintu kamar kos dengan kantong-kantong makanan.

Tidak bermaksud jadi anak durhaka dengan bersikap sedikit murung di depan orangtua. Kusadari sepenuhnya, ini kesempatan langka -biasanya bertemu ibu itu setengah tahun sekali. Hanya saja, sehari pasca-ibu tiba menunjukkan dimulainya jadwal perjalanan. Bisa ditebak, bukan? Ibu pasti tidak mengijinkan.

Was-was, pasti.

Was-was kalau sakitku tak kunjung sembuh. Was-was kalau ibu bertahan lama di kosan. Was-was kalau semua mimpi trip kali ini harus hangus. Lebih dari itu, budget yang sudah digunakan untuk booking segala keperluan perjalanan pun harus direlakan. Huhf.. Pasrah, aku.

Eee.. Lha, kok tanpa ba-bi-bu bahkan tidak meminta persetujuanku, persis saat bangun tidur ibu pamitan. Aku ber-puh panjang. Benar-benar tidak percaya. Rasa bersalah berselaput gembira turun dari ubun-ubun hingga jemari kaki. Membuat tangan gemetar, wajah bersinar.

Ternyata, keajaiban itu datang tepat pada waktunya. Jika ada yang bilang ‘keajaiban adalah nama lain dari kerja keras’, maka kukatakan ‘keajaiban juga dasanama dari kepasrahan pasca-kerja keras’. Islam menyebutnya: tawakal.

“Sempu, I’m coming!!!”, aku bersorak setelah ibu pulang. Saking senangnya.

Tiga tahun lalu, tepatnya saat aku melancong ke Kampung Pare, Kediri-Jatim, memang sempat terbesit keinginan ke sana. Siapa tak tergiur kisah kawan-kawan yang sudah lebih dulu menjamah Sempu, pulau nyentrik dengan pantai eksentrik di salah satu belahan kota Apel.

Lekas kuberkemas. Beberapa helai baju dan perlengkapan mandi -tidak ketinggalan kotak obat- saja yang masuk tas. Tidak laptop, tidak juga buku seperti perjalanan lain. Berjalan cepat menuju pangkalan angkot, (lagi-lagi) was-was dengan ngetem-macet-dan keleletan supirnya, hingga terjepit antara badan mobil dan angkot saat berlari menyebrangi sesaknya jalan.

Sekira 10 menit setelah kududuk di ruang tunggu, kereta tiba. Huhf.. Lega. Singkat cerita, aku tiba di Surabaya dengan selamat. Bahkan sempat beristirahat di homestay bergaya kamar Harry Potter (iklannya), saking sempitnyanya sampai tidak bisa miring kanan kiri (nyatanya). Terpenting, bisa kembali mencicipi rujak tolet kesukaan di salah satu sudut jalan.

Sorenya aku masuk pintu terminal Surabaya, bersama seorang kawan. Satu per satu deret bus kota, antarkota, dan antarprovinsi kulewati. Sampai kolom bus dengan papan tujuan ‘Malang’, kawanku tetap berjalan. Mulai curiga: kalau bukan Malang, terus mau kemana?

Belum sempat bertanya, kawan sigap menjawab “Komodo, pak.”, saat ditanya para calo. Komodo???

Hingga bertemu bus ungu muda elegan luarnya, dia memberi tiket dan masuk bus. Mencari nomor kursi 17-18, duduk, dan ber-puh panjang sembari tersenyum. “Sekarang kamu tahu kan kita mau kemana?”, dia memeluk tas di pangkuan. “Mataram?”, bengong, tatapan kosongku membaca keterangan di tiket.

“Bukan!”, nyengir dia. “Terus?”, nadaku naik, setengah panik. “Bali!”. Bali???

Surprizeeeeeā€¦“, dia cekikikan mengapit mulut. Aku ber-hah panjang. Merasa bodoh tertipu akting amatirnya. Lebih tepatnya, aku merasa tertampar lagi dengan kalimat sendiri: bukan perjalanan namanya kalau tidak ada kejutan.

“Gimana ceritanya dari Sempu beralih ke Bali?”, aku mendongak. Konyol! Dia justru kian melebarkan tawa. Persis ekspresi Jerry saat berhasil mengerjai Tom (dan sebaliknya).

Meski setelah pikiran tenang baru kusadari, selain Sempu memang Bali yang kuimpi -tiga tahun lalu.

—-Nantikan goncangan tidur di bus Surabaya-Bali 12 jam dalam The Balinese Harmony #2—-

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *