#KKM210 Malam Keempat (3)

Masih tentang Lokakarya. Belum tuntas aku cerita. Rasanya kok ada yang tompel kalau tak kuselesaikan.

Program kedua, kami ingin menyentuh perbalongan yang belum dimaksimalkan di desa ini. Bahasa kerennya memang perikanan. Kalau kamu main ke sini, dari gapura paling depan sampai kawasan Cihideung 2, kamu bakal lihat kolam ikan alias balong hampir di tiap rumah. Memanfaatkan sumber air dari Cihideung 2 yang mengalir sampai Cihideung 1, balong tidaklah susah dikelola. Continue reading “#KKM210 Malam Keempat (3)”

#KKM210 Malam Pertama

Apa yang kamu rasakan jika mimpi indahmu yang sedang diputar jelang pergantian malam, tiba-tiba harus terganggu suara tangisan? Kesal? Marah? Takut? Atau justru tak apa?

Kalau boleh kujawab sendiri, aku malah penasaran.

Apalagi suaranya timbul tenggelam. Samar, tak bisa kubedakan itu suara wanita atau pria. Yang pasti bukan tangis anak kecil. Sumber suara pun serasa di samping kamar, tapi kucek tak ada sosok yang bersuara. Nada tangisnya juga beda dari tangis yang sering kudengar.

Tangis ini seperti energi marah yang terpendam bertahun-tahun. Amukan hati yang tak pernah didengar siapa pun. Tangis yang, mengundang ribuan tanda tanya dalam sebuah simpul pertanyaan: benarkah itu suara orang sakit jiwa?

Nyatanya, aku memang sedang di sini. Malam pertama yang teramat menggoda. Di sebuah desa yang puluhan tahun memendam kesakitan jiwa. Dan, bertepatan H-3 Kuliah Kerjanyata Mahasiswa (KKM) ini digelar, media mengabarkan tangisannya ke seluruh penjuru dunia. Ialah desa Budiasih, kecamatan Sindangkasih, kabupaten Ciamis.

Hingga 28 Februari nanti, aku akan belajar dan mempelajari apa dan bagaimana desa cantik ini. Benarkah kabar media tentang penyakit yang mengakar dan terus menjalar itu? Serta apa yang bisa kulakukan selain menjadi pendengar dari setiap suara yang (tak mampu) terkata. Dua puluh empat jam, saban hari aku di sini. Terutama dusun Cihideung 1, RT 07 RW III, rumah pak RT yang juga tempat tinggalku sebulan ke depan.

Pertanyaan yang belum terjawab kemudian, apakah ini sebuah kebetulan atau memang Tuhan menghendaki demikian? Kenapa aku harus mendapat jatah desa dengan kasus sakit jiwa? Kenapa juga baru terkuak sekarang, bersamaan dengan KKM dari kampusku dilaksanakan?

Padahal persis sebelum rombongan datang, KKM dari kampus lain baru saja usai. Kenapa pula, sebelum pembagian kelompok diumumkan, sebelum kesakitan itu tersiar hingga menguar, aku berdoa agar bisa ditempatkan di Ciamis (bukan Garut atau Tasik) ?

Semakin banyak kubertanya, semakin keras ku berpikir, aku semakin yakin kalau ini bukan sekadar pengijabahan doa. Lebih dari itu, Tuhan ingin aku bercinta dengan romansa desa yang luar biasa. Kukira, ini juga cara alam berbahasa, agar aku kian mengerti apa sejatinya “ilmu komunikasi” yang kupelajari selama ini.

Seolah menyuruhku untuk membuktikan bahwa, seperti kata seorang tokoh, “inti komunikasi adalah mendengar apa yang tidak dikatakan”. Dalam hal ini tentu apa yang tak mampu dikatakan oleh pesakit jiwa di balik tangisnya.

Atau, barangkali justru untuk menyusuri setiap kisah yang Cak Nun (EAN) bilang dalam salah satu bukunya: Indonesia Bagian Dari Desa Saya. Sebuah buku legendaris yang baru saja dipinjami oleh seorang kawan.

Apa pun itu, kuharap kau masih sudi menemaniku.