20 Jam di Cirata, Antara Limpahan Rejeki dan Sakit yg Menanti

Istilah Ngaliwet di kalangan masyarakat Sunda, agaknya sudah biasa. Tapi bagaimana jika Ngaliwet ini dipadukan dengan bakar ikan air tawar yang dipancing atau dijaring sendiri dari laut? Terlebih dinikmati bersama keluarga, saat siluet mentari memberi tanda senja hendak tiba. Moment ini kian asyik karena ditemani panorama hamparan laut yang menyudut Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Tempat ini cocok untuk Anda yang memang hobi berekreasi, atau sekedar melepas penat saat melintas dalam perjalanan jauh.

    —-

Ialah laut pembudidayaan ikan air tawar: Cirata. Perairan yang cantik dan menjadi sumber mata pencaharian warga sekitar ini dapat Anda temui di Cipeundeuy, Bandung Barat. Perjalanan memakan waktu lebih dari 3 jam dari pusat kota Bandung, dengan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Namun Anda perlu berhati-hati selepas Tol, karena banyak jalan berbatu kerikil yang cukup ngeri untuk dilalui.

width=300Menyusuri Cirata dengan perahu motor, Anda akan disuguhi keramba-keramba ikan Mas, Nila, dan Gurame, yang kini jumlahnya melebihi 50.000 petak jaring apung. Dengan rumah-rumah panggung diatas keramba, sebagai tempat tinggal para petani ikan. Eits, jangan salah, kawan. Meski status mereka petani ikan, tapi tak hanya satu dua yang dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi profesor, memiliki lebih dari 3 rumah, bahkan dapat membeli kendaraan pribadi sekelas Menteri. #bahasabombastis

Betapa tidak, rata-rata masing-masing petani dapat memanen 5 ton ikan dengan harga 15 ribu/kg setiap 3 bulan, hingga dalam satu tahun mereka dapat mengantongi 300 juta. Tentu saja penghasilan ini belum dipotong biaya pembenihan, pakan ikan, dan pengelolaannya. Tak heran jika warga Cipeundeuy dan sekitarnya dapat dikatakan berkecukupan.

—-

Namun dibalik kesuksesannya, diam-diam Cirata mengidap sakit yang kian menghimpit usianya. Endapan pakan ikan tak termakan yang mencapai tiga meter, jumlah keramba yang melebihi batas normal, dan sumbangan sedimentasi dari sungai Citarum, Cisokan, Cikundul, Cibaladung, serta Cimeta, menjadi faktor utama langgengnya penyakit Cirata. Kondisi ini diperparah dengan dibuangnya perkakas tak terpakai dari jaring apung, seperti styrofoam, drum, dan bambu ke dalam perairan. Lantaran menyebabkan volume sedimen Cirata hingga 2007 mencapai 146 juta meter kubik, dengan rata-rata laju sedimen 3,9 milimeter/tahun.

Kepala PT Pembangkit Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (PJB BPWC) Suhata E. Putra menuturkan, parahnya kondisi ini membuat Cirata harus kehilangan dua puluh tahun masa hidupnya.

Selain penyakit ganas nan membahayakan, Cirata juga menderita karena kualitas air semakin menurun. Dekat sungai Cimeta yang menyumbang sedimentasi besar pada Cirata, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sebagai pusat sampah dari segala penjuru Bandung Raya. Maka lindi dari TPA inilah yang menjadi sumber pencemar air paling besar di Cirata. Sementara hasil penelitian, di muara sungai Cimeta terkandung 2,4 juta sel bakteri merugikan E-Coli per seratus milimeter yang mengalir ke Cirata. Padahal normalnya, dalam seratus milimeter terdapat dua ratus sel.

Dengan banyaknya polutan air, tentu ikan yang dihasilkan tak lagi sepenuhnya sehat karena mengandung logam berat. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita mengatur pola makan ikan dari Cirata ini, terutama untuk Anda yang tinggal di Bandung dan Jakarta sebagai daerah distribusi.

Sejauh ini kita hanya bisa berharap pemerintah akan terus melakukan langkah strategis untuk menyelamatkan Cirata. Setelah langkah preventiv dengan menanam 230.000 tanaman keras di sepanjang sabuk hijau Cirata sejak tahun 2000 terwujud, semoga pembangunan 22 danau untuk menahan laju sedimentasi segera terwujud. Kerjasama para petani ikan untuk tidak membuang perkakas tak terpakai dari jaring apung ke dalam perairan, juga sangat diharapkan agar sedimen tak semakin menggunung. Jika tidak, bukan hanya Cirata yang mati, tapi mata pencaharian warga Cipendeuy, Plered, dan sekitarnya juga terancam punah.

—-

width=300Terlepas dari nasib Cirata, saya ingin berterima kasih pada peserta Teaching Program (TP) dari Madrasah Aliyah      Al Hikmah 2 (Malhikdua) beserta Ust. Fauzan sebagai pembina, yang telah mengundang saya untuk berjunjung ke Cipeundeuy, 25 Juni lalu. Berkat kunjungan itu, saya dapat menyapa Majelis Pengasuh PP. Al Hikmah 2, yakni Abah Sholahudin Masruri dan Abah Muhklas Hasyim yang juga sedang berkunjung. Terima kasih juga saya sampaikan untuk Ananda Atep dan keluarga yang telah menjamu saya dengan ikan-ikan segarnya, plus bonus menginap semalam bersama para peserta. Sungguh berkesan.

Meski hanya 20 jam saya singgah disana, tapi moment itu tetap abadi dalam memori. Apa Anda tertarik juga untuk berkunjung, kawan?

***

//

Jambore Sastra dan Komunitas Masyarakat Lumpur

Heran. Satu kata yang hampir membuat saya putus asa hari itu. Searching di google map, sudah. Tanya ke teman, tetangga, para senior, hingga orang asli Bandung, juga sudah. Tapi tetap saja tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab dengan mantap, pasti, dan meyakinkan. Tentu dengan berbagai alasan, dari statement mulus sampai ketus. Pun dari yang benar-benar tidak tahu, pura-pura tidak tahu, sampai yang tahu tapi tak mau tahu. Beruntung ada seorang kawan baik hati yang mau meluangkan sejenak waktunya disela kesibukan, hanya untuk mengantar saya ke tempat yang dimaksud sejak awal. Tanpa tendensi perihal berbagi, ia juga menjelaskan rute perjalanan dengan sabar. Rute yang semula dibingungkan semua kepala yang ditanya, dan membuat saya mengerutkan dahi keheranan. Itulah Balai Bahasa Bandung, tempat Jambore Sastra 2012 berlangsung.

Jambore Sastra, Pembuka Cakrawala Budaya

width=667

Sempat berfikir dua kali untuk berangkat. Bukan perkara tidak tahu rute, tapi nama saya tidak tercatat sebagai peserta. Sementara info yang diposting oleh administrator situs resmi balaibahasabandung.web.id dengan jelas mengabarkan bahwa acara itu akan diikuti oleh sejumlah peserta yang diundang secara khusus oleh panitia. Wajar bila saya harap-harap cemas untuk bisa memasuki gedung yang terdapat di bilangan bukit Dago, Taman Budaya Jawa Barat tepatnya.

Tapi panggilan seorang kawan dari Komunitas Masyarakat Lumpur yang menjadi peserta, menjembatani kedua langkah mungil ini untuk tidak berkata ‘tidak’ menghadiri acara tahunan berlevel nasional itu. Bahkan ketika bola mata ini menyaksikan derap demi derap kreativitas apik di atas pentas, hati bersorak penuh takjub sembari berbisik pada sanubari: saya pasti menyesal jika memutuskan untuk tidak pergi.

Betapa tidak, kawan. Acara yang sudah digelar pada Rabu, 13 Juni kemarin benar-benar telah menyihir perhatian saya sembari menuntun lidah ini berucap Amazing!. Hari itu, para peserta yang notabenenya seniman dan pegiat sastra dari NTB, NTT, Jogjakarta, Jawa Tengah, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan, menampilkan kreasi terbaik mereka dengan gubahan sastra dalam bentuk teathre performances, musikalisasi puisi, dan seni tari. Ketakjuban semakin menjadi ketika saya menyadari bahwa seluruh peserta yang mengkolaborasikan musik, sastra, drama, juga tari dalam satu kesatuan pertunjukan seni yang memukau itu berusia jauh dibawah saya. Ya, mereka ialah siswa-siswi SMA yang didaulat Balai Bahasa masing-masing provinsi untuk beradu kreasi disini. Bukankah ini hebat, kawan?

Sebut saja Musikalisasi Puisi bertajuk Tragedi Sukhoi yang dibawakan oleh siswi SMAN 2 Semarang,     berhasil membuat bulu kuduk saya berdiri. Kreasi yang memadukan peran multimedia dalam menampilkan video kecelakaan Pesawat Sukhoi Super Jet 100, piano sebagai pengiring musik, suara emas pembawa lagu, dan pengkhayatan puisi yang merekam penerbangan sukhoi, tragedi kecelakaan, hingga pasca peristiwa naas di gunung Salak beberapa pekan lalu itu terjadi, benar-benar ‘klop’ dalam satu kesatuan sebuah pertunjukan. Tema aktual yang dipilih pun tak hanya membuat penonton terkesima, tapi juga berhasil membuka kembali memori saya tentang sederet tragedi lain yang berturut-turut menimpa bumi pertiwi: tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, hingga kebobrokan negara akibat ulah manusia tak beradab.

Kerjasama Balai Bahasa Jawa Barat dengan Saung Sastra Lembang juga tak kalah membuat saya terpana. Sepenggal teater apik bercerita tentang gilasan modernitas yang berdampak pada terkikisnya kesenian, adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal, dan peradaban warisan nenek moyang, ditafsirkan oleh sastra lewat kisah petani yang terampas seluruh sawahnya, hingga sepetak tanah untuk pemakaman sang istri tercinta yang terbunuh saat Sandekala merajalela pun tak punya. Sandekala, makhluk ghaib yang muncul kala pergantian antara siang dan malam, biasa diungkapkan untuk menakut-nakuti anak agar segera pulang ke rumah menjelang adzan maghrib bergema, dalam drama ini dikiaskan sebagai modernitas yang telah memisahkan manusia dengan alam. Modernitas yang menyulap lahan pertanian menjadi gedung bertingkat nan megah, modernitas yang mengontaminasi kebudayaan lokal dengan global, modernitas yang menerbangkan puing-puing identitas bangsa dengan segala kebaharuan ayatnya. Benar-benar memukau, kawan. Membuat saya sejenak tertunduk malu, kiranya modernitas pula yang menjajah kepribadian muslimah sejati menjadi sosok wanita modern yang haus akan kesetaraan gender.

width=300Kisah pencarian jati diri seorang putra mahkota yang menuntut balas atas harkat dan martabatnya, membawa amarah ini bertarung dengan ayahanda yang tak lain adalah Raja Cakraningrat V, juga turut beraksi diatas pentas.      Bekerja sama dengan Komunitas Masyarakat Lumpur, Balai Bahasa Jawa Timur mempersembahkan Legenda Bangkalan Madura yang ditulis oleh Helmi Prasetya dalam judul ‘Jiwa Asmara’. Pertempuran harga diri yang dilakoni oleh Lesab, pahlawan Madura namun dianggap pemberontak oleh sebagian masyarakat lantaran menentang penguasa pada masa itu, bukan sekedar cerita rakyat biasa yang bertutur asal muasal nama kota Bangkalan. Namun disini, sastra menjadi sebuah cara untuk menyimpan ingatan sejarah beserta refleksinya yang acap kali tak banyak orang peduli. Dimainkan dengan penuh penghayatan pula, peran ibu Lesab yang juga selir raja dalam ketidakridhoan terjadinya pertumpahan darah anak dan ayah. Tanpa restu pada Lesab untuk bertarung dengan Cakraningrat V lantaran ia tahu bahwa anaknya tak mungkin mampu menebas leher ayahnya (baca: penguasa), sang ibu hanya berharap dalam diam, dengan seribu kemungkinan, seribu kesedihan cinta kepada sang suami, dan seribu cinta pada putra semata wayangnya.

Tak hanya serasa terbawa oleh cerita, saya sempat dibuat takjub dengan peran ganda yang dibawakan tanpa cacat oleh sang ibu dan anak. Ya, tanpa mengubah tatanan make up dan kostum, sang ibu juga berperan sebagai raja Cakraningrat V dengan punggungnya dan bantuan suara dubbing oleh dalang. Begitu pula sang lakon, sebelum berperan sebagai Lesab, ia menjadi tokoh Topeng 1 dan Buka Topeng 1 yang bertugas mengaduk-aduk perasaan sang ibu terkait restu untuk Lesab dalam pertarungan melawan sang raja. Peran topeng ini dibawakan serempak bersama seorang kawan yang disebut sebagai Topeng 2 dan Buka Topeng 2. Bukankah itu terdengar sedikit rumit, kawan? Tapi mereka berhasil memainkannya denga sempurna. Hanya saja ada satu kritik dari dewan juri: kok Lesabnya kurus? :D Tapi hal ini tidak mempengaruhi esensi cerita.

Begitu pula penampilan-penampilan spektakuler lain dari Balai Bahasa Jogja, NTB, Kalimantan Selatan, Banten, dan Bali, yang sepertinya tak kan cukup terurai lengkap dalam postingan ini. Semuanya berhasil menafsirkan sastra ke dalam berbagai bentuk performances yang tak biasa, ialah perpaduan seni yang apik dan fantastik. Oya, salah satu tamu undangan yang tak mau tercatat sebagai peserta dari NTT, Christian Loking, menampilkan gemulai tarian Jai dengan pakaian adat khas NTT. Ia juga mengajak seluruh Kepala Balai Bahasa yang hadir dari berbagai provinsi, untuk mengikuti gerakan tari Ikimea-nya di atas pentas. Pemandangan ini benar-benar perdana, kawan. Hal ini menjadi bukti bahwa seni dan sastra mampu menjadi alat pemersatu bangsa. Pun, menjadi jembatan pengenal kembali luasnya kebudayaan negeri yang kini terkikis modernisasi. Ya, Jambore Sastra yang berlangsung sejak 12-15 Juni itu benar-benar membuka cakrawala budaya Indonesia.

Persahabatan Dadakan

Tak pernah terkira sebelumnya, perjumpaan dengan seorang kawan yang saya kenal via dunia daring itu berbuah persahabatan dengan Komunitas Masyarakat Lumpur. Kawan itu, Muzammil namanya, ialah pembina ektrakurikuler kesenian di SMAN 1 Bangkalan, Madura, yang juga peserta Jambore dan tergabung dalam beberapa sanggar seni di Jawa Timur, termasuk Komunitas Masyarakat Lumpur. Saya kenal lewat kontak sebagai koordinator Lomba Musikalisasi Puisi FLP Jatinangor bulan lalu, ketika ia mengalami beberapa kendala terkait pengiriman karya peserta didiknya. Pertemuan yang tak disengaja sebelumnya itu, telah mengenalkan saya pada bang Helmi (seniman dan penulis naskah ‘Jiwa Asmara’),      bang Alex (nama gaul dari Anwar Sadat, tapi berganti menjadi Ashanti kala malam menghampiri. Ialah seniman yang jago melukis), bang Alan (dijuluki ‘si badut imut’. Konon, imut itu kependekan dari ‘ireng mutlak’. Julukan ini diresmikan pasca gosongnya seluruh kulit Alan karena lupa tidak dibalik saat berjemur dibawah terik mentari Bangkalan. Demikian canda kawan-kawan), dan bang Hadi (violet lover yang paling putih diantaranya yang hitam. Lajang asli Malang ini pandai bermain gitar dan biola).

width=224Aha! Nu pang geulisna (yang paling cantik-red), Dahlia Wahyuni, pemilik suara merdu yang berperan sebagai Ibu dalam teater tadi. Kini ia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti babak seleksi SPMB UNESA (Universitas Surabaya) dengan pilihan jurusan Kesenian. Dan, tentu saja, para pembina Balai Bahasa Jawa Timur: ibu Leli, ibu Wiwi, mas AF Tausikal, dan kepala Balai Bahasa Jatim, pak Amir Mahmud, yang telah sudi mengizinkan saya bergabung dengan para peserta Jambore dari Jawa Timur tadi.

Indahnya persahabatan, saya rasakan saat binar bola mata mereka berbicara bahwa keikutsertaan saya mendampingi mereka selama acara berlangsung sangat diharapkan. Terbukti dengan ajakan untuk ikut bermalam di hotel Casa D’ Ladera, Lembang. Bahkan mereka berani memberi jaminan bahwa semua akan baik-baik saja. Disinilah kehangatan kekeluargaan dan persaudaraan tumbuh alami tanpa tendensi. Tak sedikit pun tersirat hawa canggung, bahkan saya tak hentinya tertawa melihat polah tingkah seniman-seniman yang tak pernah kehabisan bahan guyonan (candaan-red). Juga tak terlihat secuil pun perbedaan kasta, bahasa, juga latar belakang kepribadian, menjadi sebuah kendala dalam menjalin persahabatan. Keramahan, agaknya benar-benar senjata pamungkas yang ampuh untuk mengefektivkan komunikasi. Meski sempat terbesit keraguan akan status ‘bukan peserta’, tapi toleransi (atau lebih tepat disebut ‘ketidaktahuan’) panitia memberi keleluasaan gerak saya untuk bersama mereka lebih lama.

Kemesraan Jambore Sastra, Mengalun Merdu di Caf        © Sierra

Melengkapi sensasi plong para peserta seusai pertunjukan seharian, mereka dihibur dengan senandung merdu penyanyi Caf        © Sierra. Sembari menikmati santap malam di bukit Dago, ditemani sepoi angin dan indahnya pemandangan Bandung di bawah temaram rembulan. Kurang dari satu jam perjalanan dari hotel Casa D’ Ladera yang berada persis di pengkolan Jl. Setia Budhi dekat UPI, Caf        © Sierra yang termasuk kategori Caf        © berkelas ini menyajikan menu yang sangat beraneka: dari soup seafood jagung hingga makanan khas Bandung (bandrek-red).

Dalam kesempatan ini pula, seluruh peserta jambore sastra bernyanyi dan bergoyang bersama. Dari tembang daerah, pop, hingga manca. Bahkan beberapa kali para kepala Balai Bahasa berduet dengan peserta, hingga kolaborasi dengan seluruh kepala Balai Bahasa dalam dendangan dangdut ria. Siapa yang tak tergiur untuk bergoyang dalam moment seperti ini, kawan? Barangkali hanya saya saja yang menjawab tidak. :)

width=300Acara yang dijadwalkan usai pada jam 10 malam itu, ditutup dengan tembang kenangan berjudul ‘Kemesraan’. Seluruh peserta Jambore maju ke depan dan membentuk lingkaran dengan bergandengan tangan. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, agaknya tepat untuk mengibaratkan secarik kisah ini. Perbedaan suku, ras, bahasa, adat istiadat, juga kebudayaan, lebur      jadi satu dalam indahnya kebersamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan yang terbentuk oleh pertemuan singkat, namun membekas hangat. Benar-benar ‘unforgattable moment’.

Kemesraan – by Iwan Fals

Suatu hari
Dikala kita duduk ditepi pantai
Dan memandang
Ombak dilautan yang kian menepi

Burung camar
Terbang bermain diderunya air
Suara alam ini
Hangatkan jiwa kita

Sementara
Sinar surya perlahan mulai tenggelam
Suara gitarmu
Mengalunkan melodi tentang cinta

Ada hati
Membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa
Tercurah saat itu

Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Ingin kukenang selalu

Hatiku damai
Jiwaku tentram disampingmu
Hatiku damai
Jiwaku tentram bersamamu

Bersamamu

***

width=212Puas menikmati santap malam, hiburan, dan indahnya Bandung dari teropong bukit Dago, semua peserta kembali ke hotel untuk beristirahat. Meski berat kaki ini melangkah, karena melewati malam ini berarti menyelesaikan pertemuan dengan mereka. Dan esok, agenda berlanjut untuk wisata alam ke Tangkuban Perahu dan wisata Belanja ke Cihampeulas.

Bertolak dari semua kisah diatas, saya senang bisa menjadi bagian dari serangkaian kegiatan Jambore Sastra 2012, meski tidak tercatat sebagai peserta. Mendapat keluarga baru beserta pengalaman berharga itu, ialah sepenggal kisah yang pasti tak kan terlupa. Terlebih, berkesempatan untuk mendokumentasikan perjalanan mereka, meski hanya tertuang dalam blog sederhana ini, merupakan kehormatan tersendiri bagi saya.      Terima kasih dari lubuk hati terdalam, untuk Komunitas Masyarakat Lumpur, Jawa Timur.

Foto-foto selengkapnya:

Secret Mission Dibalik Bedah Buku dan Workshop Tewe

Kalau dibilang terlambat, ya. Bahkan saya katakan amat sangat terlambat. Acara yang didukung oleh ICTWatch sebagai sponsor utama sudah terlewat 10 hari lalu, apa mau dikata jika saya baru menyempatkan diri untuk berbagi cerita sekarang. Tapi, jika kita menganut paham lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, rasanya tak jadi masalah, kawan. :)

Bedah Buku dan Workshop Travel Writer Bersama Damae Wardani

Sepuluh hari dihitung mundur dari terbitnya postingan ini jatuh pada Minggu, 27 Mei lalu.      Ialah hari bertemunya kedua bola mata ini dengan ratusan pasang mata yang hendak menjadi ‘Duta Malhikdua’,      dalam perhelatan mengasyikkan selama menyambangi Praktik Kerja Lapangan (PKL) dan School Outing Program (SOP) sebulan ke depan. Dalam program spesifikasi atau kegiatan ekstrakurikuler tahunan itu, saya berkesempatan berbagi seputar      travel writing dan dunia kepenulisan dalam agenda Bedah Buku dan Workshop Travel Writer Bersama Damae Wardani. Benar-benar tantangan baru, kawan.

Meski sebelumnya saya harus berdebat hebat dalam proses perijinan orang tua dikarenakan perjalanan Bandung-Brebes seorang diri (andai ibu bisa membaca postingan ini, ananda sampaikan beribu maaf atas ketidaksopanan ananda waktu itu. Bukan maksud hati tidak patuh apalagi menentang ridhomu, tapi percayalah, anakmu hanya ingin belajar mandiri untuk menghafal 8 arah angin diseluruh penjuru), acara yang bertempat di GOR Al Hikmah 2 Brebes itu tetap terlaksana sesuai rencana. Bahkan satu hal yang tak terduga, serangkaian acara yang diikuti oleh seluruh siswa Madrasah Aliyah Al Hikmah 2 (Malhikdua) kelas dua itu diwarnai aneka batik yang dikenakan peserta, panitia, tamu undangan, juga para pembicara. Sebuah ketidaksengajaan yang unik, teman.

Opening ceremony prosesi bedah buku, dibuka dengan lantunan merdu ayat suci Al Qur’an, khas pesantren Al Hikmah. Dilanjutkan Wejangan atas nama Kepala Madrasah yang disampaikan oleh Drs. Sulkhi Azis. Dengan gaya bicara yang kharismatik, stockholder yang sangat berpengaruh di Malhikdua ini berhasil membangkitkan semangat dan menitipkan amanah sekolah untuk para peserta. Sedikit ice breaking, acara yang masuk dalam rangkaian agenda Briefing PKL ini juga dimeriahkan oleh Grup Rebana OSIS Malhikdua dengan personil baru. Boleh dikata kemajuan, segenap peserta duduk manis dan khidmat mengikuti satu persatu rundown acara dibawah kendali dua dara manis berbaju pink sebagai MC, Chacha dan Icha. Dibilang kemajuan, karena memusatkan perhatian peserta untuk acara semacam ini terbilang sulit di Malhikdua.

width=700

Sesi Bedah Buku

Diperkenalkannya Em Farobi Affandi sebagai moderator oleh MC, menjadi pertanda sesi Bedah Buku ‘Out Of D’Box’ dimulai. Inilah saat dimana buku saya akan dikupas tuntas oleh pembicara, Pradna Paramita, seorang cerpenis yang paling lemah dengan tawaran makan. Hadir pula sosok yang sudah tidak asing lagi di kalangan Malhikdua, ialah pemilik sapaan akrab ‘Paman Gembul’ yang juga tak pernah kuasa untuk menolak makanan, dibawah bendera M2Net Publishing yang baru saja dirintisnya. Disinilah, buku yang bercerita tentang perjalanan SOP saya dua tahun lalu dan petualangan ke Pare (Kampung Inggris di bilangan Kediri, Jawa Timur) 2011 lalu, dibabat habis oleh mereka (meski realnya penyampaian pembicara melenceng dari pesanan :p). Oya, hampir lupa, acara ini juga disaksikan oleh salah satu blogger Banyumas, Estiko (tapi saya lebih suka menyebutnya ‘es kiko‘, hehehe..) yang tampil sebagai tim penggembira. :)

width=203Beruntung 10 pasang sandal (yang sengaja diselenkan) dari salah satu donatur berhasil menjadi penambah gairah dan antusias peserta untuk bertahan selama acara berlangsung. Setidaknya, doorprize ini terbukti ampuh sebagai pengusir kantuk (maklum, dunia santri tetap tak terpisahkan dari ‘ngantuk’ saat pikiran terlalu fokus mendengar dan melihat penyampaian para pembicara). Tak hanya untuk mereka yang beruntung, hadiah ini juga diberikan pada dua penanya terbaik saat sesi tanya jawab berlangsung.

Sebelum adzan dhuhur bergema, sesi bedah buku dicukupkan dan peserta diperkenankan beristirahat hingga jam 1 siang. Disela breaktime, panitia yang semuanya tergabung dalam Malhikdua Network (M2Net) sibuk merapikan tempat dan merapikan GOR lantai dua untuk acara workshop. Sementara bagian redaksi sibuk memposting berita acara, ada juga yang mewawancarai para narasumber disela jam makan siang. Semua terlihat kompak dan menggemaskan, saya senang sekali melihat keringat mereka bercucuran saat bahu-membahu demi suksesnya acara (karena inilah tujuan saya, hihihi            –peace–).

width=800

Sesi Workshop

Sesi workshop tak seformal Bedah Buku, pesertanya juga tak sepadat acara itu. Selain memang dibatasi untuk menjaga kekondusifan acara, dari 65 pendaftar hanya hadir tidak lebih dari 50%-nya. Lumayan menghemat energi, kawan (betapa tidak, tubuh ringkih ini sudah mulai menguap dan terlihat sayu lantaran istirahat yang sama sekali tak terbilang cukup). Dengan ruangan lebih kecil dari sebelumnya, ditambah pengeras suara, tentunya sangat membantu konsentrasi peserta dalam mengikuti materi ‘Travel Writing’ yang saya berikan. Hanya saja, hawa panas di lantai dua tetap tak terelakkan meski sudah terpasang dua kipas angin di atas kepala.

Masih dengan moderator yang sama, saya berbagi seputar pengenalan dunia menulis, menulis perjalanan, dan cara memulainya. Tak banyak yang saya sampaikan, selain workshop lebih dekat dengan praktik langsung, juga karena sebagian materi sudah disampaikan oleh mas Pradna saat Bedah Buku sebelumnya. Buku bacaan dan Sandal yang sengaja diselenkan turut mewarnai lagi dalam sesi undian doorprize, tak terkecuali untuk tulisan perjalanan terbaik yang dihasilkan peserta tidak kurang dari 15 menit, dalam praktik travel writing.      Miftah, ketua panitia yang baru muncul di sepenggal moment terakhir workshop ini, dikarenakan kepulangannya pasca kelulusan Malhikdua 3 hari sebelum acara,      juga sempat memberikan hadiah untuk salah satu peserta.

Acara ditutup dengan foto bersama di bawah backdrop yang terpampang di dinding depan. Mantap sekali, kawan.

Oya, hampir saya lupa. Terima kasih dari lubuk hati terdalam saya ucapkan untuk Radio Tsania FM, yang sudah berkenan mengundang saya untuk berbincang seputar acara tersebut. Saya senang sekali bisa menyapa para pendengar setia, setahun lalu. Makin sukses dan maju terus untuk Tsania.

Satu lagi, untuk semua pihak yang telah tergabung dalam program Alumni Berbagi baik yang benar-benar alumni atau sekedar menjadi donatur, hatur nuhun ka sadayana. Kontribusi Anda sangat berarti demi terselenggaranya acara ini.

Untuk M2Net

Serangkaian acara yang baru saja saya ceritakan diatas ialah ide gila saya yang akhirnya disetujui Cak Novi setelah melalui perdebatan panjang. Berangkat dari keprihatinan saya akan kacaunya acara M2Net selama ini, menimbulkan semangat untuk menyelenggarakan acara besar yang semuanya murni dimotori oleh anggota M2Net sebagai pembelajaran. Bagaimana cara menyelenggarakan acara, mengatur kekompakan panitia, mengundang pembicara, menjaring sponsor dan donatur, membuat konsep acara yang menarik, hingga menyelipkan manfaat ganda dari penyelenggaraan acara tersebut: membekali calon peserta PKL untuk mendokumentasikan perjalanan mereka dalam bentuk tulisan.

Maka, mohon maafkan segala kemarahan saya, oprak-oprak, kecerewetan, benatakan, dan segala bentuk khilaf selama proses perencanaan, persiapan, penyelenggaraan, hingga evaluasi acara terhadap semua panitia. Semua itu saya lakukan tak lain dan tak bukan karena saya tak ingin acara yang sudah diperdebatkan sejak 3 bulan lalu kacau ditengah jalan. Terbukti, 4 jempol untuk kerja keras kalian, setidaknya saya cukup puas dan berterima kasih atas segenap partisipasi. Siapa bisa mengira, berkat penyelenggaraan acara ini pula, buku diary mini yang dua tahun lalu masih rahasia, bahkan tak berarti apa-apa, kini bisa dibaca sebagai travel writing (catatan perjalanan) yang setidaknya bermanfaat untuk peserta PKL sebagai panduan mengabadikan perjalanan mereka.

Satu hal yang saya ingatkan, ini baru permulaan, kawan. Saya tunggu event-event spektakuler berikutnya. :) ***

Urutan foto di atas:

  1. Tiket masuk peserta. Meski gratis tetap ada tiketnya loh.. Foto cewe berjejer di sisi kanan diambil dari muslimahbackpacker. belum ijin ybs. susah cari kontaknya. di web tsb ga ada kontaknya. maaf ya.. habis bagus banget. desainernya tergoda ;p
  2. Penerima Sandal Selen. Cukup seneng meski sandalnya selen.. Hmm.. beginilah santri. padahal dari lubuk hati panitia terdalam berharap penerima sandal akan mencari belahan sandal lainnya agar sempurna jadi sepasang.
  3. Backdrop 3 x 2 meter, didesain kotak-kotak agar bisa dipotong usai acara dan bisa dibawa pulang (maksudnya dijual) ke siapa yang minat. Habis sayang cetak mahal2 untuk sekali pakai.

Galeri Foto Tewe lainnya :

Masa Kejayaan Malhikdua, Jangan Berhenti Sampai Disini

Turut berbahagia dan bangga. Jelas. Kata itu yang ingin segera saya tulis saat memulai postingan ini, sesaat setelah membaca headline berita di halaman utama web Malhikdua siang ini. Bahagia dan bangga lantaran saya masih diberi kesempatan menyaksikan kesuksesan adik-adik kelas yang, kata berita, tahun ini berhasil membuka gerbang universitas favorit baik domestik maupun manca. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, boleh lah dibilang fantastik untuk ukuran sekolah swasta yang berada di bilangan kaki gunung Slamet itu. Betapa tidak, jika tahun lalu, tahun angkatan saya, mendapat rekor ‘angkatan UIN’ lantaran hampir lebih dari 50% diterima Universitas Islam Negeri, meski ada beberapa yang berhasil tembus go abroad. Tahun ini seolah tahun keemasan Malhikdua, karena jebolannya tak hanya menyundul PTN-PTN Favorit: UI, UGM, UPI, UNAIR, UNNES, UNDIP, juga UIN, melainkan tak sedikit hitungannya yang juga dipastikan akan berangkat ke negeri tetangga: Timur Tengah dan Eropa.

Bukankah ini excelent, kawan? Kali ini Malhikdua tak hanya mendapat julukan ‘langganan Mesir’, tapi pintu Eropa pun berhasil didobrak oleh siswa yang notabenenya ‘santri [bukan] katro’. Rasanya tak berlebihan jika saya sedikit hiperbola. :)

Ya, tahun keemasan. Atau bila sejarah mengatakan untuk istilah kerajaan, ialah masa kejayaan. Sebagaimana disebut dalam headline berita itu, Malhikdua sedang naik daun. Malhikdua sedang menikmati kemenangannya lantaran sederet keberhasilan tadi.

Refleksi Diri

Entah stategi apa yang digunakan Malhikdua tahun ini, hingga berhasil mengegoalkan siswa-siswinya masuk ke dalam gerbang PTN Favorit dalam maupun luar negeri, dengan jurusan yang tak bisa dibilang ‘ecek-ecek’. Saya tak tahu menahu soal itu. Tapi satu keyakinan yang senantiasa saya genggam, keberhasilan Malhikdua tahun ini menjadi bukti semakin baiknya menejemen sekolah dan semakin berkualitasnya SDM serta segala fasilitas yang dibutuhkan didalamnya.

Sempat terbesit, dalam lubuk hati yang kerap nakal dan bengal, sanubari membisiki rasa iri yang amat sangat terhadap serangkai prestasi adik-adik kelas yang agaknya (dan seharusnya) belum berakhir sampai disini. Iri lantaran diri ini merasa semakin hina, dulu tak bisa keluar dengan predikat ‘Mumtaz’ seperti mereka. Iri lantaran kesadaran semakin menggila, bahwa apa yang saya raih tahun lalu tak membuat rekah senyum para guru semanis senyum tahun ini. Semakin iri ketika menengok bumi yang kini saya pijaki, masih tetap berada di bumi pertiwi. Bahkan semakin iri, saat kedua bola mata ini menunjukkan dengan jelas universitas mana yang kini saya sambangi.

Sungguh, iri sekali, kawan. Iri yang terbalut sesal teramat dalam. Dan menyisakan satu pertanyaan yang belum terjawab, bahkan tak seorang pun bisa menjawab. Kenapa saya tak bisa seperti mereka?

Hati ini basah. :'(

Masih lekat dalam memori, betapa perih perjuangan saya untuk bisa mendaftar PTN. Bahkan untuk sekedar registrasi ke Bank saja saya harus rela dihukum push up 60 kali lantaran terlambat masuk kelas, padahal sebelumnya sudah ijin. Hingga sempat meminta bantuan seorang kawan diluar kota untuk meregistrasikan, karena keterbatasan uang saku yang saya miliki kala itu. Tak cukup sampai disitu, saya sering mengendap-endap belajar di lantai 3 gedung asrama bersama seorang kawan (sekarang dia duduk manis di UNDIP Semarang), hingga jam 2 malam malah kadang sampai pagi. Bercahayakan lilin dan beralas sebentang sajadah yang tak panjang. Tak sekali dua kali diusir pengurus dan terpaksa kembali ke kamar. Meski lebih sering tidur dipenginapan berkat seorang abdi dalem yang baik hati, mau melindungi. Semua itu saya, dan teman saya, lakukan demi bisa melahap soal-soal SNMPTN dan SPMB dengan lancar.

Namun, apalah daya. Manusia memang hanya bisa berusaha, Allah jualah yang menentukannya. Jangankan PTN Favorit di luar negeri sana, di dalam negeri saja saya tak bisa menembusnya. Dan mau tak mau saya harus terima, hanya UIN Bandung yang mau menampung saya.

Dengan sederet lika-liku itu, menjadi pantas kiranya ketika hati ini basah membaca baris demi baris berita menggembirakan tentang prestasi Malhikdua, yang kini sedang berada di puncak keemasan. Menjadi hal yang wajar pula jika terbesit rasa iri yang amat sangat di dalam hati. Iri karena menyaksikan betapa mudahnya adik-adik kelas bisa menggenggam impian mereka. Iri, karena saya tak bisa seperti mereka. Meski sejatinya hati kecil teramat menyadari bahwa tak seharusnya saya berpikir demikian. Tak seharusnya saya menjadi sepicik manusia yang kehilangan budinya.

Saya pun sangat menyadari, Allah pasti memiliki rencana yang sangat indah, diluar sepengatahuan saya, yang menjadi mutiara hikmah dibalik semua kegagalan tahun lalu. Allah pun akan mengganti dengan beribu kenikmatan lain, jikalau saya ikhlas menerima semua ini. Terlebih, jika saya tetap bersyukur sembari tak putus asa dalam berusaha, saya yakin Allah akan menjadikan sesuatu yang ‘apa adanya’ ini menjadi ‘serba ada apanya’ di kemudian hari. Ya, semua itu bisa terjadi hanya jika saya kembali mengembangkan senyum, melapangkan dada seluas-luasnya, dan tak menghentikan langkah karena ‘life must go on’.

Harapan untuk Malhikdua

Apa yang telah digenggam Malhikdua detik ini, sejatinya tak kan berarti banyak bila tahun berikutnya tak bisa jauh lebih baik lagi dari tahun ini. Karenanya, saya tak pernah berhenti berharap , semoga Malhikdua mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas menejemennya, semakin banyak memberi output yang mampu menghadapi tantangan era global, dan yang lebih penting semakin membuka mata hati lebar-lebar akan pentingnya pemberdayaan SDM dan penyediaan fasilitas yang memadai.

Pun tak luput untuk adik-adikku yang sudah mendapat tiket masuk PTN baik dalam maupun luar negeri, saya turut menjadi saksi perjuangan kalian. Saya tunggu 5 tahun lagi, kabar dahsyat apa lagi yang akan kalian sampaikan. Dan saya akan lebih senang lagi jika kalian mau bergabung dalam program ‘Alumni Berbagi’. Bukan karena program ini digagas oleh M2Net, sekali lagi bukan. Bahkan tak ada kaitannya sama sekali. Namun lewat program itulah, salah satu bukti bakti kalian, bukti cinta kalian terhadap Malhikdua. Bukti bahwa kalian pun ingin adik-adik kelas kalian nanti bisa menyusul dimana kaki kalian berpijak, enatah setahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan 10 tahun lagi. Dengan begitu, masa kejayaan Malhikdua tak kan berhenti sampai disini.

Wallohu’alam,

Guru Buang Sampah Sembarangan, Wajar atau Kurang Ajar?

Miris. Satu kata yang spontan membuat saya tersentak, terhenyak, dan manajamkan pandangan tak percaya. Bukan karena sebuah tontonan mengahrukan yang kerap membuat hati ini turut basah. Bukan pula adegan antagonis yang kadang memaksa saya ikut membenci pemerannya. Ini adalah pemandangan nyata, raib dari pengawasan publik, bahkan kadang diabaikan. Sayang, ketika menjumpai moment itu saya tak membawa seperangkat kamera yang bisa membuktikan keterperangahan kedua mata ini. Tapi kemirisan dan keironisan fakta tadi spontan membuat saya resah dan langsung menuntun jemari menuliskan apa yang terjadi. Continue reading “Guru Buang Sampah Sembarangan, Wajar atau Kurang Ajar?”

Kebahagiaan Sejati: Bersama Keluarga

Dulu, saya selalu mencari sebidang lantai yang bisa dijadikan secret basecamp. Sejenak menumpang untuk sekedar membuka buku atau menulis sesuatu.

Ketika masih dirumah, batang pohon Jambu yang rindang menjadi tempat terfavorit selain teras pojok depan rumah dan bawah pohon mangga. Hampir setiap hari ketiganya menjadi saksi sebuah proses belajar panjang dari bocah berambut mie dan bertubuh keci inil. Continue reading “Kebahagiaan Sejati: Bersama Keluarga”