“Hiks..hiks..” sesudut suara lirih terdengar perih. Celingak-celinguk kepalaku mencari sumbernya. Aha! Itu dia. “Kita tidak berguna lagi” berat bibirnya perlahan berucap.
Lekuk wajahnya persis jemuran yang belum disetrika; muram. Seakan hembusan napas yang tersisa hanyalah sia-sia; suram. Derasnya air langit menjadikan mendung tak berpindah dari atas kepalanya, sama derasnya dengan air dari sebalik kelopak mata yang menyedihkan itu; kelam. Rona pipinya seketika menghilang bersama duka yang tak tahu jalan pulang; geram.
“Si.. siapa bilang kalian tidak berguna lagi?” aku tak yakin itu pernyataan atau pertanyaan.
Mereka bak pinang dibelah dua. Sepasang jumlahnya. Terongok menggigil di tepi tumpukan sampah. Terciprat kecipak hujan yang belum menyatu dengan tanah. Kusut, belel, penuh bekas jahitan di sekujur tubuhnya. Muka bawahnya agak menyembul keluar. Tempelan debunya sekira dua senti, menyusup ke pori-pori. Wajahnya sayu, kerutan pipi membuat kedua paras itu tak lagi ayu.
“Tuan kami.. Tuan kami..” jawab yang kanan terputus-putus. Meski keduanya benar-benar kembar, tampaknya si kanan ini agak lebih bersih dari yang kiri. Continue reading “Sepasang Sepatu Usang”