Celoteh Mimpi

Biarlah orang bilang aku manusia pengkhayal. Pemimpi ulung yang terlalu lebay. Tapi selagi tak ada Undang-Undang Mimpi, Pajak Khayal, dan Peraturan Ke-lebay-an; aku ingin menuliskan beberapa keinginan.

Biarlah aku tak bisa memilih lahir dari dinasti ber-uang. Setidaknya aku berhak memutuskan untuk menjadi siapa, ingin apa, dan bagaimana mewujudkannya. Dan, jika aku menjadi ‘seseorang’ suatu hari nanti, keinginan inilah yang memerisai. Continue reading “Celoteh Mimpi”

Gurukul vs Al Hikmah 2

Haduh, bangun tidur dapat kabar “nyesek” dari M2Net. Serasa keceriaan mentari tertutup gumpalan awan hitam, #lebay.

“Salah satu anggota M2Net telah berpulang ke rumah”, kudengar dari kicauan burung di pohon sebelah. Bukan, bukan rumah Allah, tapi rumahnya. Alias keluar dari Al Hikmah 2. Lebih tepatnya: mengundurkan diri.

Sejatinya aku sudah berusaha “pura-pura tidak dengar”. Muak dan sedih bercampur kecewa pasti sangat pahit rasanya, kalau aku mendengar. Sayangnya telingaku tiba-tiba (seakan) punya kemampuan Lee Jong Suk (pemeran Park Soo Ha) dalam drama “I Hear Your Voice”. Tentu bukan dengan indra ke-6, tapi via desibel yang terperangkap telepon seluler.

Seketika itu juga alur cerita film legendaris (untuk tidak menyebut ‘jadul’) dari India, yang kurasa cocok dengan background Al Hikmah 2, melayang-layang di depan mata. Tidak sedang menyamakan “Mohabbatain” -judul film itu- dengan kisah di pesantren NU. Hanya inti kisah dari keduanya ada yang sama.
Continue reading “Gurukul vs Al Hikmah 2”

A Letter to My Friends

Awalnya kukira takkan bertahan sejauh ini. Aku.. sama sekali tidak berniat membuang semua link pertemanan di dumay. Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang mendorongku. Dorongan yang, saking kuatnya sampai aku tak sempat berpikir jernih atau menimbang lebih baik.

Maaf, teman. Sejak Juli 2014, akun-akun sosmed atas nama ‘Damai Wardani’ sudah dinonaktifkan. Entah sampai kapan. Namun satu hal yang pasti, meski tak bisa kujelaskan ‘mengapa’, aku sama sekali tak punya niat jahat.

Bila ada yang merindukan, pintu email “damai@wardani.info” selalu bahagia untuk disapa. Setidaknya, dengan menyapa email itu aku jadi tahu: sekuat apa tali pertemanan kita.

Ah, ya. Terima kasih untuk pembaca setia blog ini. Meski aku lebih sering pulang ke “jalandamai.com”, aku tahu silent readers blog ini justru terus bertambah. Terima kasih untuk kesetiaannya.

Salam Damai, :)

Abstraknya Asa

Angin, lama tak bersua. Masihkah ada seutas senyum untuk gadis yang tak tahu diri ini?

Jangankan seutas senyum, bahuku pun siap disandari air matamu.

Ahaha, tahu saja kalau mataku sudah berlinang.

Menangislah bila memang harus menangis. Asal itu bisa membuatmu menegakkan wajah, memantapkan hati, dan melanjutkan langkah; lagi.

Setelah semua kehancuran yang kuperbuat, masihkah pantas aku menegakkan wajah?

Bukankah berani bermain api dan berani memadamkannya, berarti kamu sudah tahu seberapa pantas dirimu untuk melanjutkan hidup?

Tapi skala kepantasan itu sangat jauh dari.. Continue reading “Abstraknya Asa”

Malang

Tumben belum tidur,

Sudah sepekan kamu tidur lebih larut dariku.

Huhf.. Apakah kita senasib?

Mungkin. Tapi rasanya ada yang beda dengan nasib kita.

Apa bedanya?

Aku kesepian karena memang aku tidak tercipta untuk berkawan, sementara kamu..

Aku?

Kamu kesakitan karena tidak bisa meminta siapa pun hadir di sisimu saat tubuhmu meronta, padahal kamu dikelilingi banyak manusia.

Benar. Itu lebih menyakitkan dari sakit yang dirasakan tubuhku.

Bahkan saat kamu takut, sedih, kecewa, dan bahagia, hanya bisa disembunyikan di balik air mata. Angin pun sama sekali tak berdaya untuk membantu. Maaf, maafkan Angin.

Tidak. Jangan minta maaf. Membuatku tersadar betapa malangnya diriku, bukankah hanya bisa dilakukan oleh sahabat sejati?

Ahaha.. Semoga iya. Baiklah, saatnya tidur. Mentari esok tengah menanti perjalananmu.

Andai

Sudah kuperingatkan: jangan diteruskan! Semakin dalam kamu tenggelam, lukamu juga semakin mengenaskan.

Bahkan bukan hanya aku, tapi semua orang yang terlibat dalam hal itu.

Nah, itu kamu tahu. Kenapa masih diteruskan?

Andai bisa, aku pun ingin mendelete semua ingatan itu. Ingin lupa bahwa aku pernah mengenal dan mengukir namanya.

Bisa itu bukan hanya diandai,

Tapi semua usahaku serasa buntu. Hanya andai yang masih punya jalan.