Kisah Perdana Garuda Naik Merpati

Hallo sobat Garuda, :)

Sedikit berbeda dari tulisan bergenre tewe biasanya, kali ini saya tidak mengupas sebuah tempat wisata atau kuliner yummy. Melainkan semua suara hati tentang pengalaman perdana saya naik pesawat. Alat transportasi termahal, terunik, terhebat, dan ter-ter lainnya, bagi saya. Barangkali pesawat sudah sangat biasa untuk sebagian orang, tapi untuk traveller macam saya yang hampir tiap perjalanan hanya bisa menikmati bus atau kereta ekonomi, itu sangat luar biasa.

Ya, beberapa bulan lalu saya berkesempatan menjumput beberapa pariwisata menggiurkan di Jawa Timur. Perjalanan Bandung-Jawa Timur tentu tidak sebentar jika dilalui transportasi darat: 17 jam menggunakan bus, 14 jam menggunakan kereta. Terasa sangat membuang waktu untuk saat itu. Jadilah saya putar otak mencari celah lain: tiket pesawat murah.

Hampir tiap hari otak-atik harga tiket termurah di beberapa website penyedia layanan informasi terkait harga tiket. Terkadang ada harga yang sesuai, tapi jadwal tidak berjodoh. Ada jadwal yang pas, ternyata harga sudah melambung. Begitulah angka-angka di kotak-kotak informasi terus berubah, setiap saat. Bisa jadi naik selangit, bisa jadi turun selaut. Faktor keberuntungan boleh jadi berperan dalam kalkulasi ini. Entah bagaimana menejemen yang sebenarnya dari pusat pembelian tiket-tiket pesawat itu. Satu hal yang pasti, saya bersyukur bisa mendapat tiket termurah saat itu: 170 ribu. Ini lebih murah dari kereta bisnis seharga 185 ribu.

Ya, Merpati. Ini dia pesawat perdana yang berjodoh dengan saya. Selain harga dan jadwal penerbangan yang sesuai, pelayanan yang diberikan juga cukup memuaskan. Meski saya harus rela berangkat jam3.30 pagi menuju bandara, karena peraturannya satu jam sebelum penerbangan (jam 5.36 pagi) semua penumpang harus sudah ada di bandara. Sedang perjalanan saya menuju bandara Husein Sastra Negara selama satu jam. Semenit saja terlambat, bisa jadi saya gagal berangkat.

Beruntung taxi yang saya pesan datang on time. Meski akhirnya sempat panik karena saya bangun agak terlambat, tapi supir taxi tancap gas dan memberi jaminan tiba di bandara sebelum jam 4.30 pagi. Huhf     berdebar ini jantung saat beberapa menit terakhir menuju pintu masuk bandara.

Begitu sampai di bandara, saya pasang senyum termanis membalas sambutan para scurity di pintu masuk. Turut mengantri untuk diperiksa keaslian tiket serta barang bawaan. Dengan wajah lusuh dan dua tas di tangan, saya berlagak sok tahu mencari loket Passenger Service Change milik Merpati. Sempat berputar-putar di area yang sama, akhirnya menyerah dan bertanya pada salah satu OB. Beruntung dia baik (atau memang baik, diwajibkan baik, atau entahlah). Lebih beruntung lagi ternyata biaya charge hanya 25 ribu. Semula saya kira bandara kaliber Internasional Husein Sastranegara ini kisaran 40 ribu.

Selesai membereskan administrasi, saya langsung menuju ruang tunggu di lantai dua. Ternyata beberapa tempat duduk sudah dipadati para calon penumpang. Logat bicara Jawa, Sunda, Sumatra, Sulawesi, bahasa Asing, juga beberapa bahasa lain yang kurang saya mengerti, bercampur jadi satu dalam satu ruang tunggu. Berbagai aktivitas pun mereka lakukan, mulai dari baca koran, main gadget, meeting, ngemil, sampai bersenda gurau dengan beberapa calon penumpang lain.

Saya putar pandangan ke sekeliling. Tinggal deretan bangku di ujung yang masih tersisa. Tak mengapa, yang penting duduk.

Huhf.. Alhamdulillah, ucap saya lirih. Lega rasanya saya tidak terlambat. Perjalanan ini benar-benar akan dimulai. Bahkan sudah dimulai sejak saya riwa-riwi hunting tiket pesawat. Semoga dimampukan menyelsaikan hingga episode terakhir.

Sembari menunggu waktu boarding, saya sempatkan mengecek email, kabar terbaru dari jejaring dan media online. Tak lupa titip absen ke komisaris mahasiswa (kosma) lantaran meninggalkan beberapa mata kuliah selama perjalanan 3 hari ke depan.

Beruntung pesawat tidak delay. Hanya 30 menit berselang, sudah ada pengumuman boarding. Artinya, perjalanan nanti akan sesuai schedule yang telah saya buat. Karena molor 30 menit saja akan membuat serangkaian jadwal lain didbelakangnya ikut terlunta-lunta.

Tampak beberapa pramugari cantik, tinggi, sexi, rapi, berjalan anggun menuju ruang tunggu. Dengan senyum termanis mereka, meski tampak sedikit dipaksakan, memandu para calon penumpang menuju awak pesawat. Antri. Saya pun ikut berbaris. Dengan dua tas menempel di badan, saya merasa paling kecil dan pendek diantara calon penumpang lain. Seketika ingatan saya terbayang antrian pembagian zakat yang selalu, selalu, dan selalu ada saja yang ricuh, berdesak-desakkan, hingga terjadi keributan dan memakan korban. Ide konyol saya, barangkali, jika yang mengatur antrian itu para pramugari cantik ini, mereka bisa tertib dan tidak saling berebut.
* Ah, dasar Damae! Sempat-sempatnya berfikir konyol disaat seperti ini. Tapi katanya, mindset travel writer memang harus begitu. :)

Seat 14D, disanalah saya duduk. Persis samping jendela. Meski sempat fobi lantaran biasanya deretan kursi tengah itu paling bahaya jika terjadi kecelakaan pesawat. Tapi saya berusaha tenang dan menikmati perjalanan.

Mata saya terus terpaku pada kaca jendela. Tak besar memang, kira-kira cukup untuk mengintip rembulan yang belum sepenuhnya tenggelam. Juga mentari yang perlahan tersenyum di balik bukit. Mentari dan bulan itu seolah saling menyapa. Barangkali jika tahu saya bahasa mereka, ini yang mereka sampaikan: bulan, silahkan istirahat. Saatnya saya bertugas, kata matahari. Lalu bulan menjawab, Ok, brad! Jaga bumi baik-baik ya..

Haha.. Lucu sekali. Mereka tak pernah mengeluh dan selalu kompak. Sepenuhnya mengabdi untuk manusia, tapi kadang manusia lupa untuk berterima kasih. Bahkan tak pernah minta maaf jika tanpa disadari pernah membuat mereka tersiksa.

Pesawat terus melaju. Sesekali miring ke kiri dan kanan, menyeimbangkan posisi. Pramugari pun terus berlalu lalang menjalankan tugas utama mereka: memperagakan pemasangan sabuk pengaman, berkeliling menjajakan souvenir pesawat, membagikan snack & minuman, dan tentu saja senantiasa tersenyum lebar saat melakukan semua itu.

Jadi teringat kisah training calon pramugari di suatu negara tetangga, lupa tepatnya. Sedikit ngeri membacanya, karena ternyata untuk melatih pramugari ini selalu tersenyum manis adalah dengan memasang kawat pada mulut mereka. Kawat ini akan menarik mulut beberapa senti ke samping kanan dan kiri, hingga membentuk senyum. Lalu mereka tahan untuk sekian menit. Begitu diulang seterusnya. Ternyata tidak mudah menjadi pramugari itu.

Belum lagi isu miring terkait pemberitaan pramugari nakal. Mereka seringkali dimanfaatkan untuk memuaskan nafsu lelaki hidung belang yang beruang. Tidak hanya faktor cantik, tapi jauhnya jarak pramugari dengan suami mereka (karena pramugari biasanya tinggal di apartemen dekat bandara) juga menjadi faktor lengahnya pramugari untuk bermain diluar sana.

Ah.. Lagi-lagi pikiran saya melayang kemana-mana.

Kembali saya tatap jendela. Agaknya perjalanan tinggal setengah. Kini hanya gundukan awan dan birunya langit yang tampak. Indah sekali dilihat dari dalam jendela. Lurus sayap pesawat.

Penerbangan ini mengingatkan saya pada mimpi masa kecil. Ini benar mimpi saat tidur, bukan impian. Usia saat itu belum genap 5 tahun. Tapi sepenggal mimpi yang masih saya ingat, tiba-tiba saya terbang menunggangi layang-layang yang sedang saya kendalikan. Ya, dalam mimpi itu saya sedang bermain layang-layang. Tapi hanya saya saja yang tiba-tiba terbang, sementara teman-teman terkejut, bingung, dan bengong melihat layang-layang itu terus membawa saya ke arah selatan, kiat tinggi, kian jauh, dan menghilang.

Entah apa makna mimpi itu. Barangkali hanya bunga tidur yang memang tidak bermakna. Satu hal yang pasti, saya bersyukur akhirnya benar-benar bisa merasakan terbang yang sesungguhnya. Bukan dengan burung garuda atau layang-layang, tapi dengan pesawat yang sesungguhnya. Dan, impian untuk bisa keliling dunia itu masih tergenggam erat. Semoga suatu saat nanti impian itu benar-benar bisa terbukti.

Wallohu’alam.

Tak terasa pesawat sudah landing. Pramugari kembali memperingatkan untuk memasang sabuk pengaman. Kisah ini pun harus saya akhiri. Penerbangan kepulangan juga tak kalah indah dari penerbangan perdana ini. Dan semoga saya masih sempat mengabadikannya.

Ini kisahku. Mana kisahmu? :)

Foto: Menyusul (dikarenakan keterbatasan koneksi internet, :) )

Sisi Lain Juguran Blogger Banyumas 2012

Gokil. Satu kata yang paling pas untuk mengenang unforgatable moment Juguran Blogger Banyumas (JBB), 31 Juni-1 Juli 2012 lalu. Betapa tidak, tak sengaja menemukan foto-foto ‘menggemaskan’ yang ‘dicuri diam-diam’ oleh fotografer, terselip diantara dokumentasi Damae Traveling. Tak berniat mengulas kembali, karena postingan sebelumnya sudah merekap kumpulan reportase mereka. Tapi bayangan wajah blogger yang berpartisipasi dalam acara itu, memaksa jemari saya menari untuk mengisahkan ‘sisi lain’ dari serangakaian kolaborasi agenda perdana Blogger Banyumas dan Gerakan Desa Membangun (GDM) itu. Kiranya ada keunikan yang belum terkisahkan, mari kita simak. Continue reading “Sisi Lain Juguran Blogger Banyumas 2012”

Baturaden, Lokawisata Paling Asyik di Banyumas

width=300Bergandeng tangan dengan kekasih. Ialah hal paling mengasyikkan yang bisa Anda lakukan saat berjalan-jalan di Wana Wisata Baturaden. Sembari menikmati kesejukan lereng gunung Slamet, Anda dapat mencuci mata dengan hijaunya panorama yang eksotis. Gemericik air terjun dari Pancuran Satu, Pancuran Tilu, dan Pancuran Pitu, juga menambah kemesraan melodi alam yang siap menemani waktu santai Anda. Jika Anda pecinta alam dan penikmat kegiatan out bond, Anda dapat memanfaatkan camping ground atau Bumi Perkemahan. Dan masih ada sederet wahana lain yang dijamin membuat Anda betah berlama-lama disana. Tertarik untuk mencoba? Continue reading “Baturaden, Lokawisata Paling Asyik di Banyumas”

20 Jam di Cirata, Antara Limpahan Rejeki dan Sakit yg Menanti

Istilah Ngaliwet di kalangan masyarakat Sunda, agaknya sudah biasa. Tapi bagaimana jika Ngaliwet ini dipadukan dengan bakar ikan air tawar yang dipancing atau dijaring sendiri dari laut? Terlebih dinikmati bersama keluarga, saat siluet mentari memberi tanda senja hendak tiba. Moment ini kian asyik karena ditemani panorama hamparan laut yang menyudut Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Tempat ini cocok untuk Anda yang memang hobi berekreasi, atau sekedar melepas penat saat melintas dalam perjalanan jauh.

    —-

Ialah laut pembudidayaan ikan air tawar: Cirata. Perairan yang cantik dan menjadi sumber mata pencaharian warga sekitar ini dapat Anda temui di Cipeundeuy, Bandung Barat. Perjalanan memakan waktu lebih dari 3 jam dari pusat kota Bandung, dengan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Namun Anda perlu berhati-hati selepas Tol, karena banyak jalan berbatu kerikil yang cukup ngeri untuk dilalui.

width=300Menyusuri Cirata dengan perahu motor, Anda akan disuguhi keramba-keramba ikan Mas, Nila, dan Gurame, yang kini jumlahnya melebihi 50.000 petak jaring apung. Dengan rumah-rumah panggung diatas keramba, sebagai tempat tinggal para petani ikan. Eits, jangan salah, kawan. Meski status mereka petani ikan, tapi tak hanya satu dua yang dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi profesor, memiliki lebih dari 3 rumah, bahkan dapat membeli kendaraan pribadi sekelas Menteri. #bahasabombastis

Betapa tidak, rata-rata masing-masing petani dapat memanen 5 ton ikan dengan harga 15 ribu/kg setiap 3 bulan, hingga dalam satu tahun mereka dapat mengantongi 300 juta. Tentu saja penghasilan ini belum dipotong biaya pembenihan, pakan ikan, dan pengelolaannya. Tak heran jika warga Cipeundeuy dan sekitarnya dapat dikatakan berkecukupan.

—-

Namun dibalik kesuksesannya, diam-diam Cirata mengidap sakit yang kian menghimpit usianya. Endapan pakan ikan tak termakan yang mencapai tiga meter, jumlah keramba yang melebihi batas normal, dan sumbangan sedimentasi dari sungai Citarum, Cisokan, Cikundul, Cibaladung, serta Cimeta, menjadi faktor utama langgengnya penyakit Cirata. Kondisi ini diperparah dengan dibuangnya perkakas tak terpakai dari jaring apung, seperti styrofoam, drum, dan bambu ke dalam perairan. Lantaran menyebabkan volume sedimen Cirata hingga 2007 mencapai 146 juta meter kubik, dengan rata-rata laju sedimen 3,9 milimeter/tahun.

Kepala PT Pembangkit Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (PJB BPWC) Suhata E. Putra menuturkan, parahnya kondisi ini membuat Cirata harus kehilangan dua puluh tahun masa hidupnya.

Selain penyakit ganas nan membahayakan, Cirata juga menderita karena kualitas air semakin menurun. Dekat sungai Cimeta yang menyumbang sedimentasi besar pada Cirata, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sebagai pusat sampah dari segala penjuru Bandung Raya. Maka lindi dari TPA inilah yang menjadi sumber pencemar air paling besar di Cirata. Sementara hasil penelitian, di muara sungai Cimeta terkandung 2,4 juta sel bakteri merugikan E-Coli per seratus milimeter yang mengalir ke Cirata. Padahal normalnya, dalam seratus milimeter terdapat dua ratus sel.

Dengan banyaknya polutan air, tentu ikan yang dihasilkan tak lagi sepenuhnya sehat karena mengandung logam berat. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita mengatur pola makan ikan dari Cirata ini, terutama untuk Anda yang tinggal di Bandung dan Jakarta sebagai daerah distribusi.

Sejauh ini kita hanya bisa berharap pemerintah akan terus melakukan langkah strategis untuk menyelamatkan Cirata. Setelah langkah preventiv dengan menanam 230.000 tanaman keras di sepanjang sabuk hijau Cirata sejak tahun 2000 terwujud, semoga pembangunan 22 danau untuk menahan laju sedimentasi segera terwujud. Kerjasama para petani ikan untuk tidak membuang perkakas tak terpakai dari jaring apung ke dalam perairan, juga sangat diharapkan agar sedimen tak semakin menggunung. Jika tidak, bukan hanya Cirata yang mati, tapi mata pencaharian warga Cipendeuy, Plered, dan sekitarnya juga terancam punah.

—-

width=300Terlepas dari nasib Cirata, saya ingin berterima kasih pada peserta Teaching Program (TP) dari Madrasah Aliyah      Al Hikmah 2 (Malhikdua) beserta Ust. Fauzan sebagai pembina, yang telah mengundang saya untuk berjunjung ke Cipeundeuy, 25 Juni lalu. Berkat kunjungan itu, saya dapat menyapa Majelis Pengasuh PP. Al Hikmah 2, yakni Abah Sholahudin Masruri dan Abah Muhklas Hasyim yang juga sedang berkunjung. Terima kasih juga saya sampaikan untuk Ananda Atep dan keluarga yang telah menjamu saya dengan ikan-ikan segarnya, plus bonus menginap semalam bersama para peserta. Sungguh berkesan.

Meski hanya 20 jam saya singgah disana, tapi moment itu tetap abadi dalam memori. Apa Anda tertarik juga untuk berkunjung, kawan?

***

//

Tangkuban Perahu dan Cihampelas, The Untold Story

Jika Anda punya waktu luang, bolehlah sesekali berkunjung ke Lembang. Selain sejuknya udara dan hijaunya tepian jalan, kawasan yang berjarak sekitar 30 KM dari utara Bandung ini siap mencuci mata Anda dengan wisata alam yang eksotis. Ada Tangkuban Perahu disana. Gunung yang berada pada ketinggian 2.084 meter ini menjadi tujuan wisata menarik di Jabar. Continue reading “Tangkuban Perahu dan Cihampelas, The Untold Story”

Jambore Sastra dan Komunitas Masyarakat Lumpur

Heran. Satu kata yang hampir membuat saya putus asa hari itu. Searching di google map, sudah. Tanya ke teman, tetangga, para senior, hingga orang asli Bandung, juga sudah. Tapi tetap saja tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab dengan mantap, pasti, dan meyakinkan. Tentu dengan berbagai alasan, dari statement mulus sampai ketus. Pun dari yang benar-benar tidak tahu, pura-pura tidak tahu, sampai yang tahu tapi tak mau tahu. Beruntung ada seorang kawan baik hati yang mau meluangkan sejenak waktunya disela kesibukan, hanya untuk mengantar saya ke tempat yang dimaksud sejak awal. Tanpa tendensi perihal berbagi, ia juga menjelaskan rute perjalanan dengan sabar. Rute yang semula dibingungkan semua kepala yang ditanya, dan membuat saya mengerutkan dahi keheranan. Itulah Balai Bahasa Bandung, tempat Jambore Sastra 2012 berlangsung.

Jambore Sastra, Pembuka Cakrawala Budaya

width=667

Sempat berfikir dua kali untuk berangkat. Bukan perkara tidak tahu rute, tapi nama saya tidak tercatat sebagai peserta. Sementara info yang diposting oleh administrator situs resmi balaibahasabandung.web.id dengan jelas mengabarkan bahwa acara itu akan diikuti oleh sejumlah peserta yang diundang secara khusus oleh panitia. Wajar bila saya harap-harap cemas untuk bisa memasuki gedung yang terdapat di bilangan bukit Dago, Taman Budaya Jawa Barat tepatnya.

Tapi panggilan seorang kawan dari Komunitas Masyarakat Lumpur yang menjadi peserta, menjembatani kedua langkah mungil ini untuk tidak berkata ‘tidak’ menghadiri acara tahunan berlevel nasional itu. Bahkan ketika bola mata ini menyaksikan derap demi derap kreativitas apik di atas pentas, hati bersorak penuh takjub sembari berbisik pada sanubari: saya pasti menyesal jika memutuskan untuk tidak pergi.

Betapa tidak, kawan. Acara yang sudah digelar pada Rabu, 13 Juni kemarin benar-benar telah menyihir perhatian saya sembari menuntun lidah ini berucap Amazing!. Hari itu, para peserta yang notabenenya seniman dan pegiat sastra dari NTB, NTT, Jogjakarta, Jawa Tengah, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan, menampilkan kreasi terbaik mereka dengan gubahan sastra dalam bentuk teathre performances, musikalisasi puisi, dan seni tari. Ketakjuban semakin menjadi ketika saya menyadari bahwa seluruh peserta yang mengkolaborasikan musik, sastra, drama, juga tari dalam satu kesatuan pertunjukan seni yang memukau itu berusia jauh dibawah saya. Ya, mereka ialah siswa-siswi SMA yang didaulat Balai Bahasa masing-masing provinsi untuk beradu kreasi disini. Bukankah ini hebat, kawan?

Sebut saja Musikalisasi Puisi bertajuk Tragedi Sukhoi yang dibawakan oleh siswi SMAN 2 Semarang,     berhasil membuat bulu kuduk saya berdiri. Kreasi yang memadukan peran multimedia dalam menampilkan video kecelakaan Pesawat Sukhoi Super Jet 100, piano sebagai pengiring musik, suara emas pembawa lagu, dan pengkhayatan puisi yang merekam penerbangan sukhoi, tragedi kecelakaan, hingga pasca peristiwa naas di gunung Salak beberapa pekan lalu itu terjadi, benar-benar ‘klop’ dalam satu kesatuan sebuah pertunjukan. Tema aktual yang dipilih pun tak hanya membuat penonton terkesima, tapi juga berhasil membuka kembali memori saya tentang sederet tragedi lain yang berturut-turut menimpa bumi pertiwi: tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, hingga kebobrokan negara akibat ulah manusia tak beradab.

Kerjasama Balai Bahasa Jawa Barat dengan Saung Sastra Lembang juga tak kalah membuat saya terpana. Sepenggal teater apik bercerita tentang gilasan modernitas yang berdampak pada terkikisnya kesenian, adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal, dan peradaban warisan nenek moyang, ditafsirkan oleh sastra lewat kisah petani yang terampas seluruh sawahnya, hingga sepetak tanah untuk pemakaman sang istri tercinta yang terbunuh saat Sandekala merajalela pun tak punya. Sandekala, makhluk ghaib yang muncul kala pergantian antara siang dan malam, biasa diungkapkan untuk menakut-nakuti anak agar segera pulang ke rumah menjelang adzan maghrib bergema, dalam drama ini dikiaskan sebagai modernitas yang telah memisahkan manusia dengan alam. Modernitas yang menyulap lahan pertanian menjadi gedung bertingkat nan megah, modernitas yang mengontaminasi kebudayaan lokal dengan global, modernitas yang menerbangkan puing-puing identitas bangsa dengan segala kebaharuan ayatnya. Benar-benar memukau, kawan. Membuat saya sejenak tertunduk malu, kiranya modernitas pula yang menjajah kepribadian muslimah sejati menjadi sosok wanita modern yang haus akan kesetaraan gender.

width=300Kisah pencarian jati diri seorang putra mahkota yang menuntut balas atas harkat dan martabatnya, membawa amarah ini bertarung dengan ayahanda yang tak lain adalah Raja Cakraningrat V, juga turut beraksi diatas pentas.      Bekerja sama dengan Komunitas Masyarakat Lumpur, Balai Bahasa Jawa Timur mempersembahkan Legenda Bangkalan Madura yang ditulis oleh Helmi Prasetya dalam judul ‘Jiwa Asmara’. Pertempuran harga diri yang dilakoni oleh Lesab, pahlawan Madura namun dianggap pemberontak oleh sebagian masyarakat lantaran menentang penguasa pada masa itu, bukan sekedar cerita rakyat biasa yang bertutur asal muasal nama kota Bangkalan. Namun disini, sastra menjadi sebuah cara untuk menyimpan ingatan sejarah beserta refleksinya yang acap kali tak banyak orang peduli. Dimainkan dengan penuh penghayatan pula, peran ibu Lesab yang juga selir raja dalam ketidakridhoan terjadinya pertumpahan darah anak dan ayah. Tanpa restu pada Lesab untuk bertarung dengan Cakraningrat V lantaran ia tahu bahwa anaknya tak mungkin mampu menebas leher ayahnya (baca: penguasa), sang ibu hanya berharap dalam diam, dengan seribu kemungkinan, seribu kesedihan cinta kepada sang suami, dan seribu cinta pada putra semata wayangnya.

Tak hanya serasa terbawa oleh cerita, saya sempat dibuat takjub dengan peran ganda yang dibawakan tanpa cacat oleh sang ibu dan anak. Ya, tanpa mengubah tatanan make up dan kostum, sang ibu juga berperan sebagai raja Cakraningrat V dengan punggungnya dan bantuan suara dubbing oleh dalang. Begitu pula sang lakon, sebelum berperan sebagai Lesab, ia menjadi tokoh Topeng 1 dan Buka Topeng 1 yang bertugas mengaduk-aduk perasaan sang ibu terkait restu untuk Lesab dalam pertarungan melawan sang raja. Peran topeng ini dibawakan serempak bersama seorang kawan yang disebut sebagai Topeng 2 dan Buka Topeng 2. Bukankah itu terdengar sedikit rumit, kawan? Tapi mereka berhasil memainkannya denga sempurna. Hanya saja ada satu kritik dari dewan juri: kok Lesabnya kurus? :D Tapi hal ini tidak mempengaruhi esensi cerita.

Begitu pula penampilan-penampilan spektakuler lain dari Balai Bahasa Jogja, NTB, Kalimantan Selatan, Banten, dan Bali, yang sepertinya tak kan cukup terurai lengkap dalam postingan ini. Semuanya berhasil menafsirkan sastra ke dalam berbagai bentuk performances yang tak biasa, ialah perpaduan seni yang apik dan fantastik. Oya, salah satu tamu undangan yang tak mau tercatat sebagai peserta dari NTT, Christian Loking, menampilkan gemulai tarian Jai dengan pakaian adat khas NTT. Ia juga mengajak seluruh Kepala Balai Bahasa yang hadir dari berbagai provinsi, untuk mengikuti gerakan tari Ikimea-nya di atas pentas. Pemandangan ini benar-benar perdana, kawan. Hal ini menjadi bukti bahwa seni dan sastra mampu menjadi alat pemersatu bangsa. Pun, menjadi jembatan pengenal kembali luasnya kebudayaan negeri yang kini terkikis modernisasi. Ya, Jambore Sastra yang berlangsung sejak 12-15 Juni itu benar-benar membuka cakrawala budaya Indonesia.

Persahabatan Dadakan

Tak pernah terkira sebelumnya, perjumpaan dengan seorang kawan yang saya kenal via dunia daring itu berbuah persahabatan dengan Komunitas Masyarakat Lumpur. Kawan itu, Muzammil namanya, ialah pembina ektrakurikuler kesenian di SMAN 1 Bangkalan, Madura, yang juga peserta Jambore dan tergabung dalam beberapa sanggar seni di Jawa Timur, termasuk Komunitas Masyarakat Lumpur. Saya kenal lewat kontak sebagai koordinator Lomba Musikalisasi Puisi FLP Jatinangor bulan lalu, ketika ia mengalami beberapa kendala terkait pengiriman karya peserta didiknya. Pertemuan yang tak disengaja sebelumnya itu, telah mengenalkan saya pada bang Helmi (seniman dan penulis naskah ‘Jiwa Asmara’),      bang Alex (nama gaul dari Anwar Sadat, tapi berganti menjadi Ashanti kala malam menghampiri. Ialah seniman yang jago melukis), bang Alan (dijuluki ‘si badut imut’. Konon, imut itu kependekan dari ‘ireng mutlak’. Julukan ini diresmikan pasca gosongnya seluruh kulit Alan karena lupa tidak dibalik saat berjemur dibawah terik mentari Bangkalan. Demikian canda kawan-kawan), dan bang Hadi (violet lover yang paling putih diantaranya yang hitam. Lajang asli Malang ini pandai bermain gitar dan biola).

width=224Aha! Nu pang geulisna (yang paling cantik-red), Dahlia Wahyuni, pemilik suara merdu yang berperan sebagai Ibu dalam teater tadi. Kini ia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti babak seleksi SPMB UNESA (Universitas Surabaya) dengan pilihan jurusan Kesenian. Dan, tentu saja, para pembina Balai Bahasa Jawa Timur: ibu Leli, ibu Wiwi, mas AF Tausikal, dan kepala Balai Bahasa Jatim, pak Amir Mahmud, yang telah sudi mengizinkan saya bergabung dengan para peserta Jambore dari Jawa Timur tadi.

Indahnya persahabatan, saya rasakan saat binar bola mata mereka berbicara bahwa keikutsertaan saya mendampingi mereka selama acara berlangsung sangat diharapkan. Terbukti dengan ajakan untuk ikut bermalam di hotel Casa D’ Ladera, Lembang. Bahkan mereka berani memberi jaminan bahwa semua akan baik-baik saja. Disinilah kehangatan kekeluargaan dan persaudaraan tumbuh alami tanpa tendensi. Tak sedikit pun tersirat hawa canggung, bahkan saya tak hentinya tertawa melihat polah tingkah seniman-seniman yang tak pernah kehabisan bahan guyonan (candaan-red). Juga tak terlihat secuil pun perbedaan kasta, bahasa, juga latar belakang kepribadian, menjadi sebuah kendala dalam menjalin persahabatan. Keramahan, agaknya benar-benar senjata pamungkas yang ampuh untuk mengefektivkan komunikasi. Meski sempat terbesit keraguan akan status ‘bukan peserta’, tapi toleransi (atau lebih tepat disebut ‘ketidaktahuan’) panitia memberi keleluasaan gerak saya untuk bersama mereka lebih lama.

Kemesraan Jambore Sastra, Mengalun Merdu di Caf        © Sierra

Melengkapi sensasi plong para peserta seusai pertunjukan seharian, mereka dihibur dengan senandung merdu penyanyi Caf        © Sierra. Sembari menikmati santap malam di bukit Dago, ditemani sepoi angin dan indahnya pemandangan Bandung di bawah temaram rembulan. Kurang dari satu jam perjalanan dari hotel Casa D’ Ladera yang berada persis di pengkolan Jl. Setia Budhi dekat UPI, Caf        © Sierra yang termasuk kategori Caf        © berkelas ini menyajikan menu yang sangat beraneka: dari soup seafood jagung hingga makanan khas Bandung (bandrek-red).

Dalam kesempatan ini pula, seluruh peserta jambore sastra bernyanyi dan bergoyang bersama. Dari tembang daerah, pop, hingga manca. Bahkan beberapa kali para kepala Balai Bahasa berduet dengan peserta, hingga kolaborasi dengan seluruh kepala Balai Bahasa dalam dendangan dangdut ria. Siapa yang tak tergiur untuk bergoyang dalam moment seperti ini, kawan? Barangkali hanya saya saja yang menjawab tidak. :)

width=300Acara yang dijadwalkan usai pada jam 10 malam itu, ditutup dengan tembang kenangan berjudul ‘Kemesraan’. Seluruh peserta Jambore maju ke depan dan membentuk lingkaran dengan bergandengan tangan. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, agaknya tepat untuk mengibaratkan secarik kisah ini. Perbedaan suku, ras, bahasa, adat istiadat, juga kebudayaan, lebur      jadi satu dalam indahnya kebersamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan yang terbentuk oleh pertemuan singkat, namun membekas hangat. Benar-benar ‘unforgattable moment’.

Kemesraan – by Iwan Fals

Suatu hari
Dikala kita duduk ditepi pantai
Dan memandang
Ombak dilautan yang kian menepi

Burung camar
Terbang bermain diderunya air
Suara alam ini
Hangatkan jiwa kita

Sementara
Sinar surya perlahan mulai tenggelam
Suara gitarmu
Mengalunkan melodi tentang cinta

Ada hati
Membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa
Tercurah saat itu

Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Ingin kukenang selalu

Hatiku damai
Jiwaku tentram disampingmu
Hatiku damai
Jiwaku tentram bersamamu

Bersamamu

***

width=212Puas menikmati santap malam, hiburan, dan indahnya Bandung dari teropong bukit Dago, semua peserta kembali ke hotel untuk beristirahat. Meski berat kaki ini melangkah, karena melewati malam ini berarti menyelesaikan pertemuan dengan mereka. Dan esok, agenda berlanjut untuk wisata alam ke Tangkuban Perahu dan wisata Belanja ke Cihampeulas.

Bertolak dari semua kisah diatas, saya senang bisa menjadi bagian dari serangkaian kegiatan Jambore Sastra 2012, meski tidak tercatat sebagai peserta. Mendapat keluarga baru beserta pengalaman berharga itu, ialah sepenggal kisah yang pasti tak kan terlupa. Terlebih, berkesempatan untuk mendokumentasikan perjalanan mereka, meski hanya tertuang dalam blog sederhana ini, merupakan kehormatan tersendiri bagi saya.      Terima kasih dari lubuk hati terdalam, untuk Komunitas Masyarakat Lumpur, Jawa Timur.

Foto-foto selengkapnya: