Jambore Sastra dan Komunitas Masyarakat Lumpur

Heran. Satu kata yang hampir membuat saya putus asa hari itu. Searching di google map, sudah. Tanya ke teman, tetangga, para senior, hingga orang asli Bandung, juga sudah. Tapi tetap saja tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab dengan mantap, pasti, dan meyakinkan. Tentu dengan berbagai alasan, dari statement mulus sampai ketus. Pun dari yang benar-benar tidak tahu, pura-pura tidak tahu, sampai yang tahu tapi tak mau tahu. Beruntung ada seorang kawan baik hati yang mau meluangkan sejenak waktunya disela kesibukan, hanya untuk mengantar saya ke tempat yang dimaksud sejak awal. Tanpa tendensi perihal berbagi, ia juga menjelaskan rute perjalanan dengan sabar. Rute yang semula dibingungkan semua kepala yang ditanya, dan membuat saya mengerutkan dahi keheranan. Itulah Balai Bahasa Bandung, tempat Jambore Sastra 2012 berlangsung.

Jambore Sastra, Pembuka Cakrawala Budaya

width=667

Sempat berfikir dua kali untuk berangkat. Bukan perkara tidak tahu rute, tapi nama saya tidak tercatat sebagai peserta. Sementara info yang diposting oleh administrator situs resmi balaibahasabandung.web.id dengan jelas mengabarkan bahwa acara itu akan diikuti oleh sejumlah peserta yang diundang secara khusus oleh panitia. Wajar bila saya harap-harap cemas untuk bisa memasuki gedung yang terdapat di bilangan bukit Dago, Taman Budaya Jawa Barat tepatnya.

Tapi panggilan seorang kawan dari Komunitas Masyarakat Lumpur yang menjadi peserta, menjembatani kedua langkah mungil ini untuk tidak berkata ‘tidak’ menghadiri acara tahunan berlevel nasional itu. Bahkan ketika bola mata ini menyaksikan derap demi derap kreativitas apik di atas pentas, hati bersorak penuh takjub sembari berbisik pada sanubari: saya pasti menyesal jika memutuskan untuk tidak pergi.

Betapa tidak, kawan. Acara yang sudah digelar pada Rabu, 13 Juni kemarin benar-benar telah menyihir perhatian saya sembari menuntun lidah ini berucap Amazing!. Hari itu, para peserta yang notabenenya seniman dan pegiat sastra dari NTB, NTT, Jogjakarta, Jawa Tengah, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Selatan, menampilkan kreasi terbaik mereka dengan gubahan sastra dalam bentuk teathre performances, musikalisasi puisi, dan seni tari. Ketakjuban semakin menjadi ketika saya menyadari bahwa seluruh peserta yang mengkolaborasikan musik, sastra, drama, juga tari dalam satu kesatuan pertunjukan seni yang memukau itu berusia jauh dibawah saya. Ya, mereka ialah siswa-siswi SMA yang didaulat Balai Bahasa masing-masing provinsi untuk beradu kreasi disini. Bukankah ini hebat, kawan?

Sebut saja Musikalisasi Puisi bertajuk Tragedi Sukhoi yang dibawakan oleh siswi SMAN 2 Semarang,     berhasil membuat bulu kuduk saya berdiri. Kreasi yang memadukan peran multimedia dalam menampilkan video kecelakaan Pesawat Sukhoi Super Jet 100, piano sebagai pengiring musik, suara emas pembawa lagu, dan pengkhayatan puisi yang merekam penerbangan sukhoi, tragedi kecelakaan, hingga pasca peristiwa naas di gunung Salak beberapa pekan lalu itu terjadi, benar-benar ‘klop’ dalam satu kesatuan sebuah pertunjukan. Tema aktual yang dipilih pun tak hanya membuat penonton terkesima, tapi juga berhasil membuka kembali memori saya tentang sederet tragedi lain yang berturut-turut menimpa bumi pertiwi: tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, hingga kebobrokan negara akibat ulah manusia tak beradab.

Kerjasama Balai Bahasa Jawa Barat dengan Saung Sastra Lembang juga tak kalah membuat saya terpana. Sepenggal teater apik bercerita tentang gilasan modernitas yang berdampak pada terkikisnya kesenian, adat istiadat, nilai-nilai kearifan lokal, dan peradaban warisan nenek moyang, ditafsirkan oleh sastra lewat kisah petani yang terampas seluruh sawahnya, hingga sepetak tanah untuk pemakaman sang istri tercinta yang terbunuh saat Sandekala merajalela pun tak punya. Sandekala, makhluk ghaib yang muncul kala pergantian antara siang dan malam, biasa diungkapkan untuk menakut-nakuti anak agar segera pulang ke rumah menjelang adzan maghrib bergema, dalam drama ini dikiaskan sebagai modernitas yang telah memisahkan manusia dengan alam. Modernitas yang menyulap lahan pertanian menjadi gedung bertingkat nan megah, modernitas yang mengontaminasi kebudayaan lokal dengan global, modernitas yang menerbangkan puing-puing identitas bangsa dengan segala kebaharuan ayatnya. Benar-benar memukau, kawan. Membuat saya sejenak tertunduk malu, kiranya modernitas pula yang menjajah kepribadian muslimah sejati menjadi sosok wanita modern yang haus akan kesetaraan gender.

width=300Kisah pencarian jati diri seorang putra mahkota yang menuntut balas atas harkat dan martabatnya, membawa amarah ini bertarung dengan ayahanda yang tak lain adalah Raja Cakraningrat V, juga turut beraksi diatas pentas.      Bekerja sama dengan Komunitas Masyarakat Lumpur, Balai Bahasa Jawa Timur mempersembahkan Legenda Bangkalan Madura yang ditulis oleh Helmi Prasetya dalam judul ‘Jiwa Asmara’. Pertempuran harga diri yang dilakoni oleh Lesab, pahlawan Madura namun dianggap pemberontak oleh sebagian masyarakat lantaran menentang penguasa pada masa itu, bukan sekedar cerita rakyat biasa yang bertutur asal muasal nama kota Bangkalan. Namun disini, sastra menjadi sebuah cara untuk menyimpan ingatan sejarah beserta refleksinya yang acap kali tak banyak orang peduli. Dimainkan dengan penuh penghayatan pula, peran ibu Lesab yang juga selir raja dalam ketidakridhoan terjadinya pertumpahan darah anak dan ayah. Tanpa restu pada Lesab untuk bertarung dengan Cakraningrat V lantaran ia tahu bahwa anaknya tak mungkin mampu menebas leher ayahnya (baca: penguasa), sang ibu hanya berharap dalam diam, dengan seribu kemungkinan, seribu kesedihan cinta kepada sang suami, dan seribu cinta pada putra semata wayangnya.

Tak hanya serasa terbawa oleh cerita, saya sempat dibuat takjub dengan peran ganda yang dibawakan tanpa cacat oleh sang ibu dan anak. Ya, tanpa mengubah tatanan make up dan kostum, sang ibu juga berperan sebagai raja Cakraningrat V dengan punggungnya dan bantuan suara dubbing oleh dalang. Begitu pula sang lakon, sebelum berperan sebagai Lesab, ia menjadi tokoh Topeng 1 dan Buka Topeng 1 yang bertugas mengaduk-aduk perasaan sang ibu terkait restu untuk Lesab dalam pertarungan melawan sang raja. Peran topeng ini dibawakan serempak bersama seorang kawan yang disebut sebagai Topeng 2 dan Buka Topeng 2. Bukankah itu terdengar sedikit rumit, kawan? Tapi mereka berhasil memainkannya denga sempurna. Hanya saja ada satu kritik dari dewan juri: kok Lesabnya kurus? :D Tapi hal ini tidak mempengaruhi esensi cerita.

Begitu pula penampilan-penampilan spektakuler lain dari Balai Bahasa Jogja, NTB, Kalimantan Selatan, Banten, dan Bali, yang sepertinya tak kan cukup terurai lengkap dalam postingan ini. Semuanya berhasil menafsirkan sastra ke dalam berbagai bentuk performances yang tak biasa, ialah perpaduan seni yang apik dan fantastik. Oya, salah satu tamu undangan yang tak mau tercatat sebagai peserta dari NTT, Christian Loking, menampilkan gemulai tarian Jai dengan pakaian adat khas NTT. Ia juga mengajak seluruh Kepala Balai Bahasa yang hadir dari berbagai provinsi, untuk mengikuti gerakan tari Ikimea-nya di atas pentas. Pemandangan ini benar-benar perdana, kawan. Hal ini menjadi bukti bahwa seni dan sastra mampu menjadi alat pemersatu bangsa. Pun, menjadi jembatan pengenal kembali luasnya kebudayaan negeri yang kini terkikis modernisasi. Ya, Jambore Sastra yang berlangsung sejak 12-15 Juni itu benar-benar membuka cakrawala budaya Indonesia.

Persahabatan Dadakan

Tak pernah terkira sebelumnya, perjumpaan dengan seorang kawan yang saya kenal via dunia daring itu berbuah persahabatan dengan Komunitas Masyarakat Lumpur. Kawan itu, Muzammil namanya, ialah pembina ektrakurikuler kesenian di SMAN 1 Bangkalan, Madura, yang juga peserta Jambore dan tergabung dalam beberapa sanggar seni di Jawa Timur, termasuk Komunitas Masyarakat Lumpur. Saya kenal lewat kontak sebagai koordinator Lomba Musikalisasi Puisi FLP Jatinangor bulan lalu, ketika ia mengalami beberapa kendala terkait pengiriman karya peserta didiknya. Pertemuan yang tak disengaja sebelumnya itu, telah mengenalkan saya pada bang Helmi (seniman dan penulis naskah ‘Jiwa Asmara’),      bang Alex (nama gaul dari Anwar Sadat, tapi berganti menjadi Ashanti kala malam menghampiri. Ialah seniman yang jago melukis), bang Alan (dijuluki ‘si badut imut’. Konon, imut itu kependekan dari ‘ireng mutlak’. Julukan ini diresmikan pasca gosongnya seluruh kulit Alan karena lupa tidak dibalik saat berjemur dibawah terik mentari Bangkalan. Demikian canda kawan-kawan), dan bang Hadi (violet lover yang paling putih diantaranya yang hitam. Lajang asli Malang ini pandai bermain gitar dan biola).

width=224Aha! Nu pang geulisna (yang paling cantik-red), Dahlia Wahyuni, pemilik suara merdu yang berperan sebagai Ibu dalam teater tadi. Kini ia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti babak seleksi SPMB UNESA (Universitas Surabaya) dengan pilihan jurusan Kesenian. Dan, tentu saja, para pembina Balai Bahasa Jawa Timur: ibu Leli, ibu Wiwi, mas AF Tausikal, dan kepala Balai Bahasa Jatim, pak Amir Mahmud, yang telah sudi mengizinkan saya bergabung dengan para peserta Jambore dari Jawa Timur tadi.

Indahnya persahabatan, saya rasakan saat binar bola mata mereka berbicara bahwa keikutsertaan saya mendampingi mereka selama acara berlangsung sangat diharapkan. Terbukti dengan ajakan untuk ikut bermalam di hotel Casa D’ Ladera, Lembang. Bahkan mereka berani memberi jaminan bahwa semua akan baik-baik saja. Disinilah kehangatan kekeluargaan dan persaudaraan tumbuh alami tanpa tendensi. Tak sedikit pun tersirat hawa canggung, bahkan saya tak hentinya tertawa melihat polah tingkah seniman-seniman yang tak pernah kehabisan bahan guyonan (candaan-red). Juga tak terlihat secuil pun perbedaan kasta, bahasa, juga latar belakang kepribadian, menjadi sebuah kendala dalam menjalin persahabatan. Keramahan, agaknya benar-benar senjata pamungkas yang ampuh untuk mengefektivkan komunikasi. Meski sempat terbesit keraguan akan status ‘bukan peserta’, tapi toleransi (atau lebih tepat disebut ‘ketidaktahuan’) panitia memberi keleluasaan gerak saya untuk bersama mereka lebih lama.

Kemesraan Jambore Sastra, Mengalun Merdu di Caf        © Sierra

Melengkapi sensasi plong para peserta seusai pertunjukan seharian, mereka dihibur dengan senandung merdu penyanyi Caf        © Sierra. Sembari menikmati santap malam di bukit Dago, ditemani sepoi angin dan indahnya pemandangan Bandung di bawah temaram rembulan. Kurang dari satu jam perjalanan dari hotel Casa D’ Ladera yang berada persis di pengkolan Jl. Setia Budhi dekat UPI, Caf        © Sierra yang termasuk kategori Caf        © berkelas ini menyajikan menu yang sangat beraneka: dari soup seafood jagung hingga makanan khas Bandung (bandrek-red).

Dalam kesempatan ini pula, seluruh peserta jambore sastra bernyanyi dan bergoyang bersama. Dari tembang daerah, pop, hingga manca. Bahkan beberapa kali para kepala Balai Bahasa berduet dengan peserta, hingga kolaborasi dengan seluruh kepala Balai Bahasa dalam dendangan dangdut ria. Siapa yang tak tergiur untuk bergoyang dalam moment seperti ini, kawan? Barangkali hanya saya saja yang menjawab tidak. :)

width=300Acara yang dijadwalkan usai pada jam 10 malam itu, ditutup dengan tembang kenangan berjudul ‘Kemesraan’. Seluruh peserta Jambore maju ke depan dan membentuk lingkaran dengan bergandengan tangan. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, agaknya tepat untuk mengibaratkan secarik kisah ini. Perbedaan suku, ras, bahasa, adat istiadat, juga kebudayaan, lebur      jadi satu dalam indahnya kebersamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan yang terbentuk oleh pertemuan singkat, namun membekas hangat. Benar-benar ‘unforgattable moment’.

Kemesraan – by Iwan Fals

Suatu hari
Dikala kita duduk ditepi pantai
Dan memandang
Ombak dilautan yang kian menepi

Burung camar
Terbang bermain diderunya air
Suara alam ini
Hangatkan jiwa kita

Sementara
Sinar surya perlahan mulai tenggelam
Suara gitarmu
Mengalunkan melodi tentang cinta

Ada hati
Membara erat bersatu
Getar seluruh jiwa
Tercurah saat itu

Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Ingin kukenang selalu

Hatiku damai
Jiwaku tentram disampingmu
Hatiku damai
Jiwaku tentram bersamamu

Bersamamu

***

width=212Puas menikmati santap malam, hiburan, dan indahnya Bandung dari teropong bukit Dago, semua peserta kembali ke hotel untuk beristirahat. Meski berat kaki ini melangkah, karena melewati malam ini berarti menyelesaikan pertemuan dengan mereka. Dan esok, agenda berlanjut untuk wisata alam ke Tangkuban Perahu dan wisata Belanja ke Cihampeulas.

Bertolak dari semua kisah diatas, saya senang bisa menjadi bagian dari serangkaian kegiatan Jambore Sastra 2012, meski tidak tercatat sebagai peserta. Mendapat keluarga baru beserta pengalaman berharga itu, ialah sepenggal kisah yang pasti tak kan terlupa. Terlebih, berkesempatan untuk mendokumentasikan perjalanan mereka, meski hanya tertuang dalam blog sederhana ini, merupakan kehormatan tersendiri bagi saya.      Terima kasih dari lubuk hati terdalam, untuk Komunitas Masyarakat Lumpur, Jawa Timur.

Foto-foto selengkapnya: