Kebahagiaan Sejati: Bersama Keluarga

Dulu, saya selalu mencari sebidang lantai yang bisa dijadikan secret basecamp. Sejenak menumpang untuk sekedar membuka buku atau menulis sesuatu.

Ketika masih dirumah, batang pohon Jambu yang rindang menjadi tempat terfavorit selain teras pojok depan rumah dan bawah pohon mangga. Hampir setiap hari ketiganya menjadi saksi sebuah proses belajar panjang dari bocah berambut mie dan bertubuh keci inil.

Memasuki kerajaan kecil yang lebih populer dengan istilah ‘Pesantren’, hampir setiap tempat yang jarang dihuni manusia pada jam-jam tertentu, menjadi markas saya. Status ‘Santri’ yang disandang diri tak berarti ini, menjadi sebuah perisai yang senantiasa mengingatkan untuk mencari celah paling aman dan nyaman agar bisa bejibaku dengan buku. Ialah gedung Aliyah lantai 3 sebelum jarum panjang jam dinding menunjuk angka7. Sebuah teras dibalik tembok yang memagari gedung MMA (Madrasah Mualimin Mualimat) lantai 3 pada kisaran ba’da dzuhur sampai adzan asar datang menjelang. Juga perpustakaan yang merana lantaran tak pernah disentuh pengunjung.

Setelah menyandang gelar mahasiswi, tentu hijrah dari provinsi Jateng ke Jabar, dari Al Hikmah ke Ma’had Al Jami’ah, pun dari Aliyah ke Universitas Islam Negeri yang kini saya singgahi. Sedikit berat meninggalkan basecamp-basecamp itu, but life must go on.

Di ma’had Al Jami’ah, lebih tepat disebut pesantren modern atau asrama kampus, sempat kewalahan mencari basecamp yang aman dan nyaman untuk meladeni kebutuhan otak sekaligus memenuhi kewajiban utama sebagai mahasiswi.      Perlahan mengamati denyut kehidupan ma’had, tetap tak saya temukan sekotak lantai yang cukup diduduki tubuh ini untuk sekedar bersandar seraya mentadabburi apa yang saya dapat setiap hari. Alternatif pun mulai saya ciptakan. Mulai dari bersembunyi dibalik tiang besar lantai 2, persis depan kamar sendiri. Duduk di kantin ma’had selepas pembelajaran malam usai, tapi hanya kuat sekali dua kali lantaran angin malam menusuk belulang. Bangun dikala yang lain tidur, kisaran jam 1 sampai jam 3. Hingga beberapa kali mencuri kesempatan pergi ke kosan teteh (Sunda, kakak) jika ada tugas berat yang tak terselesaikan di basecamp-basecamp rahasia tadi.

Hmm.. Sebegitu konyolnya saya demi obsesi ‘buku senantiasa dalam genggaman’.

Lalu, masihkah hal itu berlanjut hingga detik ini?

Sahabat Garuda, sebuah dilema yang mendera saya beberapa hari terakhir-lah pendorong ke sepuluh jemari ini menari tuk mengungkapkan hal ini.

Kini saya telah menemukan [bukan] secret basecamp yang aman dan nyaman untuk melakukan semua hal sesuai keinginan, namun sebuah keanehan lagi-lagi mengganjal dalam setiap tapak kaki.

Ialah kehambaran hati. Tentu bukan ma’had lagi yang kini tercatat sebagai alamat domisili, melainkan sebuah kamar sederhana yang setia menjadi saksi pergulatan hidup saya diperantauan.

Kenapa hambar?

Sahabat, mimpi boleh digantung setinggi bintang. Boleh dilukis seindah pelangi. Terus dikejar meski sesulit mendaki gunung dan menyeberangi lautan. Tak peduli kepala jadi kaki, kaki pun jadi kepala. Abai dengan sederet tamparan angin topan dan badai sepanjang jalan. Hingga cucuran keringat perjuangan yang masam, serasa manis dan menambah nikmatnya kesuksesan yang terbayang.

Tak jarang perjalanan kita dalam mengejar impian ini harus rela meninggalkan kampung halaman, melancong ke negeri orang. Hidup dalam kobaran api semangat yang tak peduli seberat juga sejauh apa pun langkah yang ditempuh. Mencetak jejak demi jejak yang terbingkai dalam kronologi sejarah kehidupan. Demi satu tekad, satu impian, satu cita-cita, satu harapan. Ya, kegigihan itulah yang bisa menjadi magnet      untuk menarik kuat-kuat kesuksesan yang kita inginkan.

Namun, kiranya sahabat tidak lupa. Sejauh apa pun langkah kita, sebanyak apa pun jejak yang kita cetak. Seberapa tinggi pun gunung yang di daki, seluas apa pun lautan yang diseberangi. Suatu saat kita akan meneteskan air mata, menatap kosong dalam jiwa. Hambar. Garing. Serasa getir ketika kita menyadari bahwa tak ada siapa-siapa disisi kita. Bahkan segudang kesuksesan pun rasanya menjadi sia-sia bila hanya diri sendiri yang menikmatinya.

Itulah yang kan terjadi bila sahabat mengabaikan satu hal yang sejatinya mereka turut berperan dalam proses penggapaian impian kita. Ialah keluarga. Apalah artinya sebuah kesuksesan yang membahagiakan kita bila tak seorang terdekat pun bisa turut menikmati. Hampa. Entah disadari atau tidak, terkadang kita lupa bahwa keluarga ikut mendukung kemajuan kita, meski hanya lewat sebaris do           a atau bahkan diam sekali pun.

Semoga sahabat tak merasakan apa yang saya rasakan sekarang. Hasil IP terbaik berhasil saya genggam, tapi hati hambar bahkan sangat hambar lantaran tak seorang keluarga pun yang memeluk dan menepuk bahu, turut merasakan kebahagiaan buah jerih payah selama semester perdana kemarin.

Sahabat, masihkah keluarga akan ditanggalkan?

width=169

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *