The Balinese Harmony #2

Jangan dikira aku seperti petualang yang mencangklong ransel setinggi kepala. Jangan sebut aku backpacker yang tahan berjalan puluhan kilometer. Apalagi pelancong bertubuh gempal bak jagoan yang kuat menangkis musuh, sama sekali bukan. Aku juga bukan bagian dari manusia macho yang justru terlihat keren saat menikmati bahaya.

Agaknya, aku hanya memiliki sepersekian koma sekian keberanian dari hasrat penasaran. Hasrat yang terkandung dalam mimpi konyol seorang gadis ringkih penyakitan. Ada pula yang bilang nekat, bahkan gila. Keduanya tak lain menjelma dari ‘haus perjalanan’.

Kali ini, aliran haus itu sampai ke tepian pantai: Kuta, Uluwatu, Bluepoint, Pandhawa, Nusa Dua, hingga Tanjung Benoa. Semua terkisah senja bersama The Balinese Harmony on damai.malhikdua.com.

“Tubuhmu tidak akan mampu sampai Sempu. Jalan kaki 3 jam di hutan itu bukan hal ringan untuk orang sakit.”, akhirnya dia memberi penjelasan yang lebih fair. Meski kejutan itu masih menyisakan kesan ‘bodohnya aku’, tapi harus kuakui ucapannya masuk akal.

Sebenarnya tak masalah mau ganti rute kemana pun. Jangankan hanya lintas pulau, lintas provinsi; lintas negara bahkan benua sekalipun, tak apa. Asal dia bilang sejak awal. Pernah dengar ‘bahkan penjahat pun benci dibohongi’? Nah!

“Sudah, sudah. Tenang sajalah.”, huhf.. Oke. “Berapa lama kita di bus ini?”, aku bertanya untuk mengalihkan kesal.

“Dua belas jam,”, what???

Tidak lambat, juga tidak terlalu kencang. Bus terus menuju ujung kota di Jawa bagian Timur ini. Eksekutif, memang. Kursi cukup nyaman dengan bantal dan selimut tebal. Ditambah kotak snack  dan air mineral, cukup mengganjal perut penumpang yang belum sempat makan sore. Untung aku bekal rujak tolet. Paling tidak sampai bus berhenti di resto tengah malam nanti, aku tidak kelaparan.

“Dari semua armada, kupilihkan yang terbaik.”, dia nyletuk lagi. Iya, sih. Sepintas memandang di terminal tadi, bus ini memang terlihat paling kece dibanding 5 lainnya. Wisata Komodo. Tapi bukan berarti aku lantas memaafkan dia begitu saja. Bisa-bisa trip berikutnya aku  dibawa ke Everest!

Ini hari ke dua kunikmati senja di perjalanan. Kemarin, mentari menyingsing di atas Kiaracondong hingga Cibatu. Kususuri jejaknya lewat rel kereta. Sekarang langit Surabaya membentang ke timur, Bangil, tampak lebih menawan dan nyata di pelupuk mata. Sayangnya hanya sejam setelah keberangkatan.

Tak apa. Dimana pun, senja selalu punya semburat yang berbeda. Senja kemarin, hari ini, esok, lusa, dan hari-hari yang akan datang, semua beda rona, beda cerita. Memang, tak bisa kupastikan dimana titik bedanya. Mungkin pula hanya kekeliruan mata mungil ini -yang berambisi menatapnya saban hari. Setidaknya untuk cerita, sudah pasti tidak ada yang sama.

Persis cerita senjaku di kereta, di bus, dan di Bali esok hari.

Kenyang menghabiskan rujak tolet dalam remang, mataku berat untuk terangkat. Beberapa ruas jalan menuju Pasuruan macet. Obrolan pun sudah berkurang kadarnya. Di situasi ini, apa yang lebih baik ketimbang menyimpan energi dengan meninabobokan otak?

“Tidur saja dulu. Nanti kubangunkan saat kita melewati tugu 1000 kilometer.”, dia menyarankan seolah yakin akan bangun sebelum atau pas melintasi titik itu.

Ah, ya. Monumen Titik 1000 KM, pernah dengar kisahnya? Sebuah titik yang menjadi bukti kedigdayaan Deadles dalam membangun jalan Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur). Tentu angka 1000 merujuk pada jarak antara keduanya.

Konon, pembangunan monumen pada tahun 1809-1810 (ada yang menyebut tahun 1808-1809) ini melalui dua tahap. Pertama, membuka poros Batavia – Banten. Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak hingga Jasinga (Bogor).

Tahap kedua, dari Anyer melalui Pandeglang: jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi tak berarti tak ada cabang-cabang lain yang dilewati Daendels.

Menurut sejarah, pembangunan jalan Anyer hingga Panarukan digeber Deandles -Gubernur Jenderal Belanda-  sebagai jalur pos. Jalur yang mempercepat tibanya surat-surat dari Anyer ke Panarukan. Namun perkembangan zaman membuat fungsi jalan ini lebih besar: memperlancar jalur ekonomi, politik, dan pemerintahan.

Mungkin pula sejatinya hal itu sudah direncanakan Deandles. Sesuai dua tugas yang diamanatkan Louis Napoleon, Raja Belanda kala itu. Yakni mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris dan memperbaiki sistem administrasi negara di Jawa.

Hingga hari ini, pembangunan yang menurut sejarahwan memakan sekitar 15 ribu pekerja rodi pribumi, nyatanya sangat bermanfaat sebagai jalur transportasi pulau Jawa.

Sayangnya, aku terbangun persis saat bus melesat di depan monumen -sekira jam 10 malam. Sama sekali tidak sempat memotret bentuk tugu yang menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan rodi -tak dikenal.

Perjalanan baru dimulai, nantikan kelanjutannya, ya. :)

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *