Masa Kejayaan Malhikdua, Jangan Berhenti Sampai Disini

Turut berbahagia dan bangga. Jelas. Kata itu yang ingin segera saya tulis saat memulai postingan ini, sesaat setelah membaca headline berita di halaman utama web Malhikdua siang ini. Bahagia dan bangga lantaran saya masih diberi kesempatan menyaksikan kesuksesan adik-adik kelas yang, kata berita, tahun ini berhasil membuka gerbang universitas favorit baik domestik maupun manca. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, boleh lah dibilang fantastik untuk ukuran sekolah swasta yang berada di bilangan kaki gunung Slamet itu. Betapa tidak, jika tahun lalu, tahun angkatan saya, mendapat rekor ‘angkatan UIN’ lantaran hampir lebih dari 50% diterima Universitas Islam Negeri, meski ada beberapa yang berhasil tembus go abroad. Tahun ini seolah tahun keemasan Malhikdua, karena jebolannya tak hanya menyundul PTN-PTN Favorit: UI, UGM, UPI, UNAIR, UNNES, UNDIP, juga UIN, melainkan tak sedikit hitungannya yang juga dipastikan akan berangkat ke negeri tetangga: Timur Tengah dan Eropa.

Bukankah ini excelent, kawan? Kali ini Malhikdua tak hanya mendapat julukan ‘langganan Mesir’, tapi pintu Eropa pun berhasil didobrak oleh siswa yang notabenenya ‘santri [bukan] katro’. Rasanya tak berlebihan jika saya sedikit hiperbola. :)

Ya, tahun keemasan. Atau bila sejarah mengatakan untuk istilah kerajaan, ialah masa kejayaan. Sebagaimana disebut dalam headline berita itu, Malhikdua sedang naik daun. Malhikdua sedang menikmati kemenangannya lantaran sederet keberhasilan tadi.

Refleksi Diri

Entah stategi apa yang digunakan Malhikdua tahun ini, hingga berhasil mengegoalkan siswa-siswinya masuk ke dalam gerbang PTN Favorit dalam maupun luar negeri, dengan jurusan yang tak bisa dibilang ‘ecek-ecek’. Saya tak tahu menahu soal itu. Tapi satu keyakinan yang senantiasa saya genggam, keberhasilan Malhikdua tahun ini menjadi bukti semakin baiknya menejemen sekolah dan semakin berkualitasnya SDM serta segala fasilitas yang dibutuhkan didalamnya.

Sempat terbesit, dalam lubuk hati yang kerap nakal dan bengal, sanubari membisiki rasa iri yang amat sangat terhadap serangkai prestasi adik-adik kelas yang agaknya (dan seharusnya) belum berakhir sampai disini. Iri lantaran diri ini merasa semakin hina, dulu tak bisa keluar dengan predikat ‘Mumtaz’ seperti mereka. Iri lantaran kesadaran semakin menggila, bahwa apa yang saya raih tahun lalu tak membuat rekah senyum para guru semanis senyum tahun ini. Semakin iri ketika menengok bumi yang kini saya pijaki, masih tetap berada di bumi pertiwi. Bahkan semakin iri, saat kedua bola mata ini menunjukkan dengan jelas universitas mana yang kini saya sambangi.

Sungguh, iri sekali, kawan. Iri yang terbalut sesal teramat dalam. Dan menyisakan satu pertanyaan yang belum terjawab, bahkan tak seorang pun bisa menjawab. Kenapa saya tak bisa seperti mereka?

Hati ini basah. :'(

Masih lekat dalam memori, betapa perih perjuangan saya untuk bisa mendaftar PTN. Bahkan untuk sekedar registrasi ke Bank saja saya harus rela dihukum push up 60 kali lantaran terlambat masuk kelas, padahal sebelumnya sudah ijin. Hingga sempat meminta bantuan seorang kawan diluar kota untuk meregistrasikan, karena keterbatasan uang saku yang saya miliki kala itu. Tak cukup sampai disitu, saya sering mengendap-endap belajar di lantai 3 gedung asrama bersama seorang kawan (sekarang dia duduk manis di UNDIP Semarang), hingga jam 2 malam malah kadang sampai pagi. Bercahayakan lilin dan beralas sebentang sajadah yang tak panjang. Tak sekali dua kali diusir pengurus dan terpaksa kembali ke kamar. Meski lebih sering tidur dipenginapan berkat seorang abdi dalem yang baik hati, mau melindungi. Semua itu saya, dan teman saya, lakukan demi bisa melahap soal-soal SNMPTN dan SPMB dengan lancar.

Namun, apalah daya. Manusia memang hanya bisa berusaha, Allah jualah yang menentukannya. Jangankan PTN Favorit di luar negeri sana, di dalam negeri saja saya tak bisa menembusnya. Dan mau tak mau saya harus terima, hanya UIN Bandung yang mau menampung saya.

Dengan sederet lika-liku itu, menjadi pantas kiranya ketika hati ini basah membaca baris demi baris berita menggembirakan tentang prestasi Malhikdua, yang kini sedang berada di puncak keemasan. Menjadi hal yang wajar pula jika terbesit rasa iri yang amat sangat di dalam hati. Iri karena menyaksikan betapa mudahnya adik-adik kelas bisa menggenggam impian mereka. Iri, karena saya tak bisa seperti mereka. Meski sejatinya hati kecil teramat menyadari bahwa tak seharusnya saya berpikir demikian. Tak seharusnya saya menjadi sepicik manusia yang kehilangan budinya.

Saya pun sangat menyadari, Allah pasti memiliki rencana yang sangat indah, diluar sepengatahuan saya, yang menjadi mutiara hikmah dibalik semua kegagalan tahun lalu. Allah pun akan mengganti dengan beribu kenikmatan lain, jikalau saya ikhlas menerima semua ini. Terlebih, jika saya tetap bersyukur sembari tak putus asa dalam berusaha, saya yakin Allah akan menjadikan sesuatu yang ‘apa adanya’ ini menjadi ‘serba ada apanya’ di kemudian hari. Ya, semua itu bisa terjadi hanya jika saya kembali mengembangkan senyum, melapangkan dada seluas-luasnya, dan tak menghentikan langkah karena ‘life must go on’.

Harapan untuk Malhikdua

Apa yang telah digenggam Malhikdua detik ini, sejatinya tak kan berarti banyak bila tahun berikutnya tak bisa jauh lebih baik lagi dari tahun ini. Karenanya, saya tak pernah berhenti berharap , semoga Malhikdua mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas menejemennya, semakin banyak memberi output yang mampu menghadapi tantangan era global, dan yang lebih penting semakin membuka mata hati lebar-lebar akan pentingnya pemberdayaan SDM dan penyediaan fasilitas yang memadai.

Pun tak luput untuk adik-adikku yang sudah mendapat tiket masuk PTN baik dalam maupun luar negeri, saya turut menjadi saksi perjuangan kalian. Saya tunggu 5 tahun lagi, kabar dahsyat apa lagi yang akan kalian sampaikan. Dan saya akan lebih senang lagi jika kalian mau bergabung dalam program ‘Alumni Berbagi’. Bukan karena program ini digagas oleh M2Net, sekali lagi bukan. Bahkan tak ada kaitannya sama sekali. Namun lewat program itulah, salah satu bukti bakti kalian, bukti cinta kalian terhadap Malhikdua. Bukti bahwa kalian pun ingin adik-adik kelas kalian nanti bisa menyusul dimana kaki kalian berpijak, enatah setahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan 10 tahun lagi. Dengan begitu, masa kejayaan Malhikdua tak kan berhenti sampai disini.

Wallohu’alam,