#KKM210 Malam Keempat (2) – Ruang Sederhana

#KKM210 Malam Keempat (2)

Huaa.. Ngantukkk. Aku baru kelar ngajar ngaji anak-anak di masjid depan rumah. Sebenarnya ada satu pengajian lagi sekarang. Malam jumat. Pengajian ibu-ibu. Tapi aku pilih jaga rumah biar bisa nulis. Hehehe..

Ah, ya. Judulnya memang malam keempat. Tapi sebenarnya ini malam ke-7. Maaf aku baru bisa melanjutkan kisah sekarang. Terlalu pemalaskah? Iya. Kuakui. Meski begitu, aku akan berusaha semampuku agar tak ada satu pun yang kulewatkan untuk kutulis dan kudongengkan. Bukankah itu yang kau mau?

Okey. Malam keempat aku punya cerita yang lebih panjang dibanding malam-malam sebelumnya, bahkan setelahnya. Hari itu, KKM resmi dibuka oleh Kepala Desa. Acara pembukaan berlangsung hikmad dan sederhana. Di aula desa Budiasih, dari jam 10.30-11.30. Aku dipercaya menjadi MC.

Kau bisa lihat wajahku kusut? Tak lain karena tragedi malam ketiga. Persis saat aku sedang menyusun teks MC di posko, ketua kelompok pulang dari masjid dan langsung menyuruh semua anggota wanita berkemas. Jelas kau tahu apa yang kurasa, aku juga sudah cerita: semangatku rontok berkeping-keping.

Sesampainya di rumah, aku duduk seperti orang kehilangan harapan. Ngeblank. Air mata menetes perlahan tanpa isakan. Tak sepatah kata pun kuucap, hingga tak sadar ku terlelap.

Barulah subuh aku bangun dan menulis ulang rundown acara. Sekaligus merancang teks MC seperti ajaran Ricky Luven, staff pengajar DJArieSchool. Aku percaya soal suara, kelihatannya sehat-sehat saja. Tapi wajah? Haduuuh.. Jelas sekali pucat, lingkar mata menghitam, mata pun sayu. Kau tahu apa artinya itu? Menyedihkan.

Makannya lebih baik kita lajut ke Lokakarya saja, daripada membuang waktu untuk mengamati wajahku.

Itu, lho. Semacam raker, rapat kerja. Kami, anggota KKM satu desa (yang terbagi menjadi 3 kelompok) memaparkan program apa saja yang akan dilandingkan selama KKM. Tentu tidak semua angkat bicara. Diwakili oleh ketua dari masing-masing kelompok, ditambah Koordinator Desa (Kordes) dan Sekretaris Koordinator Desa (Sekordes) yang menjelaskan program desa. Jadi, ada program kelompok per dusun, dan ada program desa yang dijalankan oleh 3 kelompok sekaligus.

Menyambung tugas MC, aku juga membuka dan menutup Lokakarya. Sambil membayangkan, situasinya kurang lebih seperti debat capres di tivi-tivi. Tidak se-wow itu sih, tapi setidaknya sama menegangkannya.

Terlebih saat program pertama disanggah Kades (Kepala Desa), program kedua dimainkan oleh Kadus (Kepala Dusun). Bukan perdebatan memang, tapiĀ  cukup mengguncang. Hasil rapat bersama perwakilan dari ketiga kelompok, sampai gontok-gontokkan mengahabiskan waktu setengah hari, seakan tak ada gunanya.

Program pertama, mengangkat isu sakit jiwa yang sedang merebak di Budiasih. Kami berencana akan membuat semacam penyuluhan kepada seluruh warga. Terutama bagaimana memutus generasi sakit (jiwa) agar tumbuh generasi yang sehat. Baik fisik, mental, maupun spiritual. Terutama bagi orang tua yang memiliki anggota keluarga cacat mental. Umumnya untuk seluruh warga di desa Budiasih, agar mau merangkul mereka yang kurang beruntung (jiwanya).

Memanusiakan mereka adalah sumber kekuatan kasih sayang yang, siapa tahu, menjadi obat paling mujarab untuk kesembuhan. Bahkan jika ada nama lain dari keajaiban untuk kasus satu ini, itu adalah kasih sayang.

Sayang seribu sayang, rencana ini dijegal pak Kades. Kades merasa penyuluhan itu tidak perlu lagi dilakukan karena mereka, yang disebut-sebut sakit jiwa itu, sudah diatasi semua. Lima orang yang dianggap paling parah, sudah dibawa ke RSJ Bandung. Satu orang lagi menyusul.

Konon, yang terakhir ini sudah sekian lama dipasung. “Tapi memang hanya satu, bukan 40 orang seperti yang diberitakan televisi.”Sisanya, rawat jalan di rumah. Hampir sekitar 30-an orang. Beberapa diantaranya sudah berangsur membaik, katanya.

Sedikit kecewa memang. Sasaran program kami bukan mereka yang sudah diobati. Melainkan masyarakat desa Budiasih agar tak ada lagi generasi sakit (jiwa) nantinya. Tapi Kades bilang, “Takut menyinggung”. Ya sudahlah. Mungkin kami kecewa karena kami melibatkan rasa dalam pembuatan program. Coba kalau dinikmati, pasti kami bisa lebih enjoy..

:)

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *