malhikdua – Ruang Sederhana

Press Rilis: Malhikdua Gelar Ekspo Kampus 2014 dari 5 Negara

posterexpo2MA Al Hikmah 2 (Malhikdua) menggelar Ekspo Kampus 2014 yang akan diikuti oleh kampus favorit dari Mesir, Yaman, Turki, Maroko, dan Indonesia. Acara yang akan berlangsung di GOR Al Hikmah 2, komplek PP. Al Hikmah 2 Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah ini dijadwalkan tanggal 1 Maret 2014. Bertajuk “Mengenal Lebih Dini Dunia Perguruan Tinggi”, Malhikdua mengundang seluruh siswa SMA kelas akhir terutama yang bersekolah di wilayah Brebes.

Bekerjasama dengan seluruh alumni Al Hikmah baik dalam maupun luar negeri, acara ini akan mempresentasikan Universitas Al Azhar (Mesir), Universitas Al Ahgaff (Yaman), Universitas Ibn Tofail (Maroko), Universitas Istanbul (Turki), dan lebih dari 25 kampus se-Indonesia. Continue reading “Press Rilis: Malhikdua Gelar Ekspo Kampus 2014 dari 5 Negara”

20 Jam di Cirata, Antara Limpahan Rejeki dan Sakit yg Menanti

Istilah Ngaliwet di kalangan masyarakat Sunda, agaknya sudah biasa. Tapi bagaimana jika Ngaliwet ini dipadukan dengan bakar ikan air tawar yang dipancing atau dijaring sendiri dari laut? Terlebih dinikmati bersama keluarga, saat siluet mentari memberi tanda senja hendak tiba. Moment ini kian asyik karena ditemani panorama hamparan laut yang menyudut Purwakarta, Cianjur, dan Bandung Barat. Tempat ini cocok untuk Anda yang memang hobi berekreasi, atau sekedar melepas penat saat melintas dalam perjalanan jauh.

    —-

Ialah laut pembudidayaan ikan air tawar: Cirata. Perairan yang cantik dan menjadi sumber mata pencaharian warga sekitar ini dapat Anda temui di Cipeundeuy, Bandung Barat. Perjalanan memakan waktu lebih dari 3 jam dari pusat kota Bandung, dengan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Namun Anda perlu berhati-hati selepas Tol, karena banyak jalan berbatu kerikil yang cukup ngeri untuk dilalui.

width=300Menyusuri Cirata dengan perahu motor, Anda akan disuguhi keramba-keramba ikan Mas, Nila, dan Gurame, yang kini jumlahnya melebihi 50.000 petak jaring apung. Dengan rumah-rumah panggung diatas keramba, sebagai tempat tinggal para petani ikan. Eits, jangan salah, kawan. Meski status mereka petani ikan, tapi tak hanya satu dua yang dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi profesor, memiliki lebih dari 3 rumah, bahkan dapat membeli kendaraan pribadi sekelas Menteri. #bahasabombastis

Betapa tidak, rata-rata masing-masing petani dapat memanen 5 ton ikan dengan harga 15 ribu/kg setiap 3 bulan, hingga dalam satu tahun mereka dapat mengantongi 300 juta. Tentu saja penghasilan ini belum dipotong biaya pembenihan, pakan ikan, dan pengelolaannya. Tak heran jika warga Cipeundeuy dan sekitarnya dapat dikatakan berkecukupan.

—-

Namun dibalik kesuksesannya, diam-diam Cirata mengidap sakit yang kian menghimpit usianya. Endapan pakan ikan tak termakan yang mencapai tiga meter, jumlah keramba yang melebihi batas normal, dan sumbangan sedimentasi dari sungai Citarum, Cisokan, Cikundul, Cibaladung, serta Cimeta, menjadi faktor utama langgengnya penyakit Cirata. Kondisi ini diperparah dengan dibuangnya perkakas tak terpakai dari jaring apung, seperti styrofoam, drum, dan bambu ke dalam perairan. Lantaran menyebabkan volume sedimen Cirata hingga 2007 mencapai 146 juta meter kubik, dengan rata-rata laju sedimen 3,9 milimeter/tahun.

Kepala PT Pembangkit Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (PJB BPWC) Suhata E. Putra menuturkan, parahnya kondisi ini membuat Cirata harus kehilangan dua puluh tahun masa hidupnya.

Selain penyakit ganas nan membahayakan, Cirata juga menderita karena kualitas air semakin menurun. Dekat sungai Cimeta yang menyumbang sedimentasi besar pada Cirata, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sebagai pusat sampah dari segala penjuru Bandung Raya. Maka lindi dari TPA inilah yang menjadi sumber pencemar air paling besar di Cirata. Sementara hasil penelitian, di muara sungai Cimeta terkandung 2,4 juta sel bakteri merugikan E-Coli per seratus milimeter yang mengalir ke Cirata. Padahal normalnya, dalam seratus milimeter terdapat dua ratus sel.

Dengan banyaknya polutan air, tentu ikan yang dihasilkan tak lagi sepenuhnya sehat karena mengandung logam berat. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita mengatur pola makan ikan dari Cirata ini, terutama untuk Anda yang tinggal di Bandung dan Jakarta sebagai daerah distribusi.

Sejauh ini kita hanya bisa berharap pemerintah akan terus melakukan langkah strategis untuk menyelamatkan Cirata. Setelah langkah preventiv dengan menanam 230.000 tanaman keras di sepanjang sabuk hijau Cirata sejak tahun 2000 terwujud, semoga pembangunan 22 danau untuk menahan laju sedimentasi segera terwujud. Kerjasama para petani ikan untuk tidak membuang perkakas tak terpakai dari jaring apung ke dalam perairan, juga sangat diharapkan agar sedimen tak semakin menggunung. Jika tidak, bukan hanya Cirata yang mati, tapi mata pencaharian warga Cipendeuy, Plered, dan sekitarnya juga terancam punah.

—-

width=300Terlepas dari nasib Cirata, saya ingin berterima kasih pada peserta Teaching Program (TP) dari Madrasah Aliyah      Al Hikmah 2 (Malhikdua) beserta Ust. Fauzan sebagai pembina, yang telah mengundang saya untuk berjunjung ke Cipeundeuy, 25 Juni lalu. Berkat kunjungan itu, saya dapat menyapa Majelis Pengasuh PP. Al Hikmah 2, yakni Abah Sholahudin Masruri dan Abah Muhklas Hasyim yang juga sedang berkunjung. Terima kasih juga saya sampaikan untuk Ananda Atep dan keluarga yang telah menjamu saya dengan ikan-ikan segarnya, plus bonus menginap semalam bersama para peserta. Sungguh berkesan.

Meski hanya 20 jam saya singgah disana, tapi moment itu tetap abadi dalam memori. Apa Anda tertarik juga untuk berkunjung, kawan?

***

//

Masa Kejayaan Malhikdua, Jangan Berhenti Sampai Disini

Turut berbahagia dan bangga. Jelas. Kata itu yang ingin segera saya tulis saat memulai postingan ini, sesaat setelah membaca headline berita di halaman utama web Malhikdua siang ini. Bahagia dan bangga lantaran saya masih diberi kesempatan menyaksikan kesuksesan adik-adik kelas yang, kata berita, tahun ini berhasil membuka gerbang universitas favorit baik domestik maupun manca. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, boleh lah dibilang fantastik untuk ukuran sekolah swasta yang berada di bilangan kaki gunung Slamet itu. Betapa tidak, jika tahun lalu, tahun angkatan saya, mendapat rekor ‘angkatan UIN’ lantaran hampir lebih dari 50% diterima Universitas Islam Negeri, meski ada beberapa yang berhasil tembus go abroad. Tahun ini seolah tahun keemasan Malhikdua, karena jebolannya tak hanya menyundul PTN-PTN Favorit: UI, UGM, UPI, UNAIR, UNNES, UNDIP, juga UIN, melainkan tak sedikit hitungannya yang juga dipastikan akan berangkat ke negeri tetangga: Timur Tengah dan Eropa.

Bukankah ini excelent, kawan? Kali ini Malhikdua tak hanya mendapat julukan ‘langganan Mesir’, tapi pintu Eropa pun berhasil didobrak oleh siswa yang notabenenya ‘santri [bukan] katro’. Rasanya tak berlebihan jika saya sedikit hiperbola. :)

Ya, tahun keemasan. Atau bila sejarah mengatakan untuk istilah kerajaan, ialah masa kejayaan. Sebagaimana disebut dalam headline berita itu, Malhikdua sedang naik daun. Malhikdua sedang menikmati kemenangannya lantaran sederet keberhasilan tadi.

Refleksi Diri

Entah stategi apa yang digunakan Malhikdua tahun ini, hingga berhasil mengegoalkan siswa-siswinya masuk ke dalam gerbang PTN Favorit dalam maupun luar negeri, dengan jurusan yang tak bisa dibilang ‘ecek-ecek’. Saya tak tahu menahu soal itu. Tapi satu keyakinan yang senantiasa saya genggam, keberhasilan Malhikdua tahun ini menjadi bukti semakin baiknya menejemen sekolah dan semakin berkualitasnya SDM serta segala fasilitas yang dibutuhkan didalamnya.

Sempat terbesit, dalam lubuk hati yang kerap nakal dan bengal, sanubari membisiki rasa iri yang amat sangat terhadap serangkai prestasi adik-adik kelas yang agaknya (dan seharusnya) belum berakhir sampai disini. Iri lantaran diri ini merasa semakin hina, dulu tak bisa keluar dengan predikat ‘Mumtaz’ seperti mereka. Iri lantaran kesadaran semakin menggila, bahwa apa yang saya raih tahun lalu tak membuat rekah senyum para guru semanis senyum tahun ini. Semakin iri ketika menengok bumi yang kini saya pijaki, masih tetap berada di bumi pertiwi. Bahkan semakin iri, saat kedua bola mata ini menunjukkan dengan jelas universitas mana yang kini saya sambangi.

Sungguh, iri sekali, kawan. Iri yang terbalut sesal teramat dalam. Dan menyisakan satu pertanyaan yang belum terjawab, bahkan tak seorang pun bisa menjawab. Kenapa saya tak bisa seperti mereka?

Hati ini basah. :'(

Masih lekat dalam memori, betapa perih perjuangan saya untuk bisa mendaftar PTN. Bahkan untuk sekedar registrasi ke Bank saja saya harus rela dihukum push up 60 kali lantaran terlambat masuk kelas, padahal sebelumnya sudah ijin. Hingga sempat meminta bantuan seorang kawan diluar kota untuk meregistrasikan, karena keterbatasan uang saku yang saya miliki kala itu. Tak cukup sampai disitu, saya sering mengendap-endap belajar di lantai 3 gedung asrama bersama seorang kawan (sekarang dia duduk manis di UNDIP Semarang), hingga jam 2 malam malah kadang sampai pagi. Bercahayakan lilin dan beralas sebentang sajadah yang tak panjang. Tak sekali dua kali diusir pengurus dan terpaksa kembali ke kamar. Meski lebih sering tidur dipenginapan berkat seorang abdi dalem yang baik hati, mau melindungi. Semua itu saya, dan teman saya, lakukan demi bisa melahap soal-soal SNMPTN dan SPMB dengan lancar.

Namun, apalah daya. Manusia memang hanya bisa berusaha, Allah jualah yang menentukannya. Jangankan PTN Favorit di luar negeri sana, di dalam negeri saja saya tak bisa menembusnya. Dan mau tak mau saya harus terima, hanya UIN Bandung yang mau menampung saya.

Dengan sederet lika-liku itu, menjadi pantas kiranya ketika hati ini basah membaca baris demi baris berita menggembirakan tentang prestasi Malhikdua, yang kini sedang berada di puncak keemasan. Menjadi hal yang wajar pula jika terbesit rasa iri yang amat sangat di dalam hati. Iri karena menyaksikan betapa mudahnya adik-adik kelas bisa menggenggam impian mereka. Iri, karena saya tak bisa seperti mereka. Meski sejatinya hati kecil teramat menyadari bahwa tak seharusnya saya berpikir demikian. Tak seharusnya saya menjadi sepicik manusia yang kehilangan budinya.

Saya pun sangat menyadari, Allah pasti memiliki rencana yang sangat indah, diluar sepengatahuan saya, yang menjadi mutiara hikmah dibalik semua kegagalan tahun lalu. Allah pun akan mengganti dengan beribu kenikmatan lain, jikalau saya ikhlas menerima semua ini. Terlebih, jika saya tetap bersyukur sembari tak putus asa dalam berusaha, saya yakin Allah akan menjadikan sesuatu yang ‘apa adanya’ ini menjadi ‘serba ada apanya’ di kemudian hari. Ya, semua itu bisa terjadi hanya jika saya kembali mengembangkan senyum, melapangkan dada seluas-luasnya, dan tak menghentikan langkah karena ‘life must go on’.

Harapan untuk Malhikdua

Apa yang telah digenggam Malhikdua detik ini, sejatinya tak kan berarti banyak bila tahun berikutnya tak bisa jauh lebih baik lagi dari tahun ini. Karenanya, saya tak pernah berhenti berharap , semoga Malhikdua mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas menejemennya, semakin banyak memberi output yang mampu menghadapi tantangan era global, dan yang lebih penting semakin membuka mata hati lebar-lebar akan pentingnya pemberdayaan SDM dan penyediaan fasilitas yang memadai.

Pun tak luput untuk adik-adikku yang sudah mendapat tiket masuk PTN baik dalam maupun luar negeri, saya turut menjadi saksi perjuangan kalian. Saya tunggu 5 tahun lagi, kabar dahsyat apa lagi yang akan kalian sampaikan. Dan saya akan lebih senang lagi jika kalian mau bergabung dalam program ‘Alumni Berbagi’. Bukan karena program ini digagas oleh M2Net, sekali lagi bukan. Bahkan tak ada kaitannya sama sekali. Namun lewat program itulah, salah satu bukti bakti kalian, bukti cinta kalian terhadap Malhikdua. Bukti bahwa kalian pun ingin adik-adik kelas kalian nanti bisa menyusul dimana kaki kalian berpijak, enatah setahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan 10 tahun lagi. Dengan begitu, masa kejayaan Malhikdua tak kan berhenti sampai disini.

Wallohu’alam,

M2Net, Sungguh Beruntung (Refleksi 3 Tahun Blog Malhikdua)

Siapa bisa mengira nasib seseorang. Tidak selamanya apa yang kita lihat dari kasat mata itu benar. Tidak selamanya orang besar lahir dari bangsawan, keturunan priyayi, atau pun darah biru seperti banyak disebut orang. Tidak selamnya keberhasilan berpihak pada mereka yang berkuasa. Juga tidak selamanya kegagalan, keterpurukan, dan kehancuran, menjadi nasib wong cilik yang tidak berdaya. Continue reading “M2Net, Sungguh Beruntung (Refleksi 3 Tahun Blog Malhikdua)”

Santri vs Pengurus

Krek..krek! Cuizzz!!!

Zzzzzttt! Zzztttt!

Zig zag wat gat sa!

Tweeeeng..ng..ng..

Lho.. kok banyak bintang mengitari kepala saya? (yer..yer..yer..). Doh! Penig aku!! Tweengngggggggggg.

Begitulah aksi centil huruf-huruf mungil yang berkecamuk “Bukan pada perang Yarmuk- di kepala saya. (Sebenarnya ini terjadi beberapa minggu lalu, tapi terselip, tertindih, merintih, ih…ih.*asal pake ih* di bawah otak kiri, jadi baru bisa posting sekarang). Bagaimana tidak? Selama lima hari saya dipusingkan dengan kata-kata berdiksi, berintonasi, juga berisi. Pastinya unik, nyentrik, menarik and menggelitik. Bahkan sempat mendapat kucuran BLE (Bntuan Lewat E-mail) dari Mas Nov, *hayo..siapa yang belum kenal?* dan 5 masukan dari kawan-kawan. Tapi. .. semua tereliminasi, angkat koper, langsung pergi tanpa basa-basi.

What for? (perasaan dari tadi muter-muter nggak nyampe ke inti. Ya udah, nggak usah pake perasaan, pake hati aja! *Lho*

Opz! Ceriatanya rada panjang lho, kalau nggak kuat mending nggak usah diterusin, tapi kalau penasaran, yuk ..lanjut..!

Sempat hampir putus asa (baru hampir kan?). Apalagi waktu itu otak kanan juga dipusingkan dengan sederet perhitungan angka yang nolnya ampe dua belasan tapi tak pernah terwujud nyata (ya iya lah, kan cuma soal akuntan). Belum lagi presentasi Sejarah yang sudah pasti bakal malu besar kalau adonan tidak matang (emangnya donat). Ada yang lebih tragis lagi lho…yaitu mengobrak-abrik kamus untuk menemukan 300 kosa kata sesuai dengan tipe pembentukannya. Bak, buk, buk, bek!!

Bukannya apa-apa, satu hal yang saya takutkan “Mengecewakan guru dan teman- yang bisa memperburuk citra kelas saya dan anak IPS pada umumnya- *du..h dalem bener..! awas kepleset, kecemplung, byurrrr! Yah… basah!

(nah, sekarang dah mulai keterka belum?)

Masalah apa yang dari tadi berkutat tanpa Ciputat- dijidat ampe bikin geli pantat. Nah! Itu dia masalahnya. Saya sedang mencari masalah yang pantas untuk diteliti, dianalisis, dan dilaporkan, selanjutnya didiskusikan untuk menemukan solusinya. Tapi, yang jadi masalah disini adalah anak kelas saya (baca: peserta diskusi). Dalam kaca mata DGM (Dewan Guru Malhikdua), kelas saya termasuk kategori pendiam dan kurang respon terhadap sesuatu (mungkin sinyal kurang kuat atua jaringan bermasalah? Entahlah..)

So that, masalah utama yang saya hadapi sebelum menghadapi maslah yang akan menjadi bahan diskusi- adalah bagaimana caranya agar diskusi ini menarik perhatian peserta dan membuat mereka bersuara dalam sesi tanya jawab nanti?

Hasil penelitian sementara fokus pada 5 akhiran. Apa itu?”

– Remaja dan Problematikanya

– Pemuda dan Bangsa

– Kedisiplinan Siswa Malhikdua

– Kenakalan Santri Al Hikmah 2

– Peran Pondok bagi Masyarakat Sekitar Benda

Sayang sekali, semua tema gugur dibabak penyeleksian pertama. Masalah selanjutnya, orang yang mendampingi saya dalam diskusi nanti ternyata pergi tanpa permisi. Bahkan sampai hari  H belum juga kembali. Padahal dia berkedudukan sebagai moderator, sementara saya narasumbernya. Yang jadi pertanyaan sekarang, “Siapa yang bisa menggantikan dia?”

Kedua masalah tersebut belum terpecahkan sampai 7 jam sebelum diskusi dimulai. Yupz! Karena sekitar jam 8 pagi (di hari H) saya baru menemukan solusi. Sedangkan diskusi akan dilaksanakan pada jam 2 siang (maklum kelas XI masuk sekolah siang).

Disela-sela jam ngaji Abah, sambil menunggu kedatangan beliau, saya membuat teman-teman galau dengan meminta pendpat mereka. Saya (D) dkk (maaf, tidak tersebut nama aslinya, takut pemiliknya tidak berkenan) berdiskusi sejenak.

D : Mbak, gimana dong? Saya masih nge-blank bahan diskusi ni? Ada ide nggak

L : Lho! kok bisa? Lha..sih, moderatornya mana?

U : Kayaknya pulang deh. Dia kan lagi sakit.

I : Ke rumah?

D : Masa ke kandang? AADJ deh!

U : Apaan tuh?

D : Ada2 Aja! Eh, U, tahu kisah pembunuhan tragis di Sirampog nggak?

U : Kisah yang mana?

D : Yang itu, masalah…

U : O.. ya, aku inget

D : Apa coba?

U : Nggak tahu, apaan sih?

L : Hmmm… ketik C spasi D!

Yang lain : Cape deh!

L : Btw, any busway, aku tahu! Gimana kalau kita ngambil masalah santri?

R : Kenakalan santri?

U : Pelanggaran santri?

L : Orang belum selesai ngomong dah main srobot aja! Coba berpikir lebih dalam! Kaitkan dengan pengurus biar ada pro dan kontra!

D : Maksudnya? Yang lebih menggelitik gitu?

L : Yupz!

U : Tapi, dikelas kita kan ada pengurus, bagaimana kalau tersungging (tulisannya bener ngga?)?

D : Justru itu kesempatan bagus buat kita!

U : Maksud loe?

D : Lihat saja nanti! Ok, sekarang akau tahu apa yang harus aku lakukan.

L : Sanggup nggak? Tinggal hitungan jam lho..

D : Tenang, aku nggak sendirian, kan ada kalian. He…

Nah, jadilah saya putuskan tema diskusi kelas XI IPS 2 yang akan dilaksanakan pada (maaf, lupa tanggalnya), materi pelajaran bahasa Indonesia jam 4-5 adalah (jeng..jeng..jeng! Dung..dung prakk!2x! Zzzztttttt),

Kurang harmonisnya hubungan santri dengan pengurusdengan judul

“Santri vs Pengurus”

Dan, bagaiman kelanjutan kisah diskusi yang akhirnya dinobatkan sebagai diskusi kelas terbaik dan berhasil menguras air mata pengurus yang kebetulan duduk satu bangku dengan saya?

Penasaran? Ingin tahu kelanjutan ceritanya? Ok, jangan kemna-mana, ya!

Belajar dari Tragedi 1 Januari

Setahun yang lalu, tepatnya 1 Januari 2009. Launching T-GER.net berakhir mengenaskan. Masih terekam jelas di memori saya, bagaimana gencarnya persiapan agenda yang tak kan terlupa. Mulai dari pembuatan dekor, pementasan drama, pembuatan film dokumenter, sampai dihadiri pemilik blog Mantan Kyai yang merupakan suatu kehormatan bagi kami ( baca: T-GER.net ) .

Namun, sayang seribu sayang                                                                       Continue reading “Belajar dari Tragedi 1 Januari”

Yuk Nulis, Yuk…..!!!!!!

imagesHari ini, pojok kelas lantai 3 Malhikdua _dimana tertempel tulisan bergaya, terbaca 2 SOS 7_, tepatnya pukul                                                   11.12 WIB menjadi saksi bisu diresmikannya sebuah Forum Kepenulisan                                                   ( Sastra ) yang menyandang nama Bengkel Tinta . Sebuah nama yang berfilosofi sebagai wadah cercahan inspirasi dan luapan kreatifitas ini merupakan salah satu program OSIS _khususnya kabinet FOSMA ( Forum Sastra Malhikdua )_ yang baru saja dilantik pada upacara Hari Sumpah Pemuda bersamaan dengan dilantiknya SAKURA ( Satuan Khusus Paskibra ) beberapa minggu lalu. Continue reading “Yuk Nulis, Yuk…..!!!!!!”