Jam 8 pagi, jalanan sudah disetrika oleh ratusan bahkan ribuan kendaraan menuju gedung-gedung bertingkat; sekolah, segala perkantoran, pabrik, hotel, mall, restoran, dan gudang uang (bank). Andai saja ia bisa bicara, bukan, yang benar andai saja manusia mengerti bahasa jalan, mungkin takkan tahan dengan segala umpatan.
“Kulitku baru dua hari luluran sudah kasar begini, pipiku robek di tengah, badanku menggigil kebanjiran, make up-ku luntur kena tabrakan, cat kuku cantikku belum kering pun sudah diludahi, dikencingi, ditimpuki sampah sana sini.”
Untungnya manusia tidak mengerti bahasa jalan. Yang ia tahu hanyalah semacet apa pun, banjir setinggi apa pun, rusak separah apa pun, jalan tetap tak mengeluh untuk dilindas setiap saat. Demi mengais lembaran merah-biru untuk cacing perut yang menari tiap pagi, siang, dan malam hari.
Jam 8 pagi, manusia di terminal sibuk menawarkan semua jenis kendaraan; ojeg, becak, angkot, bajaj, bis ecek-ecek, bis mini, bis eksekutif, dan taxi; semua saling berebut dengan jaminan pelayanan terbaik (yang sudah digadaikan). Continue reading “Jam 8 Pagi”