Celoteh Angin

Bertahan dalam kesendirian itu tidak mudah, bisiknya lirih. Tapi justru kelirihan itu yang membuatku kaget. Selalu kaget saat perlahan kehadirannya mengibaskan wajah letihku. Sudah ribuan kali kuminta mengabari sebelum menghampiri, bahkan mungkin ratusan ribu kali. Sayangnya sebanyak itu pula dia acuh dan seolah tak mau tahu. Kalau sudah begitu, aku tinggal mengelus dada dan tarik napas. Mengusik kekagetan yang kini mulai hafal juga suaranya.

Bahkan lebih pantas jika kubilang, dia berhenti sejenak. Memandangi sekeliling. Bola matanya berhenti ketika memerhati para tukang bangunan yang sedang sibuk dengan adukan semen, menumpuk bata, memotong besi, mengecat, juga menjalankan beberapa alat berat. Alat yang aku tak tahu namanya, tapi kurasa agak mirip permainan Tornado di Dunia Fantasi. Warnanya sama-sama kuning, bisa naik bisa turun. Hanya saja Tornado digunakan untuk having fun, sedang alat itu justru penuh risiko karena mengangkut adonan semen dan pasir dari bawah ke lantai 3, 4, 5, hingga akhir lantai gedung yang sedang dibangun. Di atas sekotak adonan itu ada seorang tukang yang bertugas mengendalikan alat, tanpa pengaman yang menjamin keselamatan.

Menyakitkan. Ya, kesendirian itu menyakitkan., suaranya kembali mengagetkanku.

Aku tak tahu apa maksud ucapannya itu. Barangkali dia sedang ingin mengajakku bergurau. Atau hanya sekedar menumpahkan umpatan-umpatan yang tak pernah didengar siapa pun. Itu hal biasa. Datang tanpa diundang, pergi pun tak diantar. Seperti Jaelangkung? Tidak. Dia bukan makhluk seperti itu. Meski aku belum pernah melihatnya, tapi kupastikan dia berbeda dengan Jaelangkung dan sejenisnya.

Kenapa Kau diam? untuk kesekian ribu kali, dia kembali membuatku kaget. Aku yang masih asik menatap senja sore ini, sontak berkedip, membenarkan posisi duduk, dan siap berinteraksi dengannya -makhluk yang tak terlihat-.

Eh, eu.. aku gugup. Tatapan Elang-nya cerdas sekali mematahkan seribu ucap yang sudah di ujung bibir.

Tidak apa-apa. Ekhm.. aku sedikit berdehem untuk mengusir nervous.

Aku hanya sedang konsentrasi menyimak kata-katamu tadi. Meski sejujurnya aku tak paham apa maksudmu. aku berdalih. Tapi memang benar aku tak paham.

Ah, Kau tak usah berkelakar. Aku tahu apa yang kuucapkan itu benar. Ya, terutama untukmu. itu kebiasaan kedua yang kubenci darinya. Selalu memaksakan sesuatu menjadi benar dimatanya dan dimataku. Tanpa penjelasan.

Sekarang Kau tak bisa lagi liar bercinta. Jangankan bercinta, melihat wanita saja menjadi hal paling menyakitkan bagimu. aku terdiam. Membiarkan dia berceloteh sesuka hati.

Duh, malang sekali nasibmu ini. Ah, tidak. Aku tak perlu memberi iba untuk lelaki sepertimu. Toh, nasib ini sudah Kau kehendaki. Bahkan Kau rencanakan. lama-lama telingaku memerah. Umpatannya berubah ejekan sinis yang harus kuhentikan. Tapi SIAL. Batang hidungnya saja tak dapat kulihat.

Tak perlu Kau sesali begitu. Nimati saja dunia kelammu. Wuizzzhhh ia menghilang tanpa kuminta. Bahkan tanpa kata-kata.

Seiring kepergian makhluk menyebalkan itu, hujan perlahan mengguyur pelataran gedung asrama kampus. Juga gedung baru yang masih dipoles para tukang bangunan. Seketika tukang-tukang itu tergesa berteduh, mengamankan beberapa alat yang tak kukenali semua. Sementara kantin ini, masih sibuk melayani mahasiswa dengan segenap pesanannya. Termasuk aku yang sedari tadi menanti es cappucino dan semangkuk bakso.

Kupandangi awan yang tergusur mendung. Kelabu merata menikam birunya langit. Sesekali petir menggelegar. Sayang, tak kutemui lagi dimana sosok menyebalkan tadi bersembunyi. HUH!!! Dasar, Angin!, aku mendesis.

—-

Lamunan Angin, 25/3.

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *