Diam – Ruang Sederhana

Diam

œSusah memang menjelaskan ini. Atau memang susah mengobrol denganku? nadanya naik. DO. Wajahnya memerah. Geram. Barangkali dia marah. Ah.. Ini bukan pertanda lagi. Tapi memang IYA. Dia marah.

œKamu tahu, sampai jam 10 malam ini aku baru bisa duduk. Sedikit tenang. Meski sampai besok pagi tak mungkin bisa tidur. Padahal sudah 3 hari di jalan, dan belum tidur sama sekali. makin naik. Kali ini tak hanya wajah, mata pun memerah. Guratan peluhnya terlihat jelas. Sesekali engahan napasnya terdengar. Begitu juga gerakan tangannya, ekspresif sekali. Sementara aku masih diam. Lebih tepatnya membisu.

œTidak bisakah kamu berhenti merengek? Tidak bisakah kamu berhenti manja? Tidak bisakah kamu membiarkanku leluasa bekerja? Tidak bisakah kamu sabar sebentaaar saja, agar aku bisa fokus menyelesaikan satu per satu persoalanku? Tidak bisakah kalimatnya terputus. Diam sejenak. Hening. Hanya ada aku dan dia di tengah malam begini. Bintang pun tak berani muncul. Mungkin takut kena semprot juga. Apalagi bulan, sejak sore hanya seperempat.

œEuugh!!!! Shit!œ, spontan. Kaki kirinya menendang meja. Sejatinya aku kaget. Sangat kaget. Tapi kusembunyikan. Bahkan untuk mengelus dada saja urung. Padahal dia tahu kalau aku punya penyakit jantung.

Tidak biasanya dia begitu. Sebelum malam ini, aku selalu menjadi saksi tiap kesabaran dan ketegarannya. Boleh dikata, dia memang orang paling sabar. Setidaknya begitu kaca mataku menilai. Tapi malam ini, dengan semua amukan dia, aku masih belum paham. Belum mengerti. Mengapa dia begini.

œDulu aku sempat berfikir. Kehadiranmu itu menyejukkan. Menenangkan. Menjadi tempat sandaran. Bahkan aku selalu berandai punya kesempatan untuk segera memilikimu. Agar segala kebaikanmu tidak jatuh ke tangan orang lain.

Aku juga bisa membaca, betapa Kau bisa mengerti aku lebih dari siapa pun. Betapa Kau bisa kuandalkan. Kau bisa menjadi yang kumau. Kau bisa membuat hariku berwarna, dan hidupku serasa bernyawa.

Tapi sekarang Sekarang.. satu bulir air matanya mulai jatuh. Air mata yang, pernah kulihat. Kurang lebih dua tahun lalu. Ketika dia, untuk pertama kalinya, bicara soal cinta dan kehidupan.

Aku masih terdiam. Lebih tepatnya membisu. Karena sejatinya aku tak tahu apa yang dia mau. Andai pun aku bicara, pasti hanya akan membuat lukanya kian merekah. Air matanya kian jatuh. Pun kakinya kian gemetar.

Aku bisa saja berteriak, AKU MUAK! Menjadi wanitanya, memanglah tidak mudah. Butuh kesabaran tak berbatas. Butuh energi yang tiada habisnya. Butuh kedewasaan yang tak kenal usia. Dan memang, konsekuensi dari pilihan. Pilihan untuk berani mengambil risiko. Risiko yang sebenarnya aku pun tak tahu: sampai kapan aku mampu?

Setidaknya aku selalu mencoba. Dan akan terus berusaha. Untuk membuatnya bahagia. Seperti ikrarku: hanya ingin membuatnya bahagia. Hanya ingin memberi apa yang tidak ia dapat dari hidupnya. Apa yang belum terbayar atas kebaikannya. Apa yang belum terbalas atas perjuangannya. Meski kutahu itu mustahil. Meski kutahu, aku bukan malaikat.

Satu lagi. Menjadi wanitanya, sama artinya dia harus bersikap selayaknya lekakiku. Sama artinya aku berhak meminta dia bertindak sebagaimana lelakiku. Sama artinya dia harus menjadi lelakiku.

Yang perhatian. Peduli. Menyayangi. Mengayomi. Melindungi. Membina. Memastikan aku aman di jalan. Mencium keningku untuk menenangkan. Pun memenuhi segala yang kubutuh, meski sekadar bumbu dapur.

Ah.. Aku tak meminta muluk. Toh semua itu bukanlah yang utama. Aku hanya butuh satu. Satu yang membuatku luluh saat naik pitam. Satu yang membuatku tersenyum saat murka. Satu yang membuatku tak berfikir untuk macam-macam. Ialah kelembutan.

Tapi aku tetap akan diam. Membisu. Sampai aku tahu, apa yang membuatnya menjadi sebrutal itu.

œSekarang, aku kehilangan semua itu. Semua yang Kau berikan dahulu. suaranya melemas. Agaknya dia lelah berteriak. Perlahan menunduk. Dan menjatuhkan badan ke lantai.

Aku masih diam. Dan tak tahu harus berbuat apa.

 

Ada yang hilang

Seserpih mata yang terang

Juga asa, yang tak lagi bersarang

 

Ada yang hilang

Sesudut mimpi yang terpajang

Juga rindu, yang tak sekuat karang

 

Ada yang hilang

Napasmu,

Denyutmu,

Detakmu,

 

Ada yang hilang

Candamu,

Senyummu,

Hawamu,

 

Dan, cintamu..

Adakah tak hilang?

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *