Ruang Kosong – Ruang Sederhana

Ruang Kosong

Bahkan lemahnya badan yang terkulai di pembaringan pun, justru menyadarkanku untuk menikmati kebahagiaan. Kesempatan ini sejatinya bukan pertama, malah aku sendiri tak mampu menghitung sudah berapa ratus kali penyakit ini tumbuh, mati, lalu tumbuh lagi.

Tapi menikmati bahagia yang tak sedikit pun ada pada sakitnya tarikan napas, baru kurasakan kali ini. Ya, ini bukan virus yang mematikan. Justru sebaliknya. Ini virus yang membahagiakan. Dan awas, virus ini bisa menular!

ruang kosongSempat kuberpikir, menghabiskan masa liburan sebulan full hanya untuk menemani ibu di rumah, adalah pilihan terbodoh yang pernah kuputuskan. Bukan berarti aku tak mau pulang, bukan juga karena aku tak senang bertemu ibu. Sungguh bukan itu.

Bahkan sejujurnya aku bahagia bisa pulang. Ini kesempatan langka. Tahun-tahun sebelumnya, aku hanya bisa pulang tiap lebaran saja. Setahun sekali. Kalau pun libur semester, paling lama seminggu atau lebih beberapa hari di rumah. Itulah kenapa moment pulang begitu berharga untukku.

Sayangnya kondisi rumah yang berbalik 180 derajat dari keseharianku, membuat tidak betah. Tak ada teman bermain, karena semua teman sebayaku merantau ke kota. Tak ada internet, artinya aku harus off dari semua linimasa, termasuk blog. Tak ada channel TV yang bening, meski antena sudah dipasang bermeter-meter di atas atap, tetap saja ‘banyak semutnya’.

Tak ada aktvitas yang menyenangkan, sepanjang 24 jam hanya berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Juga tak ada karya yang bisa kuhasilkan, kecuali memasak dan memotong rumput di halaman.

Karenanya begitu liburan usai, kusambut perjalanan kembali ke Bandung dengan suka cita. Berakhir sudah semua kebosanan dan kengangguranku. Berakhir sudah semua ruang hampa yang mengurungku. Berakhir pula penjara yang cepat atau lambat bisa membunuh karya-karyaku. Liburan yang penuh kemuraman itu, akan berakhir saat aku membuka pintu kos nanti.

Maka ketika pintu sudah terbuka, betapa semangatku membara dan kobarnya lebih besar. Tak peduli pantat pegal setelah 5 jam duduk di kereta, disambung 1,5 jam di angkot tua. Tak juga terasa lapar meski sarapan sebelum berangkat urung tertelan. Aku langsung menyerbu sapu dan lap pel, membersihkan seisi kamar yang tak hanya berdebu, tapi juga kumal.

Kucuci lagi semua perkakas yang sebelum aku pulang sebulan lalu pun, sudah kucuci dan tersimpan rapi. Termasuk lemari dan tumpukan buku yang sama lapuknya dengan gorden tua. Semua kembali ‘cling’!

Kusibak wallschedule, kuhapus jadwal sebulan lalu dan kuganti dengan deretan agenda baru. Bersiap melanjutkan studi yang kutargetkan rampung setahun lagi. Bersiap merajut karya dengan otak yang sudah sebulan tak di-gas. Bersiap menatap mentari yang terbitnya sesuka hati: kadang jam 5 pagi sudah tersenyum, kadang juga jam 5 sore baru menyapa.

Bersiap meliuk di tengah kemacetan kota dengan segala hiruk pikuknya. Bersiap menantang perjalanan yang selalu dan selamanya: tetap misterius.

Ya. Bayangku menerawang jauh.

Tapi belum berjeda hari, bahkan belum berjeda jam. Jemariku gemetar dan getarnya menjalar ke sekujur tubuh. Tenggelamnya mentari sore itu seakan membiarkan dinginnya malam mencengkeram kamarku. Dingin itu, tanpa hitungan menit sudah merasuk sukma dan membelit tulang kaki hingga tengkorak. Melumpuhkan seluruh tenaga dan memaksaku meringkuk. Mirip orang sakau, hanya saja aku masih sadar 100%.

Kupakai jaket tebal, kuambil kaos kaki, kutarik selimut. Semua kupakai. Tapi semakin kututupi seluruh badan ini, semakin kuat dingin itu memelukku. Anehnya seluruh bagian kepala, leher, perut, dan kaki justru panas sekali. Persis seperti suhu kompor portableku di sisi lemari.

Sayangnya galon air kosong, kotak obat pun mlompong. Aku baru berencana membelinya nanti ba’da maghrib. Dan saat tangan kurus ini berusaha menggapai kasur untuk alas, tubuh ini sudah tak sanggup berdiri.

Fix. Aku sakit.

Seketika itu juga, ibu yang mendengar suaraku parau di balik telepon, langsung meluncur dari Jawa ke kosanku. Padahal sudah kubilang aku baik-baik saja. Tapi naluri seorang ibu jauh lebih tajam dari ketidakjujuranku. Barangkali apa yag kurasakan pun sudah diketahuinya lebih dulu, tanpa aku menjelaskan. Tak peduli seberapa besar tanggung jawab yang harus ia tinggal di rumah, yang kutahu saat itu hanya satu: ibu sangat mencemaskanku.

Bersama ayah yang kebetulan mau berangkat ke Jakarta, ibu langsung memelukku setibanya di kosan. Sekira tengah malam. Tanpa kenal lelah setelah perjalanan jauh, bahkan belum ganti baju dan cuci kaki, ibu langsung mengupaskan jambu merah dan menyuapiku anggur. Dipijitnya tubuh ringkih ini, sambil terus menceritakan kisah heroiknya dari segala serangan penyakit.

“Setiap penyakit pasti ada obatnya, tinggal kamunya mau sembuh atau tidak. Ibumu ini sisa penyakit, tapi masih bisa sehat sampai sekarang. Jaga diri baik-baik, jangan over mikir. Ingat, hidup itu berawal dari sehat. Jadi sekali saja kamu sakit, kamu bisa kehilangan hidupmu.”, kira-kira begitu pesan ibu.

Dan, manjur sekali sentuhan kasih sayang seorang ibu, juga ayah. Tak kurang dari 4 jam aku tidur bersama mereka, semua penyakit serasa hilang. Tubuhku kembali lincah, meski kepala masih berat sebelah. Sungguh, tanpa obat. Air dingin yang semula amat kejam pun, bisa kembali membasuh tubuhku. Aku bisa berjalan ringan, bisa bercanda, tertawa, dan mampu melahap semangkuk lontong kari. Subhanallah.

Melihat semua perjuangan orang tua ini membuatku berpikir. Salahkah penyesalanku atas hilangnya kesenangan libuaran selama sebulan lalu? Ya, jawabannya jelas iya. Teman mana yang kusebut tidak ada di rumah, jika ibu yang setiap hari di rumah sendirian itu bisa menjadi lebih bahkan sangat lebih dari sekadar teman? Ibu bisa jadi sahabat, bibi, nenek, bahkan tetangga. Ibu bisa menjelma jadi juru masak, tukang cuci, buruh kebun, bahkan tukang sampah.

Ibu juga bisa menjadi wanita perkasa yang tak pernah kenal lelah mengurus sawah-sawahnya. Pagi-siang-sore, bergantian ia menyusuri jalan setapak yang licin, berkelok, dan bisa jadi penuh makhluk yang siap mengganggu kapan saja, hanya untuk sampai ke sawahnya di tiga lokasi berbeda.

Ibu juga bisa menjadi sebenar-benar ibu yang berhati lembut, menyelimutiku setiap kutertidur, membuatkan kopi susu hangat kala kutebangun. Sungguh, itu sangat lebih dari sekadar teman.

Aku pun sering dibuat geram jika sedang butuh berselancar di dumay tapi tak ada koneksi internet. Tapi hari ini aku bisa menyadari: bukankah terputusnya koneksi internet berarti aku bisa menikmati senyata-nyata kehidupan?

Berkomunikasi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di bumi ini secara langsung, menikmati canda tawa dengan orang-orang kampung, menyapa setiap tetangga lama yang berjumpa di pasar tradisional, juga mengulum senyum malu saat tak sengaja berpapasan dengan pria yang pernah masuk list ‘cinta monyet’.

Kurasa itu semua setara dengan perjalanan yang selama ini kulalui. Perjalanan yang bukan melulu soal jarak, tapi juga tentang sikapku untuk terbuka dengan semua hal di sekitar. Agar aku bisa menikmati setiap langkah, mewarnai setiap langkah, dan memaknai setiap langkah. Hingga nyawa hidup ini bukan sekadar menarik satu napas lalu menghembuskan, begitu seterusnya. Melainkan rasa syukur yang harusnya juga berdesah dalam tiap tarikan napas.

Pantas saja Agustinus berkata, “Perjalanan itu bukan hanya soal geografi dan konstelasi, perpindahan fisik, lokasi dan lokasi. Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti berhenti di situ.

Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik Nol dan titik akhir itu ternyata titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada adalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh  melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.”

Ibarat perjalanan, rumahku adalah ruang kosong. Ruang kosong itu bukan berarti hampa tanpa apa-apa. Ruang kosong itu justru ada isinya: kelapangan. Rumahku luas, ada barang-barang tapi tetap tampak lega untuk guling-guling di lantai, atau bahkan main bola di dalam rumah. Begitu juga kamarku yang hanya ada satu tempat tidur dan satu rak buku. Barangkali benar kata Filsuf China, “kenikmatan hidup itu, bagaikan ruang kosong dalam kamar”.

Di ruang kosong itulah, aku bisa menarik napas lebih dalam dan menghembuskan lebih panjang. Di ruang kosong itu pula aku bisa mengais berjuta makna dari setiap lembar buku yang tak pernah sempat terbaca kala di kosan. Di ruang kosong itu pula, aku belajar tentang cinta sejati dari seorang ibu, tentang perjuangan hidup dari seorang ayah, tentang makna hidup dari kawanan ayam ternak yang selama ini tak pernah berjumpa dengan ibu mereka.

Di ruang kosong itu pula, aku menikmati lezatnya sayur bening, pecel, dan sayur daun singkong buatan ibu. Aku merasakan hangatnya pelukan ibu tiap malam. Aku mendengar doa ibu tiap selesai solat. Aku tahu kucuran keringat ibu yang selalu disembunyikan. Aku pun mengerti bagaimana ibu memutar sisa uang receh di dompet, menjadi berlembar-lembar merah yang selalu ada setiap kubutuh.

Aku bahkan berolah raga setiap hari. Olah raga itu, hal yang paling tidak pernah kulakukan selama ini. Tapi di ruang kosong itu aku justru mencuci minimal dua ember saban hari, mengepel minimal setengah jam, mencuci piring minimal satu baskom, dan menyapu halaman berpuluh-puluh meter. Tanganku gerak, kakiku gerak, semua badanku gerak. Terlebih setelah pekerjaan itu selesai, aku boleh bahkan harus memasak apa pun yang aku mau.

Sekarang aku mengerti. Keindahan perjalanan akan tak sekadar tampak, tapi juga meresap dalam rasa, kala aku melambatkan langkah. Barangkali itulah kenapa para backpacker sejati lebih senang menetap berbulan-bulan di sebuah desa daripada mengunjungi lima negara dalam sehari. Dan, keindahan itu ternyata ada di rumahku  sendiri, di desaku yang sejak 2008 lalu sudah kutinggalkan.

Aku pun merasakan sesuatu yang selama ini kucari, mungkin pula semua orang mencari: bahagia. Bahagia itu ada ketika aku memberi makan ayam ternak yang kehilangan ibunya sejak lahir. Bahagia itu ada ketika aku menyusuri jalan setapak yang licin dan banyak duri, sembari basah kuyup berkejaran dengan hujan dan petir. Bahagia itu ketika aku ikut membubuhi sebutir kacang pada lubang sudah dipanja, berpuluh-puluh meter panjangnya.

Bahagia itu ketika aku mendapat sekarung jeruk nipis hanya dengan sepuluh ribu perak. Bahagia itu ketika aku berburu nyamuk sebelum tidur, atau menghabiskan malam dengan menonton film sendirian. Bahagia itu ketika orang-orang desa kaget dengan tinggi badan dan putihnya kulitku, pikir mereka aku sungguh beda dengan enam tahun lalu. Bahagia itu, ketika memetik mawar merah di halaman rumah, lalu merangkainya di dalam gelas kaca berisi air.

Ternyata bahagia itu sederhana. Sesederhana rumahku yang kian kosong. Hanya ada ibu, ayam-ayam ternak, tivi yang menua, ilalang yang kian tinggi, dan dinding yang lapuk termakan usia. Tapi di ruang kosong itulah, aku menemukan penggalan makna kitab tanpa aksara, kitab yang lembar kosongnya harus kutulis dan kupenuhi sendiri. Ruang kosong, yang mungkin pula berarti kitab kosong.

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *