Ikhlas, Ruh Setiap Amal

Kajian tentang ikhlas sering sekali kita dengar dari mimbar-mimbar. Baik khutbah, ceramah, pengajian, atau pidato keagamaan. Juga kerap kita temui dalam buku agama, situs dakwah, majalah, hingga menghiasi desain kaos, souvenir, dan stiker.

Dari kajian yang sering saya dengar itu, ikhlas seringkali disematkan setelah mengalami sesuatu yang dianggap ‘amat berat’. Seolah ikhlas hanya akan muncul untuk perkara yang ‘istimewa’. Ikhlas pun menjadi kian kentara saat mereka lantang mengucapkannya. Meski akhirnya justru terkesan ‘dipaksa untuk ikhlas’ agar semua orang menganggap mereka ‘benar-benar ikhlas’.

Misal si A bilang ikhlas setelah ditipu ratusan juta dollar. Si B yakin ikhlas setelah keluarganya meninggal tanpa sisa dalam kecelakaan. Si C baru berusaha ikhlas setelah menjadi anak tiri. Si D curhat ikhlas setelah kekasihnya diam-diam dijodohkan dengan orang lain. Si E berjanji mau ikhlas setelah ditolak oleh 10 perguruan tinggi. Si F menangis ikhlas setelah dicerai suami dan menanggung hutang segunung.

Begitu pun si G, berkoar ikhlas saat memberi donasi ratusan juta untuk masjid. Si H menyumbar ikhlas saat membangun panti asuhan sembari meminta doa restu atas pileg bulan lalu. Si J yang notabenenya owner perusahaan besar, mengaku ikhlas mengadakan pengobatan gratis untuk penderita kanker asal semua media memuat beritanya. Hingga si Z, berjanji menyulap desa jadi kota dengan ikhlas, setelah berkelakar “nanti kalau saya jadi presiden”.

Maka ‘setelah mengalami’, ‘sesuatu yang berat’, dan ‘diucapkan’, itu seakan menjadi kunci yang mencirikan adanya ikhlas. Padahal, “Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menulis-nya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya.” demikian Al-Junaid berkata.

Kisah yang pernah saya temui ini agaknya bisa menjadi contoh bagaimana sejatinya hakikat ikhlas. Intan (bukan nama sebenarnya), gadis kecil yang belum genap 12 tahun itu kerap direndahkan sebagai anak jalanan. Kesehariannya memang menyusuri sepanjang jalan pusat kota Bandung dengan gitar kecilnya. Bis dan angkot menjadi teman paling setia -yang mengantar kemana pun Intan berjalan, tanpa harus membayar.

Subuh berangkat, pulang petang. Berbekal satu tas lusuh kecil diselempang, ia terus melangkah tanpa pernah berkeluh kesah. Baju kumal tak masalah, perut lapar pun bukan soal. Sedikit berbeda dari anak jalanan kebanyakan, kemana pun Intan mengamen wajib hukumnya berkerudung.

Kesadaran berkerudung, Intan lakoni sejak pertama mengkaji ilmu agama -ini juga jarang terjadi pada anak jalanan. Biasanya 3x dalam seminggu, sekira ba’da asar, ia sengaja mendatangi rumah salah seorang mahasiswa yang mau mengajarinya mengaji. Bagi Intan, hilang kesempatan belajar di sekolah karena tak punya uang, tak masalah. Asal ilmu agama tidak ia tinggalkan, apalagi bisa dipelajari tanpa membayar sepeser pun.

Sekilas memandang, Intan tampak tidak terlalu beda dengan anak jalanan lain seusianya. Namun siapa sangka, dibalik ke-biasa-an Intan tersembunyi kebaikan hati yang luar biasa: kebaikan yang tak pernah dibeberkan pada siapa pun. Ialah merawat neneknya yang lumpuh total, sejak 5 tahun silam. Di sebuah rumah di pinggiran kota, Intan memang hanya tinggal berdua dengan neneknya. Orang tua Intan? Jangan pernah coba tanya dimana keberadaannya.

Saking baiknya hati Intan, ia rela menyerahkan apa pun yang ia punya demi kesembuhan nenek; meski nenek tahu kesembuhan itu sudah sangat terlambat untuk diharapkan. Receh yang ia dapatkan dari hasil mengamen, semua ditabung untuk membeli obat dan merawat nenek. Soal makan, Intan selalu membeli sayur mentah dan masak sendiri agar lebih hemat. Soal jajan, Intan tak pernah melakukannya.

Tak peduli seberapa lama dia akan terus dihina dan dikucilkan lantaran menjadi anak jalanan. Tak peduli bagaimana Intan mewujudkan Impian di masa depan dengan tanpa sekolah. Tak peduli beratnya beban hidup di kedua pundaknya. Intan hanya dan selalu bilang, “Aku cuma nglakuin apa yang bisa aku lakuin.”

Intan bahkan tidak tahu apa yang dilakukan itu ikhlas atau tidak. Ia pun belum pernah belajar materi tentang apa dan bagaimana ikhlas. Tapi sikap yang ia tunjukkan dalam mempertahankan kehidupannya dan kehidupan neneknya itu -yang tak pernah mengeluh, tak pernah dipamerkan pada siapa pun, juga tak pernah diucapkan betapa ia tulus melakukannya; adalah bukti ikhlas yang telah terpatri dalam hatinya. Barangkali, justru itulah sebenar-benar ikhlas yang hanya dinilai oleh Allah.

Hakikat Ikhlas

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam buku Madarijus Salikin Pendakian Menuju Allah menjelaskan, secara harfiah ‘Ikhlas’ berarti ‘Melepaskan’. Dalam bahasa Inggris disebut ” letting go”. Dalam Islam “Ikhlas” mempunyai makna yang lebih dalam yakni, melepaskan jiwa dan raga serta fikiran kita untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu dan menerima sesuatu karena Allah semata.

Dengan demikian, seorang hamba yang ikhlas adalah hamba yang melaksanakan perintah-NYA serta meninggalkan (menjauhi) larangan-NYA, dan menerima segala sesuatu dalam bentuk cobaan baik itu kenikmatan atau kesengsaraan karena Allah SWT.

Sebagaimana dikatakan Imam Al Ghazali, ”Setiap manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal (dengan ilmunya), dan orang yang beramal juga binasa kecuali yang ikhlas (dalam amalnya). Akan tetapi, orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal.” Pernyataan tersebut dipertegas oleh sabda Rasul yang diriwayatkan Ibnu Majah, “Allah tidak menerima amalan melainkan amalan yang ikhlas dan karena untuk mencari keridhaan Allah”.

Berdasar penjelasan para ulama tersebut, kiranya tidaklah salah jika saya menyebut hakikat ikhlas bukan di mata (yang bisa dilihat), bukan di bibir (yang bisa diucap), bukan setelah mengalami (baru mau ikhlas), dan bukan hanya untuk peristiwa yang ‘luar biasa’. Melainkan, hanya mata hati dan Allah-lah yang mengetahui keberadaan ikhlas. Pun seharusnya ikhlas ada ‘sebelum’ melakukan ‘segala amal’.

Sekecil apa pun amal itu -membantu ibu memotong rumput di halaman, memberi receh pada pengamen, membantu orang yang kecelakaan di jalan, mengajari adik dalam mengerjakan PR; hingga melakukan tanggung jawab besar -seperti mencari nafkah, memimpin rakyat, berjuang di medan perang, dll; bila dilakukan bukan karena Allah (lillahi ta’ala), niscaya bukan ikhlas namanya.

Orang yang tidak ikhlas hanya akan dipusingkan oleh penilaian manusia. Ia diperbudak keinginan dipuji, dihormati, dibalas budi oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang ikhlas hanya yakin pada penilaian Allah -yang menggenggam setiap rezeki, kedudukan, kemuliaan, bahkan nikmat dunia akhirat. Toh, penilaian manusia pasti binasa, sebagaimana dunia yang fana.

 

Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS

Sumber Foto : http://henrygunawan.wordpress.com

Leave a Reply

One Reply to “Ikhlas, Ruh Setiap Amal”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *