Australia, Impian Usia 23

Kutulis ini bersama hujan. Yang teramat lebat. Petir menggelegar dan saling bersahutan. Terasku basah, bahkan agak banjir. Beruntung tak ada jemuran hari ini, jadi tak perlu bergegas menaiki tangga seksi ke lantai 3. Jalanan lengang. Senyap. Sesenyap deretan kost di samping kamarku. Semua mengunci pintu juga jendela. Tak berani menatap apalagi menikmati hebatnya anugrah langit, yang memberkahi bumi ini.

Lain mereka, lain diriku. Gemericik bulir langit yang tak terputus -ditemani cappucino hangat dan alunan merdu instrumen Kenny G.- justru sangat mengasyikkan. Setidaknya untuk merangsang fokus otak dalam menulis, hujan ini juaranya. Lebih dari itu, konon hujan itu menjadi salah satu moment paling makbul untuk berdoa.

Maka, lewat tulisan bersama hujan ini, kusematkan sebuah doa. Sebuah harapan. Sebuah mimpi. Juga sebuah pesan untuk sahabat penaku yang sedang berbahagia. Bahagia menjemput hari jadinya yang ke-23. Ialah Ayu Citraningtias.

š

Persis dua bulan lalu usiaku genap kepala dua. Kata orang, lepas dari angka belasan berarti rontoklah sudah masa remaja. Lahir pada moment yang serba 3 -tanggal 13, bulan 3, tahun 93- membuatku dijuluki si kepala 3. Makannya ketika menemukan angka 23 pada blog Ayu, syaraf otakku langsung teringat sesuatu.

Australia. Itu dia!

Pada usia 23 nanti, aku bermimpi sudah bisa menginjakkan kaki di Australia. Sejujurnya jika ditanya œmengapa aku tak punya alasan kecuali: mimpi masa kecil.

Yup. Semasa kecil, aku termasuk anak yang hobi bermimpi. Terlebih jika melihat, membaca, mendengar, atau mencium aroma sesuatu. Itu semua mudah sekali merangsang imajinasi terbang.

Misal, kala menonton berita televisi, aku akan berujar œIbu, aku pengen jadi pembaca berita kayak itu, bu. Ibuku hanya menyungging senyum, dan berkata œIya, boleh. Makannya belajar yang rajin, ya. Biar impian kamu tercapai.

Atau saat berhasil membuat puisi pertama -waktu itu masih kelas 1 SD-, aku kembali berceloteh, œBu, aku ingin bisa membuat buku puisi. Yang kumaksud itu buku kumpulan puisi karya sendiri.

Puisi pertamaku berjudul œAndai. Intinya mirip sebuah lagu anak-anak yang juga berjudul sama, tapi lupa siapa penyanyinya. Di atas buku gambar seukuran A4, aku menuliskan mimpi-mimpi yang ingin kugapai. Mimpi-mimpi itulah yang kunamai pengandaian. Sayangnya buku itu sudah raib.

Nah, disaat membaca serial The Pinky Moment, cerita besutan Helvy Tiana Rosa, aku menemukan Australia. Kalau tidak salah ingat, begitu judul dan nama penulisnya. Kisaran 8 tahun lalu, buku itu ada diantaranya deretan rak perpustakaan SMP. Tak sengaja membaca, sebenarnya. Pun tak tahu jalan cerita akan membicarakan Australia.

Satu hal yang membuatku terkesan, tokoh utama cerita itu berjuang menegakkan Islam di Australia. Sederhana konteksnya. Hanya selingkup teman kampus, teman apartemen, teman kerja, dan kolega yang juga berasal dari Indonesia. Tapi kalimat tauhid yang ia teguhkan dan syariat Islam yang ia laksanakan disana, mengalahkan apa yang sudah kulakuan disini. Di Indonesia. Yang konon umat muslimnya terbanyak di Asia.

Hal yang lebih membuatku salut, ia adalah seorang muslimah. Sampai akhirnya berhasil membangun peradaban baru dilingkungannya, peradaban islam. Subhanallah.

Bagiku yang dulu baru 12 tahun, tentu terkesima. Maka tanpa berpikir seribu kali, aku kembali berkata pada ibu, œBu, aku ingin bisa sekolah di Australia. Lagi-lagi ibu tersenyum, mengelus kepalaku, dan menjawab œAsal kamu mau belajar, ke China pun boleh, sayang.

Merekahlah senyumku. Sejak itu aku selalu antusias mendengar berita terkait Australia. Apalagi jika ada acara traveling ke sana, dijamin mantengin TV sampai acara selesai. Keindahan Australia di layar kaca, selalu berhasil membuatku terkesima.

Impian bisa terbang ke Australia diperkuat oleh satu mimpi lagi. Ini benar-benar mimpi, saat tidur. Setting mimpi itu ada di sebuah sawah. Aku dan teman-teman sedang asyik memainkan layang-layang. Tiba-tiba layang-layangku mengangkat kuat-kuat tubuh mungilku. Perlahan tapi pasti, aku berpegangan pada tali layang-layang dan terbang. Seperti menaiki balon udara. Layang-layang itu terus mengangkasa ke arah selatan.

Tak lama setelah aku terkagum di dalam mimpi, tiba-tiba terbangun. Tentu saja langsung membangunkan ibu dan bercerita. Masih dengan senyum yang manis meski bangun tidur, ibu berkata œSebelah selatan Indonesia itu Australia, sayang. Semoga suatu saat nanti kamu benar-benar bisa terbang kesana.

Tapi satu hal yang membuatku bertanya-tanya. Mimpi itu hanya sekedar bunga tidur, terangsang oleh obsesi ingin ke Australia, atau memang sebuah pertanda dari Allah?

Wallohualam.

Terlepas dari semua rasa penasaran itu, mimpi ke Australi masih tersemat hingga sekarang. Kutempatkan di palung hati terdalam. Bahkan tercatat di Sticky Notes yang terpajang jelas di dekstop œGo To Autralia in 23th.

Lalu kenapa harus 23? Kenapa tidak sejak SMP, SMA, atau kuliah S1 saja pergi kesana? Jawabannya simple: karena Allah belum berkehendak. Buktinya sampai sekarang aku duduk di semester 4 jenjang S1, aku masih berada di Indonesia. Meski serangkaian upaya untuk bisa kesana sudah kucoba.

Semoga apa yang tertulis ini bukan sekadar cerita. Bukan sekadar asa. Melainkan juga doa. Dan semoga pada salah satu hari di usia 23-ku nanti, aku benar-benar sudah menginjakkan kaki ke Australi. Negeri Kangguru, negeri yang telah mencuri sekeping hatiku.

š-

Dear, Ayu Citraningtias

Hallo, teh Ayu. Perkenalkan, aku Damai. Sejatinya aku baru mengenal nama itu setelah booming Give Away yang teteh rilis. Maka selamat datang di œrumah sederhana ini, semoga kerasan dan anggaplah œrumah sendiri.

Teteh?

Yap. Selain karena aku berbudaya Sunda, paras cantikmu memang lebih cocok menjadi cermin keturunan Sunda. Makannya kusapa œteh sapaan akrab masyarakat Sunda. Konon, paras orang Sunda memang cantik-cantik. ^_^

Berbicara soal usia, teh Ayu 3 tahun lebih tua dariku. Lebih cocok menjadi sosok kakak. Bagiku, sosok kakak selalu membuatku penasaran dan iri. Maklum, aku anak pertama.

Tapi lebih iri lagi kalau aku menjelajahi blogmu, teh. Simple tapi berisi. Sempurna. Sesempurna pemiliknya, Insya Allah. Blog itu berbicara secara gamblang, betapa teh Ayu memang sudah pantas disebut sebagai orang atau œwong dalam bahasa Jawa.

Jangan salah. Wong yang dimaksud itu bukan berarti sejak kecil teh Ayu bukan manusia. Dalam konteks orang Jawa, Wong itu menjadi semacam ungkapan kesuksesan. Ungkapan yang mengilustrasikan seseorang telah berhasil mencapai cita-cita. Berhasil menjadi orang sukses.

Setidaknya begitu yang kutangkap. Teh Ayu sudah selesai kuliah, bekerja di perusahaan bonafit, memiliki bisnis sampingan dan menguasai dunia virtual. Apalagi yang belum? Kurasa itu lebih dari cukup untuk menyebut Teh Ayu œwis dadi wong (sudah jadi orang; red).

Lantas apa yang belum dinikmati teh Ayu pada usia 23? Pernikahan. Itu yang terpikir di benakku.

Sekali lagi harap maklum. Meski kelahiran Bandung, tapi darahku menganut aliran Jawa. Ibu bapakku asli Jawa. Maka konteks berpikirku seringkali dipengaruhi latar belakang itu.

Kata ibu waktu aku remaja, lagi-lagi kata ibu, usia 23 itu paling pas untuk menikah bagi seorang wanita. Masa itu kedewasaan sudah terbentuk, pertumbuhan maksimal, dan biasanya sudah mapan secara finansial (dengan kata lain sudah bekerja). Meski bagiku itu masih terlalu muda, tapi kurasa untuk teh Ayu itu benar adanya.

Terlebih, jika ternyata teh Ayu sudah punya calon pendamping (karena jujur aku tidak tahu). Menyegerakan wanita menikah jika sudah tiba masanya, dan sudah punya calon, itu salah satu perintah Rasul. Maka, apalagi yang ditunggu?

Aku tidak bisa bicara banyak soal ini. Selain keterbatasan ilmu dan pengalaman, aku juga belum pernah merasakan usia 23. Jadi, kurasa cukup satu saja harapanku untuk teh Ayu.

Sekali lagi, menikahlah. ^_^ Gagasan ini murni tanpa paksaan dari pihak mana pun, termasuk orang tua atau pun calonnya teh Ayu. #Nahlho

Ditunggu undangannya ya, teh. Semoga berkah.


23

 Tulisan ini diikutsertakan dalam 23 Tahun Giveaway

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *