Balada Kemenangan Malhikdua, Haruskah Terlarung?

Menjadi bagian dari Malhikdua, seperti pernah tertuang dalam celoteh silam, memang bukan rencana strategis untuk meraih prestasi. Namun, benar memang rencana Allah itu lebih indah dari rencana manusia. Lebih indahnya lagi, keindahan rencana itu justru jelas terlihat ketika manusia terkapar setelah menjalani proses panjang.

Dan, itulah yang saya alami, sob.

Tak pernah terbesit di benak saya untuk menjadi santri berprestasi. Apalagi siswa berprestasi di sekolah yang berada di bawah naungan pesantren. Besitan ini tumbuh dari kekecewaan sekolah SD saya yang notabenenya Islam, yang memang sangat kurang mengapresiasi siswa-siswi berprestasinya. Meski begitu, saya hapal betul raut wajah kepala sekolah yang agak disembunyikan saat membanggakan nama saya, kala memecah rekor: peraih hasil UN tertinggi sepanjang sejarah berdirinya sekolah.

Kisah klasik yang menjadi tonggak kekhawatiran saya itu, justru berbalik 180 derajat ketika saya mengenal Malhikdua.

Memang, saya akui, apresiasi sekolah dan pesantren tak jauh beda dengan sekolah SD dulu itu. Tapi, disinilah keindahan rencana Allah berbicara. Allah memberi jalan lain yang tak pernah terpikir oleh saya. Jalan yang teramat terjal, penuh duri, bahkan sangat berbahaya. Tapi itulah keunikannya. Itulah keindahannya. Itulah kenikmatannya, sob.

Proses demi proses menuju prestasi itu sangat berarti untuk saya. Bahkan tiap momentnya tak ada yang terlupa. Saya seperti terbimbing untuk terus dan terus berjalan, walau aral tak kunjung selesai jua. Dan itulah fase yang membalikkan ketidakpercayaan saya menjadi yakin: bahwa keajaiban itu benar ada, bahwa ketidakbisaan manusia hanyalah omong kosong selama mau berusaha dan berdoa.

Maka, ijinkan saya mengurai kemenangan Malhikdua yang pernah saya saksikan, yang pernah saya buktikan, dan yang akan selamanya saya banggakan, sob.

2008

Malhikdua Juara Harapan Lomba Website SLTA tingkat Nasional versi Gunadarma Jakarta. Ini kemenangan pertama yang membuat hati saya berdecak kagum. Bagaimana bisa sekolah macam Malhikdua menjuarai kompetisi Web? Mungkinkah siswanya bisa membuat website sendiri? Serta sederet pertanyaan lain langsung tumpang tindih di otak, sesaat setelah saya melihat piagam kemenangan itu di lab komputer sekolah.

Dan, kekaguman inilah yang mengantarkan saya mengenal M2NET.

2010

Malhikdua Juara 2 Lomba SLTA versi UNIKOM AMIKOM Yogyakarta dan Juara 1 Opersource tingkat Nasional versi Gunadarma Jakarta. Inilah keajaiban pertama yang membuat saya hampir pinsan. Dari juara harapan di tahun 2008, pejuang-pejuang M2NET berhasil menggiring ke Juara 2 dan Juara 1 dalam kurun waktu 2 tahun. [berita 1] [berita 2]

Dua Siswi Malhikdua Menjadi Blogger Terbaik & Penulis Terbaik Al Hikmah 2 versi BISA2010. Kemenangan ini menjadi titik balik semua keraguan saya untuk berprestasi. Sungguh, sehebat apa pun prestasi itu, kemenangan ini lebih dahsyat dan lebih membahana, karena saya tak pernah berpikir untuk menjadi penulis apalagi blogger. [berita]

Siswi Malhikdua Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Se-Jateng & DIY versi Suara Merdeka. Dan, sekali lagi, ketidakbisaan manusia hanyalah omong kosong selama mau berusaha dan berdoa. [berita]

2011

Malhikdua Luncurkan 15 Buku Karya Santri. Inilah bukti bahwa saya bisa menulis. Benar-benar seperti mimpi.

2012

Siswa Malhikdua Juara 2 Lomba Penulisan Artikel Nasional versi ICI. Kini giliran anak-anak saya, adik kelas saya, yang meneruskan prestasi-prestasi itu setelah saya tak lagi di Malhikdua. Ini dahsyat!

Malhikdua Gelar Pelatihan Menulis Te-We Bersama Damae Wardani. Ya Allah, rencana-Mu benar-benar lebih indah dari rencana manusia. Inilah moment yang penuh peluh. Moment yang hanya bisa tercapai dengan tertatih. [berita]

2013

Malhikdua Juara 3 Lomba Website SLTA Se-Jateng & DIY versi UIN Malang. Meski hanya mensupport jarak jauh, saya tetap bangga pada Malhikdua dan pejuang tangguh M2NET.

Malhikdua Juara 1 Kompetisi Pers Siswa Se-Jateng & DIY versi IAIN Walisongo. Ini dia puncak kepuasan kemenangan yang Allah berikan. Semua berakhir indah, teramat indah. Dan, keindahan ini hanya tercapai dengan jalan yang sangat tidak mudah.

———

Sobat, semua kemenangan Malhikdua ini tidak akan tergenggam jika saja pejuang-pejuangnya gugur di tengah jalan. Selanjutnya, akankah kemenangan ini hanya menjadi sejarah yang tak berlanjut? Anda, pejuang Malhikdua lah, yang bisa menjawabnya.

Maka, jika Malhikdua.com harus menghembuskan napas terakhir pada November nanti, semua karya yang telah tercipta sejak 2008 lalu, menjadi abu yang terlarung ke laut oleh ketidakpedulian keluarga Malhikdua sendiri.

Haruskah itu terjadi, sob?

***

Ada Apa dengan Jurnalistik? #2

Semakin saya memperhatikan jurusan Jurnalistik di kampus, rasanya semakin banyak tanda tanya yang bertebaran. Untuk Anda yang baru bergabung, silahkan klik disini untuk #1.

Semua sekuel tanda tanya itu, memang hanya satu ujung pangkalnya: Ada Apa dengan Jurnalistik?

Begini, kawan. Tiba-tiba saya teringat perihal pembagian beasiswa DIPA untuk mahasiswa Jurnalistik. Kasak kusuk yang beredar, semester kemarin manajemennya sangat mengecewakan. Bukan saya yang berbicara, lho. Melainkan data dan fakta.

“Saya heran, masa teman sekelas yang dapet beasiswa DIPA Cuma dua. Si ketos (baca: ketua kelas) dan si X (nama disamarkan). Itu pun dapetnya dari Dekan satu, satunya lagi gara-gara saudaranya orang kantor jurusan.”, celoteh seorang teman yang tak mau disebut namanya.

Awal mendengar, saya masih bersikap wajar. Tapi setelah berkunjung ke ruang jurusan dan menanyakan langsung pada petugas, barulah saya terbengong-bengong. Percaya tidak percaya. Menyakitkan, sob!

“Aduh, Damae… kemana aja? Kenapa baru hari ini menanyakan info beasiswa? Geus beak eyeuna mah. Aturan mah ti kamari. (Sekarang sudah habis. Harusnya dari kemarin. Sunda, red) .Temen-temen udah pada dapet, kamu mah baru nongol.”, ucap petugas begitu melihat wajah saya di depan ruangannya.

Padahal, jujur, saya belum bicara sepatah kata pun padanya.

“Hampura weh nya. Da kumaha deui atuh. (Maaf saja, mau bagaimana lagi. Sunda, red).”, sambungnya sembari berlalu. Meninggalkan tatapan kosong saya yang masih dipenuhi tanda tanya.

Glek. Tubuh saya pun terhoyong ke sebuah kursi persis di depan pintu.

Hening.

Saya serasa tertampar. Menyaksikan sebuah adegan yang teramat rumit untuk dipahami. Sejujurnya, saya bukan tipe pengemis beasiswa, meski saya berhak mendapatkannya.

“Aku juga nggak ngerti sama menejemen beasiswa DIPA. Kayaknya siapa cepat, dia dapat. Nggak peduli IP empat atau mahasiswa abal-abal. Nyesek ati kalau dipikirin.”, celetuk seorang teman, saat saya mencurahkan kekesalan tadi di hadapnya.

Aku masih terdiam. Barangkali ucap teman saya ini ada benarnya: siapa cepat, dia dapat. Terbukti, banyak teman yang IP-nya pas-pasan, tapi bisa leluasa mengisi dan mengumpulkan formulir beasiswa. Sementara saya yang baru saja menerima anugrah IP 4,00, justru dipaksa merasa cukup dengan ucapan “Hampura weh nya,” dari petugas.

Gusti nu Agung.. Menghela napas.

—–

Satu catatan saya terkait penjelasan petugas yang tak saya minta tadi, soal waktu. Ia mengatakan “harusnya dari kemarin-kemarin”. Sementara pengumuman beasiswa turun itu hanya ada di satu papan pengumuman gd. Fakultas lt. 1. Itu pun hanya selembar kertas. Sekali lagi, selembar kertas.

Info tersebut menyalur ke ketua kelas, itu pun jika kebetulan ketua kelas berinisiatif mencari pengumuman. Ada ketua kelas yang aktif, dia tahu terlebih dulu dan menyebarkan info ke anggota kelasnya. Tapi, apesnya, ketua kelas saya tidak memberikan info apa pun. Padahal dia menjadi salah satu penerimanya.

“Aku juga nggak tahu apa-apa euy.”, begitu jawaban acuhnya saat kepergok mengumpulkan berkas persyaratan beasiswa, di depan mata saya

Jadi kalau petugas itu menyalahkan saya soal waktu, apa itu fair? Sedang pengumuman saja berbelit-belit begitu.

Sebagian lagi, ada yang dapat beasiswa melalui jalur organisasi. Tapi sayangnya dikendalikan oleh ketua Bem-J dan jajarannya. Saya pun, lebih tak tahu menahu lagi soal ini, walau saya tercatat sebagai salah satu pengurus organisasi itu. Aneh, kan? Memang.

—-

Huhf.. Menarik tali simpul terkait beasiswa DIPA, memang banyak polemik. Nanti, kalau ada kesempatan lagi, semoga mampu saya celotehkan lagi fakta dan data konkritnya.

Ini tak lebih dari celoteh. Unek-unek. Jika ada yang merasa tersungging, hampura weh nya, lurrr.. :)

Ada Apa dengan Jurnalistik? #1

Ada apa dengan Jurnalistik? Sejak pertama kali menyandang status mahasiswi Jurnalistik 2011 lalu, pertanyaan itu selalu mengitari otak saya. Hanya saja, kondisi baru mendukung sekarang untuk membedah apa dan mengapa tentang hal ihwal pertanyaan itu. Maka bagi siapa pun pembaca tulisan ini, semoga dapat memahami dengan kacamata bijak. Meski semua yang terungkap barangkali tak lebih dari sekedar #CelotehDamae.

Akhir-akhir ini saya terbengong-bengong. Mencoba mengurai dan menemukan maksud tertepat dari orasi seorang Pamong Praja Jurnalistik. Begini katanya,

Pokoknya, apa pun kehebatan anak Jurnalistik di luar sana, mau jadi duta ini duta itu, kalau dia tidak berkontribusi pada kegiatan jurnalistik di kampus, maka jangan pernah anggap dia anak Jurnalistik.

Kira-kira begitu terjemahannya, karena saat itu ia berbahasa Sunda.

Memang, tak ada yang tahu siapa anak Jurnalistik yang ia maksud. Namun pertanyaan yang langsung menusuk jantung dan tak sabar terlontar: Kontribusi macam apa yang dimaksud? Bukankah keaktifan mahasiswa di luar kampus itu sama artinya ia mengenalkan Jurnalistik kampusnya pada dunia luar? Bukankah hal itu jauh lebih sulit dari pada sekedar menjadi panitia kegiatan milad Jurnalistik (misalnya) ? Atau memang kontribusi yang dimaksud itu hanya terbatas pada kegiatan internal Jurnalistik? Jika benar begitu, maka siapa sebenarnya yang lebih pantas untuk tidak dianggap?

Sayang, semua urung terucap bersamaan dengan ludah asam yang terpaksa tertelan.

Sampai saat ini pun, saya masih belum bisa menemukan jawabannya. Hanya saja, saya merasa menjadi sasaran tembak semua kalimatnya. Meski baru sekedar perasaan, tapi bukti-bukti terkuat mengarah pada diri ini. Jika Anda bertanya, siapakah anak Jurnalistik yang aktif di luar? Maka saya menjawab, banyak sekali dan saya termasuk salah satunya. Lalu jika Anda bertanya, siapa anak Jurnalistik yang tidak berkontribusi pada kegiatan Jurnalistik di kampus? Maka saya pun akan menjawab: saya lebih sering meninggalkan agenda-agenda Jurnalistik di kampus untuk kepentingan lain.

Menjodohkan pengakuan saya dengan pernyataan pamong praja tadi, maka layakkah saya untuk tidak dianggap sebagai bagian dari keluarga Jurnalistik? Entahlah. Sebaiknya saya tidak berprasangka.

Namun barangkali akan lebih membuat semua pendengar orasi itu nyaman, jika Pamong Praja memperhalus dan memperjelas maksud kontribusi itu. Atau jangan-jangan hanya saya yang risau akan ucapan itu, karena bisa jadi saya yang paling merasa bersalah akan tudingan itu. Atau… bisa jadi pernyataan itu sengaja dikeraskan agar membuat saya risau.

Sekali lagi, entahlah…

‘Kepala Dua’ & Jalan Damai

Senja masih kemayu saat kutulis ini. Persis selempar pandang di depan kamar, mega merah jingga membentang senyuman. Ufuk barat bersiap menyambut mentari beristirahat. Barisan persatuan burung pun tak mau kalah, mengangkasa ke utara; menuju peraduan mereka. Dari speaker masjid selatan, lantang terdengar puji-pujian santri madin. Sesekali tersedak, suara gaduh, juga tawa yang tak mereka sadari ikut mengudara. Atap bumi sore ini sedang ceria. Elok nan berwarna.

Sekira tiga jepret kameraku mengabadikan panorama itu. Tampak senja berderap. Seolah membentengi rumah-rumah peduduk yang masih sibuk. Tak terkecuali jalanan, padat merayap. Menjelang adzan maghrib memang puncak kemacetan di tiap ruas jalan. Terlebih jalan yang tak bisa dibilang lebar itu, persis dibawah depan kamarku. Deru mesin berebut antrian jalan, klakson bersahutan. Satu dua terdengar ceracau pengendaranya. Tak sabar. Sayang sekali, mereka mengacuhkan kecantikan senja di langit sana.

Bola mataku reflek beralih pandang ke samping. Teman-teman sedang asik bergurau di kamar sebelah. Celoteh sore yang mengundang gelak tawa. Riang. Aku  senang dengan keberadaan mereka. Deretan kamar-kamar ini jadi hidup dan berwarna oleh kebersamaan. Meski kutahu obrolan sore itu tak jauh dari pusaran gerundelan soal kos-kosan. It’s crazy, funny, and love story, guys.

Ah.. Sepotong senja yang menggemaskan. Dan tentu kurindukan.

Dert.. Dert.. Dert.. Hapeku bergetar. Ibu. Langsung kuangkat dan

Selamat ulang tahun, sayang Semoga tambah sayang keluarga, tambah dewasa, tambah tambah tambah tambah semua yang baik pokokya. Nasi kuning dan kadonya nyusul ya, sayang. Ibu terdengar bahagia diseberang sana.

Aku terharu. Speachless, kecuali ‘aamiin’.

Sejatinya aku berharap ucapan itu kudengar kemarin, 13 Maret. Tapi sepertinya ayah ibu sedang sibuk, bahkan saat kupancing via telepon pun justru diputus. Whatever, suara ibu sore ini sudah merenyuhkan hati. Makasih, bu.

Ini tahun ke lima aku mengulang tanggal lahir seorang diri. Ya, lima tahun sudah aku hidup di perantauan. Beruntung masih ada kawan dan saudara yang mengingat. Setidaknya di hari yang -kata orang bahagia, hari spesial- itu aku masih bisa makan kue ulang tahun buatan teman-teman.

Geli mengingat malam kemarin. Aku terlelap di atas sajadah selepas solat maghrib, lengkap dengan mukena. Tubuh ini memang sedang kurang fit. Saat suara gaduh beberapa remaja yang melewati bawah kamarku, aku sontak tersadar. Reflek penggalan ingatan kasus pencurian beberapa bulan ke belakang masih menyisakan trauma. Kulihat laptop masih menyala, jarum panjang jam di sana menunjuk angka 9, sedang yang pendek mendekati angka 11. Hampir tengah malam. Dengan kepala dan mata yang berat, kupaksa bangun. Kamar masih sangat berantakan. Murotal di hape juga masih berputar. Tampaknya aku benar-benar terbius kantuk.

Kruck.. Kruck.. Kruck.. Oh, no! Perutku berdendang. Aku lupa makan tadi sore. Dan, sepertinya ini petaka.

Tak mau mendramatisir rasa lapar, aku mengambil air wudhu dan solat. Menyeduh teh, sembari memutar instrumen musik Kenny G dan Richard Clyderman. Kubuka berkas tulisan yang belum rapi, berharap ini mampu kembali memanggil kantuk dan melupakan dendangan perut. Tampak FB memberi kode pemberitahuan baru. Adikku. Sederet doa panjang yang dia kirim, menjadikannya orang pertama yang mengucapkan itu (hepi milad, pen). Terharu. Adik yang paling hobi menjegal ATM-ku itu bisa juga merangkai kata. :)

Tapi sepertinya, Kruck.. Kruck.. Kruck.. Bunyi kendang dan talu ala perut ini kian keras. Apa yang harus kulakukan? Kutengok persediaan makanan, nihil. Aku memang belum membelinya lagi sejak sepekan. Tapi tak mungkin rasanya keluar di tengah malam begini, seorang diri. Tanpa pikir panjang, kusend sms pada kawan di kamar ujung barat. Berharap dia belum tidur, lebih berharap lagi dia masih punya sisa makanan. Jika pun tidak, setidaknya mau menemaniku beli mie instant.

Dah tidur, neng?, kuawali sms.

Kebangun ni., jawabnya singkat. Ternyata senasib.

Kok sama? Ada sisa makanan kah?

Aku juga laper eung. Tapi nggak ada apa-apa disini.

Beli, yuk!

Malas jalannya, neng. Jalanan sepi banget

Hmm, aku mulai pasrah.

Mau kopi?, dia memberi secercah harap.

Aku udah nyeduh teh, tapi

Coba ketuk pintu kamar sebelahmu, dia punya roti seingatku.

Dah tidur.

Panggil kamar deket tangga, dia ada makanan cenah.

Nasi? ALHAMDULILLAH.., aku segera bangkit.

Gak tau. Yang jelas makanan. ah, tak apalah.

Damae.. Damae Damae suara dia terdengar lantang dari luar kamar. Tak sabar menyuruhku keluar. Aku yang masih mengenakan mukena untuk solat tadi pun tak sempat melepasnya.

Ckreck persis bersamaan dengan detik kubuka pintu kamar, Happy B’day. Selamat Ulang Tahuuuuuuuuuun. Dua kawan yang suka menemani begadang, suka masak bersama, kadang juga suka iseng membully, serentak berteriak. Sembari menabuh setoples makanan ringan di tangan, wajah mereka sumringah.

Wuaaaa, makasiiiiih. Tapi jangan keras-keras, nanti satpam naik baru tahu rasa kita., semua tertawa.

Jadilah aku menanak nasi dan membuat nyanyian perutku berheti. Malam pun sudah berganti pagi, tapi mata ini enggan terpejam hingga mentari kembali bersinar. Untuk kesekian kalinya, aku begadang bersama mereka. Tapi.. Aku mencium gelagat tak beres.

Pradugaku benar. Malam berikutnya mereka berhasil melancarkan serangan G13M (Gerakan 13 Maret) di depan kamar. Air, telur, tepung, bedak tabur, dan beberapa bahan lain dilepar ke muka, rambut, dan sekujur tubuhku. Tak banyak yang bisa kulakukan kecuali menggigil dan kedinginan. Wajah mereka memecah tawa, ini benar-benar rencana sempurna.

Tak peduli tubuhku menggigil, mereka asik memotret bergantian. Dari sebalik kamar sebelah, tampak kue coklat lengkap dengan lilin yang menyala. Mendekat dengan lagu Selamat Ulang Tahun. Hatiku basah. Seuntai senyum dan bulir bening dari sebalik mata ini jatuh. Terima kasih kawan-kawanku.

Seketika itu juga memoriku menerawang masa lalu. Terbayang erangan ibu melahirkan putri pertamanya ini. Puncak jeritnya, kurasakan di detik-detik menjelang udara dunia menyapa lembut kulitku. Dua puluh tahu silam, aku hanyalah bayi mungil yang bisa bertahan hidup dengan bantuan medis. Berat 19 ons saat kulahir, memaksaku berjuang lebih keras dari bayi-bayi lain untuk bergerak, menangis, dan hidup normal. Beruntung wanita yang mengandung dan melahirkanku itu wonder women. Hingga kini aku bisa tetap bernapas meski terpisah dengannya sejak lama.

Terbayang masa kecil yang selalu kurindu. Diayun di cabang pohon Jeruk dan bermain dengan belalang sawah, adalah keseharianku. Sesekali di dekati ular hijau yang tak begitu nakal. Menangkap ikan Caung untuk digoreng. Mengejar traktor dan lempar-lemparan belet, tanah sawah yang sedang diproses untuk menanam padi. Matahari dan lumpur menjadi teman sejati.

Beranjak usia 4 tahun, aku mengenal buku di bangku sekolah. Perhatianku tercuri olehnya. Aku mulai jarang ikut berkebun dan bersawah. Jika pun ikut, pasti harus mengantongi buku bacaan dan camilan. Kadang lebih baik tunggu rumah, meski sering dapat omelan kalau ibu pulang masih ada piring kotor di meja.

Remaja, waktuku habis di sekolah. Perjalanan 10 km pulang pergi dengan sepeda, cukup menyita waktu dan energiku. Terlebih persaingan prestasi yang teramat ketat, membuatku terseok untuk mengejarnya.

Hingga usia 15, aku dikirim ke sebuah pesantren di kota bawang. Disanalah tempaan kehidupan yang sebenarnya dimulai. Lapar, sakit, gembira, bingung, gelisah, dan penat juga letih kumakan sendiri. Dan kini, tak terasa itu semua sudah berjalan 5 tahun.

Damae, ayo lekas tiup lilinnya. Damaee. , teriakan teman-teman menyudahi lamunanku.

Aku pun bergegas meniup lilin, mandi, dan duduk bersama mereka sembari memotong kue. Sampai lupa kalau tubuhku sudah menggigil hebat. Mereka keluarga yang baik. Meski sejatinya moment istimewa ini ingin kunikmati dengan ayah, ibu, juga adikku.

Senja sore ini menjadi saksi bahwa usiaku tak lagi belasan. Aku sudah berkepala dua. Bukan lagi saatnya ranum, ini waktunya aku dewasa. Dewasa meniti hidup yang tak pernah bisa kutebak. Dewasa menapaki seruang kesunyian, ruang yang membentang jalan damai.

Thanks to all my friends atas ucapan selamat dan doanya. Tanpa kalian, saya bukan siapa-siapa. Especially for someone who has make me know that I’ve Jalan Damai.

Sudahkah Berterimakasih? #CelotehSangBunda

 Jika dia tak menatih kaki untuk menggendong kalian, masih mungkinkah piala itu tergenggam? Tapi acap kali semua lupa, hanyut dalam euforia. –Relung Damae–

Ini bukan perkara juara. Bukan soal piala seperti pesan hari lalu: hari perhelatan. Bukan pula soal keberpihakan. Ini tentang sebuah renungan. Sebuah keprihatinan. Sebuah kemirisan. Sebuah asa. Sebuah ingin dibalik ingin. Ingin yang rasional.

Ialah sesosok di balik kesuksesan Malhikdua. Sosok yang, barangkali hanya disebut jika mereka butuh. Hanya diakui kala karyanya mengguncang dunia. Padahal sejatinya, ia selalu ada dibalik (anggapan) ketiadannya.

—-

Goal Malhikdua

Gaung kemenangan Malhikdua dalam ajang bergengsi Lomba Website SLTA Se-Jawa 2013 yang diselenggarakan UIN Malang, masih sangat terasa. Sabtu (2/3) lalu, tiga pejuang M2Net berhasil membawa pulang piala; meski kabarnya hanya meraih peringkat 3.

Berapa pun angka juara itu, agaknya menjadi tak penting asal piala sudah digenggam. Lebih tak penting lagi, kala disandingkan dengan kisah perjalanan mereka yang cetar membahana. Sebagai peserta terjauh, tentu butuh perjuangan yang tak mudah untuk melintasi Brebes-Purwokerto-Surabaya-Malang-Batu-Madura, hingga kembali ke Surabaya-Brebes dan Pekalongan. Belum lagi meyakinkan sekolah juga pondok agar mau mengeluarkan surat ijin untuk jumlah pasukan yang tak sedikit dalam satu waktu: 9 orang. Agaknya, ini tak cukup diungkapkan dengan kata ‘luar biasa’. Ini menakjubkan.

Belum lagi proses breafing peserta selama dua hari. Mereka berpuasa dari rasa penasaran akan moleknya Surabaya, tak satu pun berleha selama puncak perjuangan. Tiga peserta; Hafata, Aziz, Lutfi, berlatih keras mempersiapkan presentasi. Dibawah bimbingan sang master, mereka mengulangi, mengulangi, dan terus mengulangi materi itu. Bahkan ketika penumpang kereta -yang mengantar mereka menuju Malang- lelap di waktu subuh, ketiganya komat-kamit menghadap luar jendela; seolah berhadapan dengan juri saat presentasi. Sementara 6 supporter yang memang sengaja datang untuk menyaksikan langsung pencetakan sejarah itu, saling menambal kekurangan senjata peserta. Ini kolaborasi perjuangan yang (harusnya) tak terkalahkan.

Ditengah ring perhelatan, pejuang tangguh Malhidkua cukup bangga dengan pakaian yang baru kering dari jemuran, perut keroncongan, dan lusuh wajah yang jelas tergurat sisa letih kereta. Sementara peserta lain, turun dari mobil sekolah dengan pakaian mulus bekas setrika, didampingi pembina bahkan kepala sekolah. Beruntung mental pasukan lebih kuat dari baja.

Terbukti presentasi web madrasah yang digawangi Hafata CS ini berhasil merampok applause juri, diiringi riuh keenam supporter dan (ternyata juga) peserta lain. Tepuk ini makin meriah saat Malhikdua masuk nominasi Tiga Besar. Beberapa senior tak kalah heboh menginfokan perkembangan tapak mereka via (jejaring) virtual. Semakin yakin bisa membawa pulang piala.

Layaknya perjuangan, tentu tak urung mengalami banyak gesekan. Dibalik kegembiraan itu, nenek Hafata dikabarkan wafat sehari sebelum pengumuman pemenang. Sontak membuat pemred M2Net ini shock, juga ingin lekas pulang ke rumah: di Pekalongan. Bukan perkara mudah memang, karena tiket kadung dipesan, jadwal kepulangan pun sudah disepakati hari Minggu. Terlebih perihal perijinan sekolah dan pondok yang, perlu menembus kotak pandora.

Disinilah uluran tangan para alumni menjadi sangat berarti. Mereka, alumni yang berdomisili di Malang dan sekitarnya, merangkul sesuai kemampuan masing-masing: menyediakan tempat tidur, mengirim makanan, mengurus akomodasi, bahkan berpusing ria hunting tiket Surabaya-Pekalongan. Sekelebat prahara tadi seolah bukan hal besar yang perlu dicemaskan, berkat alumni.

Hingga menjelang jam 2 siang, Hafata, Aziz, juga Lutfi berpose manis sembari menggenggam piala, piagam, dan uang pembinaan. Malhikdua, menyabet juara 3 Lomba Website SLTA Se-Jawa. Inilah buah kerja keras mereka.

—-

Tak Berharap Lebih Selain Terima Kasih

Sejarah kedigdayaan Malhikdua dalam menyabet juara perlombaan website memang bukan kali pertama. Penyelenggara Gunadarma: Juara Harapan 3 Nasional (2008), Juara Open Source Nasional (2010); Amikom: Juara 2 Nasional (2008); dan UIN Maliki: Juara 3 Se-Jawa (2013), cukup menjadi bukti ketangguhan para pejuangnya.

Namun, barangkali mereka; sekolah, lupa. Lupa akan invisible hand yang sungguh lebih layak memiliki semua kemenangan itu. Disebut invisible hand, karena sejatinya dia terlihat namun tak pernah dilihat.

Dialah yang mati-matian mendirikan dan mempertahankan M2Net. Dia yang tak pernah letih bolak-balik Surabaya-Benda. Dia yang selalu gelisah kala M2Net bermasalah. Dia yang selalu cerewet tentang koneksi internet. Dia yang setia mengajari seluk beluk keredaksian. Dia yang menumbuhkan mental wartawan, blogger, hingga pejuang.

Dia pula yang mengurus hosting dan domain website Malhikdua. Dia pula yang mempercantik gaun webnya. Dia pula yang rajin mencerca dan membenahi kesalahan berita. Dia pula yang rajin blogwalking ke akun-akun berekor malhikdua.com. Dia pula yang tak henti memperluas link sponsor dan pementor. Dia pula yang selalu membawa poster juga banner dalam setiap acara Malhikdua.

Hingga kemarin, dia juga yang mendaftarkan Malhikdua untuk kembali berlaga. Dia juga yang setengah koma mengganti template, meredesain, mengoreksi berita, mengubah tampilan foto, mempromosikan, juga memantau setiap perkembangan. Bahkan, dia juga yang memberi breafing peserta, menyiapkan materi presentasi, mengatur strategi materi, dan menyiapkan segala keperluan pasukan termasuk penginapan dan makanan.

Tapi apa yang ia dapat setelah deret piagam itu digenggam? Namanya bahkan tak tercantum sebagai ‘Pembina’ pada tropi kemenangan.

Sungguh, tulisan ini tidak sedang mengadu domba. Juga tidak untuk menggalang iba. Penulis hanya ingin menyajikan fakta sejarah. Bahwa ada dia dibalik kebesaran nama Malhikdua. Dia yang tak pernah berharap lebih dari sekedar ucapan ‘terima kasih’. Sudahkah hal itu dilakukan oleh Malhikdua?

Jika sudah, semoga tidak menelan ‘terima kasih’ mentah-mentah. Tapi jika belum, tak perlu dipusingkan. Toh tulisan ini tidak lebih dari sekedar celoteh.

Wallohu’alam.

*Damae Wardani, Ex-Pemred 2010

Sesuatu di Balik Nominasi #CelotehSangBunda

Andai bisa terbang, ingin sekali memeluk kalian, batin saya saat bulir bening dari bilik mata ini tak kuasa ditahan.

Haru, lemas, juga bahagia, berpadu dalam alat perasa bernama ‘hati’. Sontak saya bersyukur, bahkan diikuti riuh tepuk tangan keluarga besar Delicious -nama kelas gabungan Jurnal D 11/12- yang hari itu sedang mengadakan gathering. Tak sabar mendengar kabar mereka, saya juga memaksa call penjaga gawang tim kiriman M2Net; Hafata.

Alhamdulillah, bunda kita masuk nominasi 3 besar! Ini semua berkat do’a bunda, suaranya kencang dari seberang.

Tangan ini kian lemas. Tak kuat menahan haru yang menyeruak ke sekujur tubuh. Saya bahagia, benar-benar bahagia mendengarnya. Berdebar sepanjang bangun tidur hingga detik menanti pengumuman, ternyata buncah oleh sorak bocah itu. Bahkan berhasil mengembangkan senyum yang sedari pagi terkulum.

Demikian terjadi pada saya, Rabu (27/2/13), yang tak bisa berbuat apa-apa saat my lovely children sedang berjuang. Ya, pada laga Lomba Website SLTA Se-Jawa yang dimotori UIN Malik Ibrahim Malang, 3 pejuang tangguh kiriman M2Net menggawangi Malhikdua.

Hafata -pemred M2Net-, Aziz, dan Luthfi -yang juga tercatat sebagai peserta- dikirim ke Malang guna menuntaskan perjuangan: presentasi dihadapan juri. Hal ini terjadi setelah beberapa hari sebelumnya Malhikdua dinyatakan lolos babak 10 besar. Sabtu besok adalah hari penentuan pemenang.

Nosatalgila 2010

Barangkali sikap saya dinilai berlebihan, saya serahkan sepenuhnya pada Anda, kawan. Tapi memoar kemenangan Malhikdua pada lomba serupa 3 tahun lalu, saat saya masih berdiri tegak di gardu paling depan, baru terulang kambali detik ini. Wajar kiranya saya turut ‘merasa’ memikul beban pejuang M2Net yang kini sepenanggungan.

Meski tak senasib. Ya, tak senasib. Mereka kini jauh lebih beruntung: akomodasi ditanggung sekolah, pembina stand by 24 jam, dicekoki ramuan mujarab dari sang master, didukung penuh oleh para supporter yang sengaja hadir, bahkan alumni pun dengan sigap menjadi guide mereka menuju dan meninggalkan arena pertandingan. Sedang saya, 2010 lalu, sudah tinggal mengambil hadiah saja masih harus ribed dengan perijinan pondok, berangkat dengan uang saku sendiri, dan hanya segelintir alumni yang mau turun tangan.

Bukan sedang membandingkan, tapi bulu kuduk ini tetap berdiri kala satu per satu slide itu muncul tanpa diminta. Saksi perjuangan itu dapat Anda baca disini, disana, dan disitu.

Tentu pergeseran sikap welcome sekolah terhadap hal-hal semacam ini, sangat saya syukuri. Jika dulu saya harus menangis darah untuk bisa keluar pondok, kini sekolah justru dengan kesadaran penuh mengirim siswanya untuk turut berlaga di pentas karya bertaraf nasional bahkan internasional. Sebuah kemajuan yang patut diajungi jempol.

Disisi lain, open minded terhadap perkembangan IT, merupakan harta karun terbesar yang baru ditemukan. Sekarang, IT bukan lagi ancaman bagi pesantren, bukan lagi kambing hitam bagi santri, bukan lagi musuh para kyai, dalam berdakwah dan mensyiarkan ajaran-ajaran Islam. Bukankah sejatinya, IT tak lebih dari air bening. Mau merah, jadi merah. Mau putih, jadi putih. Terserah penggunanya mau memberi campuran warna apa. Pesantren, selayaknya menjaga air ini tetap bening; inilah tugas M2Net.

Permasalahan selanjutnya, minimnya pengetahuan tentang IT oleh para penggunanya, berdampak fatalnya manfaat IT itu sendiri. œHanya ditangan orang berilmu segala sesuatu bisa  bermanfaat. Kalau demikian, peningkatan pemahaman masyarakat awam dan kalangan pondok pesantren tentang IT tentu perlu digalakkan, agar bukan hanya dampak negative yang didapat karena ketidaktahuan mereka dalam menggunakan, tapi manfaat IT bisa dirasakan secara keseluruhan. -petikan artikel Santri Katro, Dakwah KO oleh Siti Dzarfah M.

Kini, M2Net berhasil mengubah paradigma santri itu jumud dan katro atau gara-gara internet, santri bolos mengaji, yang dulu selalu mendengung di telinga. Setidaknya, paradigma di kalangan pesantren Al Hikmah 2. Hal ini terbukti dengan dukungan penuh Malhikdua untuk mengirimkan jagoannya dalam lomba website tahun ini.

Good job, pejuang tangguh M2Net.

Kedepan, jika kemajuan ini terus ditingkatkan -setidaknya dipertahankan-, saya yakin tak akan ada lagi Larangan Internet Masuk Pesantren. Tak akan ada lagi santri berprestasi yang akan disiakan. Tak akan ada lagi kisah konyol di Jogja seperti ketiga kisah saya di atas. Saya juga berfikir ulang untuk membuat sekuel artikel yang berhasil menyabet Lomba Penulisan Artikel tingkat provinsi 3 tahun lalu, menjadi No Santri Katro, No Dakwah KO.

Overall, untuk pejuang tangguh M2Net, anugrah Malhikdua masuk Nominasi 3 Besar dalam Lomba Website SLTA Se-Jawa 2013, menyimpan satu kewajiban baru: bagaimana memanfaatkan IT agar terasa oleh semua kalangan.

Jangan lupa satu pesan saya: PULANG BAWA PIALA!

*Penulis adalah Ex-pemred M2Net 2010

**Lebih lanjut tentang M2Net, dapat Anda simak Disini.