Senja setelah hujan ternyata lebih indah dari senja yang datang biasa. Guratan merah jingga keemasan mengiring sang mentari kembali ke peraduan. Seakan menyapa, “Selamat sore,” dengan lekukan lesung pipi semanis kembang desa. Aduhai, aku benar-benar jatuh cinta..
Tch.. Berapa ribu jepretan kamera tuamu untuk tiap senja? Dasar Angin kurang kerjaan!
Ssst! Don’t say that, honey. Bahkan jutaan ribu jepretan yang menangkap setiap detik pergeseran siluet mentari, perubahan warna terang menjadi kuning, menuju orange-jingga-kuning keemasan, hingga semua bayang benar-benar luput dari mata telanjang, itu tetap belum cukup mengabadikan setiap pesona senja.
Ah, lebay!
No, no, no more! Wait.. Slow.. Matamu bukan mata yang biasa kulihat. Bisa jadi kalimat yang akan terucap dari bibir manismu berikutnya adalah, kesal yang kau umpat. Is it right?
Hhh..
Aku sama sekali tidak punya gen seorang penulis. Aku tidak punya bakat untuk menjadi penulis. Itu yang selalu mereka katakan. Seberapa keras pun aku mencoba, aku tetap tak kan bisa menjadi seperti.. JK Rowling, Gol A Gong, Dee, atau.. Continue reading “Siluet Mentari di Pelupuk Senja”