Sudah menjadi kelaziman dikalangan anak muda, terutama mahasiswi, bahwa penampilan memang seolah dinomorsatukan. Eye catching, katanya. Tak heran jika kadang persiapan sebelum berangkat kuliah bisa memakan waktu lebih dari satu jam.
Mulai dari baju model apa yang akan dikenakan. Coraknya bagaimana, warnanya apa. Sesuai tidak dengan krudungnya. Warnanya match tidak. Bagaimana dengan pasangan celana atau rok yang akan dipadankan. Njomplang tidak. Jika dirasa baju cukup menarik dan sedap dipandang mata, aksesoris pun tak jauh beda diperhatikannya.
Entah gelang atau sekedar cincin. Merambat ke bros yang menempel di krudung. Dipadukan dengan model dan warna tas apa yang akan digunakan. Bagaimana jika disandingkan dengan setelan warna bajunya. Sampai pada model dan warna sepatu pun tak luput dari perhatian.
Perfect. Sebelum kata itu terucap, badan masih akan dipatut-patutkan di depan cermin, diputar-putar, dan diamati dari ujung kaki hingga ujung kepala. Padahal mungkin hanya satu mata kuliah yang akan diikuti. Berangkatnya naik angkot pula. Lalu, untuk apa mereka bersolek sebegitu rieweuhnya?
Kan segala penilaian awal seseorang memang dari penampilan.
Jelaslah diperhatikan. Kan penampilan itu cermin kepribadian.
Cewek memang harus fashionable. Jangankan yang mahasisiwi, dosen-dosen kita juga nyentrik penampilannya.
Nah, itu sample jawaban jika ditanya demikian. Eitz! Jangan salah.
Ada juga lho yang berpandangan lain. Misalnya,
Wanita memang identik dengan cermin, identik dengan bersolek, identik dengan kecantikan, identik dengan fahion, bahkan identik dengan pemborosan. Itu semua kodrat wanita dan tentu saja tidak bisa dielakkan. Hanya saja, itu semua bisa disesuaikan dengan porsinya. Kita semua tahu bahwa sejatinya Allah tidak melihat kita dari luar, dari seberapa match penampilannya, seberapa cantik ia, atau seberapa fahsionable dia. Melainkan seberapa tinggi tingkat taqwanya. Seberapa bersih hatinya. Seberapa karimah akhlaknya. Seberapa banyak amal baiknya. Hingga seberapa tinggi tingkat imannya.
So, untuk siapa dan untuk apa mereka bersolek berlebihan?
Ada sedikit sentilan. Semasa belia, mencuci piring saja takut tangannya rusak oleh sabun. Giliran sudah bersuami, tak pernah lagi berdandan rapi dengan dalih ‘ah, sudah laku ini’. Begitu kata sebagian wanita yang telah berumah tangga.
Betul tidak?
Hal yang lebih miris lagi. Setelah berjam-jam mereka berdandan, ternyata sampai di kelas bukannya fokus pada mata kuliah yang sedang diajarkan, malah dilanda ngantuk berat karena berbagai alasan.
Kalau sudah begitu, apa yang mereka dapatkan selama menjadi mahasiswi? Segudang pakaian dan aksesoriskah yang akan mereka tunjukan? Atau.. Ah.. Anda bisa mengira-ira sendiri apa kata yang akan saya lanjutkan.
Astaghfirullah haladzim,,
Tidakkah mereka akan menyesal dikemudian hari mendapati sebuah kesia-siaan yang selama ini mereka banggakan?
Nah, sobat, mumpung belum terlambat, let’s reset our mind. Itulah dampak dari sikap kita yang over attention pada batas leher ke bawah. Terbayangkan bagaimana kegagalan panen itu menanti di ujung study bila kita tetap menjalaninya?
Tapi pasti akan beda hasilnya jka sejak semula yang kita prioritaskan, kita perhatikan, kita sejahterakan bagian leher ke atas. Apa itu leher ke atas?
Ya, dari batas leher ke atas ada satu benda paling berharga yang memang menjadi bekal kita selama hidup di dunia. Dialah otak yang sejatinya harus diberdayakan. Harus terjamin kesehatannya dengan cara memberi asupan yang bergizi. Harus selalu dirawat dan dijaga agar keberadaannya tidak serta merta menjadi jurang kehancuran bagi kita.
Bagaimana caranya?
Membaca. Itulah salah satu kata kuncinya (salah satu lho,,)
Logisnya, dari pada uang terkikis hanya untuk fashion model baru, atau hanya untuk memuaskan si perut, lebih baik disisihkan untuk membeli buku bacaan. Lebih dalam lagi, ilmu yang bersumber dari buku seharga 20-50 ribu pasti lebih besar manfaatnya ketimbang segala yang dibeli ratusan ribu hanya demi penampilan trendi. Iya kan?
Sekali lagi, bukan suatu kesalahan bila mahasiswi memperhatikan penampilan. Asalkan sesuai porsinya dan prioritaskan kebutuhan utama.
Dam2… tulisan kamu kali ini kurang nyambung antara judul dengan ide yang ingin kau sampaikan… terus berkarya, semangat…
good posting!!!
i like it …
Kembangkan!!!
^_^
lah mai…
q mah berangkat kuliah kaya berangkat ngaji ajah…
males dandan juga c….
di FISIP q malah dibilang paling sufi hehehehe
hemm rasanya memang ndak nyambung antara judul dengan amanat yang hendak disampaikan.. tapi tentu karena beberapa alasan, mungkin salah satunya agar pembaca penasaran, apa sih isinya…
Ya, memang itulah kodrat wanita dan tidak bisa dipungkiri. Namun satu yang perlu kita ingat, apapun yang kita lakukan berawal dari niat. Boleh saja bersolek, namun tentu sesuai dengan porsinya, seperti yang dek Damai sebutkan.
Lah masa hendak kuliah, kok dandanannya seperti mau manggung saja. Tentu ini tidak sesuai. Bersolek untuk setiap acara mempunyai style sendiri2. So, pintar-pintarlah bersolek yang pas dan tepat.
Ada saatnya juga berdandan lebih. Tapi tentu jika dibandingkan dengan ‘lebih baik beli buku’ untuk konsumsi otak kita, membaca, membaca, dan membaca… itu bagus. Saya dukung. Tetapi bagi mereka yang memang sudah memporsikan untuk beli buku, untuk fashion, untuk make up, untuk shadaqoh dll… tentunya itu lebih baik ^_^
He-he-he, membaca perlu, berpenampilan menarik juga penting.
ceritanya terlalu monoton dan datar-datar aja. pas nya bikin diary sendiri dan untuk konsumsi sendiri.
terima kasih atas kunjungan dan kritikannnya. semoga damae bisa memperbaikinya
bagus artkelnya…salam kenal yaaa…:)
setuju….:) salam persahabatan ya
jika kita ingin mencari kemuliaan yg tak akan sirna dan fana maka carilah ia pada sesuatu yg tak fana dan sesaat yakni ilmu…karena Ilmulah Allah meninggikan derajat seseorang dan Ilmu yang bermanfaatlah yang akan menjadi tabungan di akhirat kelak bukan penampilan yg fana..Nice Artikel Mai..Terus berkarya,mengabdi,mengabadi tuk menebar kebaikan dan cahaNya ^_^
Terimakasih atas kunjungannya… yup, setuju!